Indonesia, negeri yang belum terbebas dari sisa-sisa feodalisme, anggapan sosial yang patriarkis masih bercokol kuat di alam berpikir sebagian masyarakatnya.
Dan, sialnya lagi, cara pandang itu juga masih tertanam kuat di dalam cangkang otak sebagian elit politik dan pejabat Negeri. Seperti terbaca baru-baru ini, ketika Menteri Informasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, mengomentari kasus istri membakar suami di Mojokerto, Jawa Timur, awal Juni lalu.
“Ternyata perempuan itu lebih kejam dari lelaki ya. Ini tanpa gender stereotype loh, yang istrinya membunuh suaminya polisi,” kata sang Menteri yang alumni UI dan Ketua Umum sebagai organisasi relawan politik, seperti dikutip Tempo.co, 11 Juni 2024.
Ini bukan cerita baru. Pada Desember 2023, seorang pejabat yang sedang mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden bilang, banyak suami jadi koruptor dan masuk penjara karena tuntutan istri.
“Gajinya cuma Rp 20 juta, belanjanya Rp 50 juta, gajinya Rp 2 juta, belanjanya Rp 5 juta, yang dituntut dari suaminya. Suami ndak punya kerjaan lain, terpaksa korupsi, ngutip sana, ngutip sini. Itu karena ibu-ibunya,” kata sang Cawapres, seperti dikutip Detik.com, 17 Desember 2023.
Baik, balik lagi kasus istri yang membakar suaminya. Bukan hanya sang Menteri yang mengidap penyakit patriarkis sehingga bias dalam melihat persoalan itu, tetapi juga sebagian besar masyarakat kita. Tak sedikit yang seolah kaget: kok bisa istri membakar suami? perempuan sadis macam apa yang begitu berani dan tega membakar suaminya?
Tentu saja, tak ada yang menyangkal bahwa istri membakar suami adalah tindakan melawan hukum yang kejam. Namun, melihat reaksi sang Menteri dan banyak kaum patriarkis di negeri ini, muncul semacam standar ganda.
Mengapa tak muncul reaksi serupa ketika seorang suami membakar istrinya hanya karena cemburu buta di Tangerang, atau suami pengangguran menggorok leher istrinya di Bekasi, atau suami membunuh istrinya dengan gagang cangkul karena tersulut emosi melihat notifikasi pria lain di HP istrinya, atau suami yang membunuh 4 anaknya karena cemburu pada istrinya, atau suami yang membunuh istri dan jasadnya dicor di hadapan anak-anaknya. Dan ada banyak kasus keji lainnya.
Di sini ada asumsi patriarkis yang bekerja. Perempuan atau istri harus lembut, penyayang, dan patuh kepada suaminya. Sementara laki-laki harus jantan, tegas, dan menjaga keluarganya. Bahwa istri harus menjaga kehormatan suami. Sebaliknya, suami berhak mengatur kehidupan maupun relasi sosial istrinya: kapan ia boleh keluar rumah, dengan siapa ia boleh bergaul, dan dalam batas apa ia boleh berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan, sekalipun istri bekerja dan menjadi tulang-punggung ekonomi rumah tangga, sementara suami menganggur dan tidak produktif, ia tetap harus tunduk dan patuh pada suami.
Asumsi patriarkis ini juga yang bekerja dalam banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kasus pembunuhan istri oleh suami karena faktor cemburu/selingkuh, di baliknya ada asumsi patriarkis: istri, termasuk tubuhnya, adalah hak milik sang suami. Istri dan tubuhnya adalah simbol kehormatan suaminya. Itulah mengapa, dalam banyak kasus pembunuhan istri oleh suami karena isu perselingkuhan, ada semacam pemakluman sosial dengan dalih: suami menegakkan hak miliknya sekaligus kehormatannya sebagai suami.
Dalam kasus istri membakar suami di Mojokerto itu, ada beberapa isu yang jarang tersorot. Pertama, si istri adalah korban penelantaran atau kekerasan ekonomi. Sang suami kerap menghabiskan gajinya dan uang belanja istri untuk judi online. Padahal, selain kebutuhan rumah tangga, sang istri juga harus membiayai tiga anak mereka yang masih balita. Persoalan ekonomi ini mengalami eskalasi manakala sang istri mengetahui gaji ke-13 dipakai untuk judi online.
Kedua, sang istri diduga mengalami depresi pasca melahirkan. Sang istri, yang anggota Polwan, baru saja masuk kerja setelah selesai cuti melahirkan. Empat bulan lalu, ia melahirkan bayi kembar. Selain itu, ia punya balita usia 2 tahun.
Bayangkan, seorang perempuan harus melakukan beban ganda: bekerja sekaligus mengurus tiga orang balita tanpa dukungan memadai dari suami?
Ibu yang baru melahirkan menghadapi kondisi yang tidak mudah. Berbagai perubahan terjadi, mulai dari perubahan fisik, mental, dan sosial. Hal itu sangat rentan memicu terjadinya depresi pasca-persalinan. Sayangnya, tidak ada dukungan memadai dari sang suami. Di sini, isu paternity leave untuk mendorong pembagian kerja perawatan anak secara adil menjadi sangat penting.
Di Indonesia, isu depresi pasca melahirkan jangan dianggap receh. Merujuk data lama, sebanyak 22,4 persen ibu mengalami depresi setelah melahirkan (The Conversation Indonesia, 2019). Angka ini jauh dari rata-rata dunia sebesar 10-15 persen.
Karena itu, dalam mengadili Brigadir FN dalam kasus KDRT terhadap suaminya, pendekatan teori hukum feminis atau feminist legal theory (FLT) sangat diperlukan. Teori hukum feminis merupakan pendekatan dalam analisis dan penerapan hukum yang mempertimbangkan perspektif dan pengalaman perempuan.
FLT bisa membongkar bias gender dalam penerapan hukum. Sebab, hukum seringkali hukum seolah berjenis kelamin laki-laki, karena proses penyusunan dan pembuatannya didominasi oleh perspektif dan politisi laki-laki.
FLT bisa memberikan sudut pandang jernih atas kompleksitas dalam kasus KDRT yang pelakunya perempuan. Sering terjadi, dalam kasus KDRT yang pelakunya perempuan, didahului dengan kisah istri yang mengalami kekerasan, pelecehan, penyiksaan, atau penelantaran yang berlangsung lama dan eskalatif. Dan semua itu terjadi karena ada ketidaksetaraan relasi antara suami dan istri di dalam rumah tangga. Dan ketidaksetaraan itu dibenarkan oleh norma atau anggapan sosial yang masih bercorak patriarkis.
Kekerasan, apalagi jika berujung kematian, tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun. Siapa pun pelakunya, entah laki-laki maupun perempuan. Namun, norma sosial yang bias gender tidak boleh dibiarkan melakukan penghukuman yang berat sebelah. Hukum harus berdiri di atas keadilan, termasuk keadilan gender.