Radikalisme PRD dan Senjakala Orde Baru

Artikel ini diterjemahkan dari sumber aslinya yang berjudul “Radicalism in Indonesia: A short history of the radical movement in Indonesia”. Penulisnya memakai nama Edwin Gozal (kemungkinan nama samaran), perwakilan Partai Rakyat Demokratik (PRD) untuk Asia-Pasifik. Artikel ini merupakan pidato Edwin dalam Konferensi Solidaritas Asia-Pasifik pada 10-13 April 1998.

Artikel ini dipublikasikan ulang di sini untuk melihat situasi menjelang kejatuhan Orde Baru di mata pelaku sejarah. Selain itu, artikel merupakan sebuah peringatan kepada mereka yang sedang menyiapkan upaya politik untuk menetapkan Suharto sebagai pahlawan nasional.


“Di tengah gelombang demonstrasi anti-Soeharto oleh mahasiswa, kerusuhan karena harga melambung, dan penangkapan aktivis pro-demokrasi, berita malam TVRI tanggal 10 Maret terasa seperti cuplikan dari novel 1984 karya George Orwell.”

Tapi mari kembali ke dunia nyata…

Aksi demonstrasi anti-Soeharto makin hari makin membesar. Sekitar 10.000 mahasiswa turun ke jalan di Yogyakarta, kota asal Soeharto, pada 10 Maret. Protes terhadap terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden mulai meluas ke berbagai daerah. Biaya politik dan sosial untuk menghentikan perlawanan ini oleh militer sangat tinggi—sudah banyak aktivis pro-demokrasi yang ditangkap, hilang, bahkan dibunuh.

Sementara itu, di Australia, yang disebut sebagai negara demokratis, Senat malah bertindak seperti dalam novel 1984 karya George Orwell. Ketika Senator Bob Brown dari Partai Hijau Australia mengajukan mosi yang menyatakan keprihatinan atas penangkapan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi Indonesia, para senator dari Partai Liberal dan Partai Buruh menolak usulan tersebut.

Demokrasi tampaknya mengalami kemunduran, tak cuma di Indonesia, tapi juga di India, Filipina, Korea Selatan, Malaysia, dan berbagai belahan dunia lainnya. Meski parlemen-parlemen di negara-negara itu katanya berisi “wakil rakyat”, jurang antara rakyat dan penguasa tetap lebar menganga.

Seperti yang kita ketahui, Partai Demokrat dan Republik di AS, Partai Buruh dan Liberal di Australia, Kongres Sonia Gandhi di India, Lakas-NUCD milik Ramos, serta UMNO yang dipimpin Mahathir Muhammad, semuanya menerapkan strategi yang sama: menjadikan partai politik sebagai wadah bagi politisi karier dan alat untuk mempertahankan kepentingan kaum elite.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya: partai politik revolusioner. Partai ini bukan partai penguasa, melainkan alat perjuangan rakyat yang memberi arah jangka panjang. Bagi kita yang sedang melawan kediktatoran militer—seperti kawan-kawan di Burma—partai semacam ini adalah kendaraan politik yang penting.

Mahasiswa jatuh dan dipukuli pasukan antihuru-hara dalam unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur, di depan Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta, 12 Mei 1998. Pada aksi tersebut, mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan. Kredit: Kompas.id

“Kemiskinan” oposisi

Seorang kawan yang baru kembali dari pertemuan Koalisi Asia Pasifik untuk Timor Timur di Bangkok, bercerita bahwa ia bertemu dengan aktivis oposisi yang bilang, “Indonesia di bawah Orde Baru tak punya tradisi perjuangan lewat partai politik, jadi enggak perlu bikin partai revolusioner.”

Sebelum menerima atau menolak pendapat itu, kita perlu menengok lagi akar gerakan pro-demokrasi di masa Orde Baru.

Kaum Sosial Demokrat dan Liberal Demokrat tahun 1970-an tidak pernah mencoba membentuk kekuatan politik revolusioner untuk menggulingkan rezim militer. Mereka bahkan tidak berusaha mengenalkan program perjuangan mereka ke publik. Ketika satu juta orang turun ke jalan di Jakarta pada 1974 dan 1978, mereka malah minta massa untuk mundur.

Hasilnya adalah demoralisasi. Banyak yang kembali ke dunia kampus atau bikin LSM. Pada awal 1980-an, LSM menjamur bak cendawan di musim hujan. Lewat LSM, mereka mengubah perjuangan menjadi karier. Mereka hidup nyaman: HP mewah, BMW, rumah 15 kamar, dan akhir pekan ke Singapura. Singkatnya, oportunis kelas menengah.

