Sejarah tak selalu ditulis oleh para jenderal, intelektual mental penjilat dan politisi di ruang-ruang kekuasaan. Kadang, sejarah justru lahir dari jalan-jalan yang berdebu, gas air mata, dan barikade. Revolusi Mei 1968 di Prancis adalah salah satu contoh sejarah yang ditulis oleh anak muda dan kelas pekerja di jalanan.
Tahun 1959, Prancis punya presiden baru bernama Charles de Gaulle, seorang jenderal kharismatik yang memimpin Prancis melawan Nazi. Jadi pada awal menjabat, de Gaulle ini sangat populer.
Begitu berkuasa, dia bertekad memodernisasi Prancis, terutama ekonominya, agar sejajar dengan tiga raksasa Eropa dan dunia: Jerman, Inggris, dan Prancis.
Saat itu, orang Prancis masih menikmati yang disebut “Les Trente Glorieuses” atau “Tiga puluh tahun kejayaan”, yaitu sebuah rentang-masa ketika roda ekonomi Prancis masih melaju kencang.
Di Prancis kala itu sudah populer corak ekonomi yang disebut Dirigisme, yang berusaha menempatkan negara lebih berperan mengatur ekonomi.
Namun, di bawah de Gaulle, dengan ekonomi komandonya, Dirigisme lebih mirip etatisme. Kata kuncinya adalah harmonisasi dan stabilitas.
Dalam hubungan industrial, kebijakan de Gaulle beda tipis dengan Orde Baru Soeharto. Serikat buruh ditekan, aksi mogok juga dibatasi. Pokoknya, hubungan industrial harus harmonis, sehingga produksi dan akumulasi tak terganggu.

Masalahnya, ketika produksi dipaksakan harus digenjot, upah buruh sangat murah, jam kerja diperpanjang, dan kondisi kerja memburuk. Begitu mau protes atau mogok, buruh dihadapkan dengan relasi industrial yang otoriter.
Kemudian, memasuki 1960-an, di Eropa terjadi perubahan demogratif yang dipicu oleh ledakan jumlah orang muda akibat banyak kelahiran pasca berakhirnya Perang Dunia ke-II. Di Prancis saja, kelompok usia di bawah 20 meningkat 33,8 persen dalam rentang selesai Perang Dunia II hingga 1968.
Tentu saja, ledakan populasi orang muda ini membutuhkan lebih banyak sekolah dan lapangan pekerjaan. Sayang, di bawah rezim de Gaulle, Prancis tertatih-tatih dalam urusan pendidikan.
Secara politik, de Gaulle beda-beda tipis dengan Soeharto. Keduanya sama-sama merindukan sebuah negara kuat yang stabil, harmonis, dan aman terkendali. Untuk itu, di samping bersandar pada aparatus yang represif, de Gaulle juga menciptakan banyak mesin birokrasi untuk mengontrol kehidupan warga negaranya.
De Gaulle, seorang jenderal anti-komunis yang konservatif, berpikir bahwa masyarakat Prancis harus hidup makmur, tetapi sistem sosialnya harus tetap konservatif.
Pakaian perempuan diatur. Kalau perempuan bekerja, harus berpakaian yang sopan. Perempuan yang menikah harus meminta izin suami kalau mau membuka rekening.
Homoseksual dianggap kejahatan. Semua saluran berita, baik televisi maupun radio, harus mendapat izin pemerintah. Lembaga pendidikan, yang penuh sesak dengan generasi baru, juga diatur dalam koridor yang konservatif.
Sampai-sampai Prancis, yang sudah dibebaskan lewat revolusi yang berslogan Liberte, Egalite, dan Fraternite pada 1789 itu, punya aturan yang melarang pelajar dan mahasiswa laki-laki bertamu ke asrama atau kamar perempuan. Begitu juga sebaliknya. Konservatif banget.
Bagi mahasiswa, ini merupakan kekangan terhadap kehidupan privat mereka. Mereka gak bisa ngedate, apalagi nge**. Bagi sebagian mahasiswa kala itu, kebijakan ini merupakan bentuk penindasan hak-hak tubuh dan seksual.

Di kampus, sebagai mahasiswa, sebagai manusia terpelajar, mereka tak merdeka untuk berpikir. Kebebasan berekspresi dikekang. Berserikat dan berkumpul dibatasi.
Ini yang membuat anak-anak muda tak ubahnya, meminjam istilah Joko Widodo (Jokowi), “jiwa-jiwa yang kosong, jiwa-jiwa yang kering.”
Padahal, generasi yang sedang tumbuh di Prancis di kala itu adalah generasi baby boomer, yang lebih gandrung pada kebebasan dan kemerdekaan, sembari mengutuki konservatisme dan kemapanan. Mereka tak suka kekangan, apalagi pembatasan terhadap hak privat dan tubuh mereka.
Sementara Prancis, negeri yang telah dicerahkan oleh Revolusi 1789, tidak pernah kering dengan pemikiran-pemikiran progresif dan radikal, dari eksistensialisme, feminisme hingga marxisme.
Jadi, kalau mau disimpulkan, ada kemajuan ekonomi yang tak meneteskan kesejahteraan pada pekerja, politik otoritarian yang mengekang hak-hak warga negara, ditambah campur tangan negara dalam mengurusi hak privat warga negara. Inilah ranting-ranting kering, yang gampang tersulut api kemarahan rakyat banyak.
Maka kisah perlawanan pun dimulai. Dimulai dari University of Paris (sekarang Paris Nanterre University) di Kota Nanterre, pada 22 Maret 1968, ketika 150-an mahasiswa kiri bersama beberapa seniman menduduki gedung universitas.
Mereka memprotes birokratisme dan pengekangan dalam kehidupan kampus, termasuk kebijakan pemisahan asrama laki-laki dan perempuan.
Gerakan ini dipimpin oleh Daniel Cohn-Bendit, seorang mahasiswa sosiologi keturunan Jerman. Kelak, anak muda ini yang menjadi ikon Revolusi Mei 1968 di Prancis.
Pasca gerakan 22 Maret ini, perlawanan mahasiswa semakin mengeras. Apalagi, karena selalu berujung bentrokan dan represi, solidaritas mahasiswa meluas. Itu terjadi di pengujung April 1968.
Akhirnya, pada 2 Mei 1963, otoritas kampus menutup University of Paris. Keesokan harinya, 3 Mei 1968, mahasiswa di Sorbonne Campus of the University of Paris (sekarang Sorbonne University) menggelar rapat umum. Mereka memprotes penutupan kampus di Nanterre.