Kami belajar dari pengalaman itu. Tujuan kami jelas: tumbangkan kediktatoran dan tegakkan demokrasi sejati. Maka lahirlah partai revolusioner alternatif dan organisasi massa.

Cuplikan berita koran aksi Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), serikat buruh yang didirikan oleh aktivis PRD.

Perintis awal kami juga dulunya aktivis LSM. Di LSM itu ada tiga aktivis (salah satunya: Danial Indrakusuma). Dua di antaranya memilih tetap menjadi aktivis LSM dan tidak ingin bergabung dengan kelompok mahasiswa yang saat itu memimpin gerakan mahasiswa.

Dari kelompok kecil mahasiswa di awal 1990-an, kami berhasil mendirikan organisasi mahasiswa nasional: Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Untuk pertama kalinya, gerakan mahasiswa menyadari pentingnya bersatu dengan gerakan rakyat.

Kami lalu mendirikan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) sebagai serikat buruh independen. Disusul organisasi Serikat Tani Nasional (STN) dan kelompok pemuda-perkotaan.

Tahun 1994, saatnya menyatukan semua kekuatan ini melawan kediktatoran militer. Maka lahirlah Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) sebagai payung besar. Sayangnya, sebagian pimpinan tergoda oportunisme dan reformisme, hingga akhirnya terjadi perpecahan pada 1995. Setelah elemen oportunis tersingkir, kami melangkah maju: Partai Rakyat Demokratik (PRD) resmi berdiri pada 1996.

Delapan tahun terakhir, rakyat telah membuktikan militansi mereka. Masalahnya, apakah mereka akan dibiarkan sendiri? PRD hadir untuk menyebarkan gagasan pentingnya gerakan massa dan kekuatan di luar parlemen dalam melawan rezim Orde Baru.

PRD sukses menyampaikan pesan ini ke lapisan masyarakat luas lewat rapat akbar. Kami bahkan ikut memimpin aksi menerobos blokade militer. Tapi kelompok oposisi borjuis yang menggantungkan harapan pada parlemen malah menarik mundur gerakan. Akibatnya, 100 orang tewas saat militer menyerbu kantor PDI pada 27 Juli 1996.

Setelah tragedi itu, ketidakpuasan rakyat makin membuncah, apalagi setelah krisis ekonomi melanda. Rakyat turun ke jalan, membakar simbol-simbol kekuasaan dan kemewahan. PRD menemukan kekuatan baru: massa yang sudah muak dengan kediktatoran. Kami turun langsung, memberi pendidikan tentang strategi perlawanan dan makna demokrasi yang menyeluruh.

Sementara itu, kelompok oposisi lain dan LSM memilih pendekatan lebih moderat atau mulai berharap perubahan terjadi dari dalam sistem.

Sebagian dari mereka hanya menunggu krisis ekonomi menjatuhkan Suharto. Sebagian lagi masih berada di ambang kolaborasi dengan rezim atau militer. Ada juga yang percaya bahwa dengan meminta bantuan lembaga kapitalis internasional seperti IMF dan negara imperialis, demokrasi akan muncul di Indonesia.

Beberapa oposisi bahkan berargumen bahwa karena AS berkomitmen pada investasi asing dan ekspansi perdagangan, maka AS juga berkomitmen pada demokrasi di Indonesia! Padahal, semua orang tahu AS ingin Indonesia masuk ke zona perdagangan bebas demi keuntungan korporasi mereka. Namun, AS hanya mendukung demokrasi dalam kondisi tertentu—ketika pemerintahan otoriter tidak bisa lagi mengendalikan rakyat.

AS sering berbicara tentang demokrasi, tetapi komitmen sebenarnya adalah terhadap ekonomi kapitalis. Jika kepentingan investor terancam, demokrasi bisa dikorbankan; selama hak investor terjaga, maka pemerintahan yang represif tetap diterima.

Kasus Filipina adalah pelajaran penting. Pemerintah AS mendukung deklarasi darurat militer oleh Marcos pada tahun 1972. Saat Marcos membungkam oposisi, menguasai ekonomi, dan memonopoli kekuasaan, AS justru mendukungnya. Bantuan militer AS melonjak dari 18,5 juta dolar pada tahun 1972 menjadi 43 juta dolar pada tahun 1976.

Bantuan ekonomi AS bahkan meningkat empat kali lipat selama enam tahun pertama darurat militer. Militer AS juga melatih pasukan khusus yang digunakan oleh Marcos untuk menekan rakyat. Tahun 1986, Marcos mengadakan pemilu untuk membuktikan legitimasinya. Kabinet Reagan terus mendukung Marcos sampai akhirnya pemilu itu terbukti sebagai penipuan. Setelah Marcos kehilangan kendali atas pengikutnya, baru saat itulah AS menghentikan dukungannya.

Beberapa oposisi Indonesia meremehkan massa. Kelompok ini adalah produk dari rezim Orde Baru. Akses mereka terhadap teori sosial dan politik sangat terbatas, mereka selalu dimarginalisasi dan tidak pernah terhubung langsung dengan rakyat.

Sementara itu, massa masih memiliki ilusi terhadap tokoh oposisi borjuis, dan kami belum berhasil memenangkan kepemimpinan gerakan oposisi. Namun, kami bisa meyakinkan elemen terbaik yang ingin berjuang. Kami bisa mendorong mereka untuk mempertimbangkan konsep aliansi, meskipun masih jauh dari aliansi kuat seluruh kekuatan anti-diktator di Indonesia.

Terlepas dari itu, PRD adalah salah satu dari sedikit organisasi yang sudah menyatakan programnya dan memiliki pandangan tentang langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menggulingkan kediktatoran dan mewujudkan demokrasi penuh. Pemerintah tahu ini, dan itulah sebabnya mereka terus menargetkan PRD—meskipun sebagian besar eksekutif nasional PRD sudah dipenjara dalam persidangan yang tidak adil.

Saat demonstrasi mahasiswa meningkat dalam beberapa bulan terakhir, militer menuduh PRD dan sayap mahasiswanya, SMID, berada di balik gerakan tersebut. Rezim meningkatkan represinya: tiga anggota PRD ditangkap dan disiksa parah. Presiden SMID, Andi Arief, diculik oleh militer dan menghilang.

Penangkapan dan penghilangan paksa ini tidak akan menghentikan perjuangan kami. Kami percaya bahwa semangat perlawanan massa hanya butuh waktu untuk terorganisir. Ketika basis massa telah dibangun oleh partai revolusioner, saatnya rakyat menghadapi kelas penguasa. Meski para penguasa itu didukung elit global.

Kelas penguasa vs rakyat

Begitu Soeharto terpilih lagi, pemerintah Asia dan Barat dengan enggan mengucapkan selamat. South China Morning Post melaporkan ucapan selamat datang dari Fidel Ramos, Mahathir Muhammad, Boris Yeltsin, dan John Howard. Inilah bukti nyata: elite dunia saling menopang demi kepentingan orang kaya.

Kerusuhan Mei 1998. Kredit: Arbain Rambey

Hubungan Soeharto dengan kelas penguasa global sangat luas. Misalnya, keluarga Riyadi (pemilik mayoritas saham Lippo Group) menyumbang USD 200.000 untuk kampanye Clinton. Itu cuma bagian kecil dari jaringan kekuasaan Soeharto di dunia internasional.

Putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy), lewat PT Rante Mario, menanamkan USD 75 juta di industri kayu Myanmar. Putrinya, Titik Prabowo, menginvestasikan USD 200 juta untuk pabrik semen di Burma.

Mahathir dan Soeharto juga saling menguntungkan. Putri sulung Soeharto, Tutut, adalah distributor mobil Proton di Indonesia, dan sedang membangun jalan tol dan bandara di Malaysia. Saat asap kebakaran hutan Indonesia menyelimuti Malaysia, Mahathir diam saja. Kenapa? Karena anaknya, Mirzan Mahathir, berbisnis dengan Tutut.

Pada bulan Mei, rakyat Filipina akan melihat siapa yang menjadi penguasa baru di negara mereka. Namun, baik Joe de Venecia maupun Erap Estrada akan tetap bekerja sama dengan keluarga Suharto. De Venecia adalah tokoh utama di balik proyek Brunei-East ASEAN Growth Area (Sabah-Sarawak, Kalimantan Timur, dan Indonesia bagian Timur), yang mendapat dukungan dari elit penguasa Indonesia.

Sementara itu, Erap Estrada menjalin hubungan dengan para baron dari keluarga Cojuangco. Philippines Telephone Corporation (Piltel), salah satu pelanggan terbesar dari Pasifik Satelit Nusantara—perusahaan milik Bambang Triatmojo, putra kedua Suharto. Direktur Piltel adalah Ramon Cojuangco Jr. Selain itu, mantan duta besar Eduardo “Danding” Cojuangco berusaha menjual sahamnya di San Miguel Corporation kepada First Pacific Group, perusahaan milik Sudono Salim, salah satu rekan bisnis terdekat Suharto.