Besok malamnya, polisi mendatangi kampus. Tamu tak diundang ini merangsek ke dalam kampus, lalu memukuli dan menangkapi mahasiswa. Bentrokan tak terhindarkan. Dalam kejadian ini, 100-an mahasiswa terluka dan 596 ditangkap.
Kejadian itu menyulut amarah mahasiswa. Pada 6 Mei, 20 ribuan mahasiswa menggelar protes. Mereka di bawah payung Serikat Mahasiswa Nasional (UNEF). Polisi kembali bertindak represif. Tapi, mahasiswa juga tak gentar. Mereka membangun barikade dan bertempur di jalanan. Dalam kejadian ini, 422 mahasiswa terangkap dan hampir seribu yang terluka.
Pasca tindakan represif itu, gerakan protes makin meluas dan membesar. Kali ini sudah menyeret pelajar SMA, dosen-dosen, dan orangtua siswa. Mereka mengajukan tritura (tiga tuntutan), yaitu (1) buka kembali Nanterre dan Sorbonne, (2) polisi keluar dari kampus, dan (3) bebaskan semua mahasiswa dari kriminalisasi.
Pada 10–11 Mei, gerakan protes makin membesar. Mahasiswa dan pelajar menguasai jalanan, sambil membangun barikade, guna menghambat serbuan polisi dan aparat keamanan. Dalam pertempuran yang dimulai jam 02.00 pagi, mahasiswa dan pelajar mulai meneriakkan “de Gaulle pembunuh”. Dalam bentrokan ini, 900 mahasiswa terluka dan 469 tertangkap.
Untuk mencegah gerakan protes makin membesar, Perdana Menteri Prancis kala itu, Georges Pompidou, menyatakan akan membuka kembali kampus dan membebaskan seluruh mahasiswa yang ditangkap.
Tapi keputusan pemerintah itu sudah terlambat. Mahasiswa dan pelajar sudah terlanjur tersulut amarah dan kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Mereka masuk kampus dan menyatakan kampus otonom sebagai “kampus rakyat”. Ratusan komite aksi berdiri di mana-mana.
Malahan, pada 13 Mei, giliran serikat buruh yang bergerak. Konfederasi Umum Serikat Buruh (CGT), serikat buruh terbesar di Prancis kala itu yang berafilisasi dengan Partai Komunis, menyatakan mendukung perjuangan mahasiswa dan mengumumkan aksi nasional pada 13 Mei 1968.
Pada 13 Mei itu, ada 200 ribu orang turun ke jalan. Besoknya, buruh-buruh mulai menduduki pabrik dan menghentikan produksi. Kampus-kampus dan sekolah-sekolah juga diduduki oleh mahasiswa dan pelajar.

Tanggal 16 Mei, ada 50-an pabrik yang diduduki oleh buruh. Kemudian besoknya, 200 ribu orang kembali turun memenuhi jalan-jalan.
Pemerintah mencoba meredam gerakan buruh dengan menaikkan upah 35 persen dan menjanjikan perbaikan kondisi kerja. Tetapi, buruh menolak keputusan itu.
Pada 18 Mei, ada 2 juta buruh yang ikut pemogokan. Pada 20 Mei, jumlah massa bertambah menjadi 10 jutaan orang. Ini terus berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Sebuah revolusi sudah meletus, tak dapat dihentikan lagi.
Pada 29 Mei pagi, karena takut demonstran akan menyerbu Élysée Palace, tempat kediaman Presiden Prancis, De Gaulle kabur menggunakan Helikopter. Dia pergi ke markas besar militer Prancis yang saat itu berada di Jerman.
Tanggal 30 Mei, 500 ratusan demonstran berpawai di Paris, sambil meneriakkan “adieu, de Gaulle” (selamat tinggal, de Gaulle).
Memang de Gaulle sempat kembali lagi ke Prancis. Dia menjanjikan pemilu dipercepat pada 23 Juni. Partai Komunis menyetujui. Uniknya, dalam pemilu 23 Juni itu, Gaullisme (gerakan politik pengikut de Gaulle) justru menang besar; merebut 352 dari 487 kursi parlemen.
Namun demikian, kendati Gaullisme menang besar, tetapi popularitas de Gaulle sudah sangat merosot. Ini yang memaksa dia mengundurkan diri pada 28 April 1969.
Mei 1968 adalah peringatan bahwa sistem yang membungkam hasrat dan kebebasan manusia, cepat atau lambat, akan disapu gelombang. Ia juga menjadi pelajaran bahwa generasi muda, bila bersatu dengan buruh dan rakyat pekerja, bisa melumpuhkan seluruh negeri—bahkan negeri sebesar Prancis. Dan meski tak mengubah dunia secara langsung, Mei 1968 meninggalkan warisan: keberanian untuk bermimpi, untuk melawan, dan untuk mengatakan cukup sudah!