Indonesia juga terlibat dalam kontrak senilai 2,4 miliar dolar AS untuk membangun kembali Fort Bonifacio di Manila, dan Tutut telah menginvestasikan 475 juta dolar AS dalam proyek Metro Manila Skyway. Jadi, siapa pun yang menjadi presiden Filipina—Ramos, Erap, atau De Venecia—pasti akan tetap mempertahankan hubungan dengan keluarga Suharto.

Beberapa aktivis bingung mengapa pemerintah “demokratis” Thailand malah mengintimidasi peserta pertemuan Koalisi Asia Pasifik ke-3 di Bangkok pada Januari lalu. Padahal, PT Elektrindo Nusantara, yang dimiliki oleh Bambang Triatmojo, adalah pemasok utama bagi Angkatan Udara Kerajaan Thailand serta Departemen Dalam Negeri Thailand.

Ini hanyalah contoh kecil bagaimana elit penguasa di kawasan Asia Pasifik bekerja sama dengan Suharto demi kepentingan kaum kaya.

Sebagai respons, para aktivis di kawasan ini perlu lebih aktif membangun solidaritas bersama.

Sebuah keuntungan besar bagi aktivis Indonesia dan Timor Timur, serta kita semua yang hadir di sini, adalah belajar dari keputusan Serikat Maritim Australia pada tahun 1940-an untuk melarang kapal-kapal perang Belanda meninggalkan Australia menuju Indonesia sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia.

Tentunya, kami berharap aksi serupa dapat dilakukan tidak hanya dalam mendukung gerakan pro-demokrasi Indonesia, tetapi juga perjuangan untuk penentuan nasib sendiri di Timor Timur, di Burma, perjuangan melawan uji coba nuklir di Pasifik, dan berbagai perjuangan lainnya melawan penindasan.

Menghadapi krisis ekonomi saat ini, peran partai revolusioner menjadi sangat penting dalam mengorganisir aksi massa yang dapat menekan elit penguasa yang brutal dan represif.

Asia: Kapal Titanic yang karam?

Krisis ekonomi Asia mengguncang kepercayaan diri ideologi kapitalis. Ini adalah bukti nyata betapa rapuh dan kontradiktifnya sistem ini.

Krisis ini pertama kali muncul di Thailand pada Mei-Juni tahun lalu, lalu menyebar ke Malaysia, Indonesia, Filipina, Hong Kong, dan Korea Selatan.

Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Filipina meminta bantuan dari IMF. Atas perintah IMF, para penguasa di negara-negara ini menerapkan program penghematan besar-besaran. Akibatnya, tingkat pengangguran melonjak tiga kali lipat, upah semakin sulit dibayar, dan hak-hak pekerja semakin ditekan.

Mahasiswa dan rakyat menguasai gedung DPR/MPR pada Mei 1998.

Ke depan, kelas penguasa akan makin represif terhadap rakyat yang menolak kebijakan ini.

Seperti yang kita lihat, perjuangan kelas di beberapa negara Asia makin membesar. Di Indonesia, hampir setiap hari ada demonstrasi menolak terpilihnya kembali Suharto dan dampak krisis ekonomi. Di Korea Selatan, ribuan pekerja sudah melakukan pemogokan besar-besaran. Di Thailand, kaum miskin, pekerja, dan petani juga menuntut reformasi ekonomi dan politik.

Para penguasa memutuskan untuk meningkatkan represi, terutama di Indonesia, di mana pemerintah mulai menerapkan metode teror baru seperti penculikan dan penembakan oleh pasukan khusus.

Tindakan represif ini mungkin akan melemahkan gerakan perlawanan untuk sementara, tetapi juga akan memperdalam kontradiksi dalam sistem dan mempertahankan perjuangan melawan eksploitasi di kawasan Asia.

Di tengah semua ini, partai revolusioner punya peran kunci. Ia bisa memberi pendidikan politik dan arah perjuangan. Krisis ini seperti kapal Titanic yang karam. Penumpang kelas satu selamat lebih dulu. Tapi kita bisa belajar dari penumpang kelas bawah: kita butuh perahu sendiri. Dan perahu itu adalah partai revolusioner yang mulai kita bangun sekarang.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Nyanyian Protes dari Turki

Nyanyian Protes dari Turki

Tak lama setelah militer berkuasa, ratusan aktivis dibunuh dan 650 ribuan orang

Next
Kritik Perempuan atas Tata Kota yang Maskulin

Kritik Perempuan atas Tata Kota yang Maskulin

Kota didesain untuk mobil, bukan pejalan kaki

You May Also Like
Total
0
Share