Perang Pertumpahan Darah Israel di Lebanon

Serangan Israel terhadap desa Chihine, di perbatasan Lebanon Selatan, 28 Juli 2024. Kredit foto: KAWNAT HAJU/AFP

Senin, 23 September 2024, Israel melakukan serangan paling mematikan di Lebanon sejak invasinya pada 2006. Mereka menyerang daerah-daerah padat penduduk di seluruh Lebanon Selatan—termasuk menghantam pusat medis dan ambulans.

Menurut Menteri Kesehatan Lebanon, aksi itu kian memperluas serangan ke Beirut dan Lembah Bekaa di timur. Serangan Israel termasuk menargetkan sebuah gedung bertingkat di pinggiran Beirut, Dahieh, yang dilaporkan ditujukan untuk membunuh Ali Karaki, seorang komandan senior di Hizbullah. Kelompok tersebut merilis pernyataan bahwa Karaki dalam “keadaan sehat dan telah dipindahkan ke tempat yang aman.” Pada malam waktu setempat, jumlah korban tewas di Lebanon mencapai 492 orang—termasuk setidaknya 35 anak-anak—dengan lebih dari 1.600 orang terluka, sementara beberapa pejabat Israel mengancam dengan prospek perang pemusnahan seperti di Gaza terhadap Lebanon.

Pada awal hari itu, warga setempat mulai menerima pesan teks dan panggilan dengan rekaman audio yang memperingatkan untuk meninggalkan rumah dan desa mereka. Militer Israel mengklaim bahwa serangan mereka, yang katanya menargetkan 1.300 “sasaran,” bertujuan untuk menghancurkan persediaan senjata dan fasilitas peluncuran roket Hizbullah. Jalan-jalan keluar dari selatan padat pada sore hari, karena orang-orang berusaha melarikan diri dari bom Israel. Associated Press menyebutnya sebagai “eksodus terbesar sejak 2006.” Sekolah-sekolah dan universitas-universitas di seluruh negeri telah ditutup, dan otoritas Lebanon membuka fasilitas pendidikan untuk menampung para pengungsi.

Juru bicara militer Israel berbahasa Arab, Avichay Adraee, juga memposting beberapa pesan ancaman di Twitter, kini dikenal sebagai X, yang memerintahkan orang-orang untuk meninggalkan rumah mereka, termasuk di wilayah Lembah Bekaa. “Jika Anda berada di dalam atau di dekat rumah yang menyimpan senjata Hizbullah, Anda harus meninggalkannya dan menjauh sejauh 1.000 meter dari desa, atau pergi ke sekolah pusat terdekat dan tidak kembali hingga pemberitahuan lebih lanjut,” tulisnya. Ia menambahkan, “Siapa pun yang berada di dekat elemen Hizbullah, fasilitas, dan senjata, sedang mempertaruhkan nyawa dirinya dan keluarganya.” Pasukan Israel kemudian membombardir wilayah tersebut.

Warga sipil tidak bisa diharapkan untuk tahu di mana gudang senjata mungkin berada. Ini menambah kesan bahwa Israel sedang melakukan “perang psikologis,” seperti yang disebut kantor berita resmi Lebanon, selain kampanye pengeboman brutal. Meskipun IDF menggambarkan perintah-perintah ini sebagai peringatan evakuasi yang didorong oleh kemanusiaan, mereka telah mengeluarkan komunikasi serupa sepanjang perang 11 bulan mereka melawan Palestina di Gaza, hanya untuk kemudian mengebom wilayah di mana mereka meminta warga lari.

“Orang-orang telah melihat apa yang terjadi di Gaza, dan mereka tahu bahwa orang Israel sangat mampu dan mereka memahami bahwa pada dasarnya Barat bahkan telah menyerah untuk berpura-pura melakukan apa pun terhadapnya,” kata Karim Makdisi, seorang profesor politik internasional di Universitas Amerika di Beirut. “Tidak ada alasan untuk percaya bahwa orang Israel tidak akan melanjutkan dan pada dasarnya mencoba mengosongkan sebagian besar wilayah selatan dan mencoba membuat tempat tersebut sama sekali tidak dapat dihuni untuk masa yang akan datang.”

Saat Israel melanjutkan serangannya pada hari Senin, Hizbullah meningkatkan operasi mereka sendiri, meluncurkan ratusan roket ke pangkalan Ramat David dan situs-situs militer lainnya di seluruh Israel utara, sambil mengklaim telah menyerang kompleks industri di dekat Haifa. Video di media sosial juga menunjukkan rudal Hizbullah menyerang di timur Tel Aviv, dekat beberapa permukiman ilegal di Tepi Barat, lebih jauh dari yang pernah ditargetkan kelompok tersebut dalam konflik sebelumnya. Komando Home Front Israel mengumumkan keadaan darurat internal yang dikenal sebagai “situasi khusus,” mengutip “kemungkinan” serangan di wilayah sipil yang memungkinkan pemerintah untuk memperluas otoritasnya atas kehidupan sipil selama 48 jam ke depan.

Setelah sehari penuh serangan yang intens dan terus-menerus, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu merilis video di media sosial. Dalam pesannya untuk rakyat Lebanon, Netanyahu mengklaim bahwa “Hizbullah telah menggunakan kalian sebagai perisai manusia” saat menembakkan roket ke Israel. Perdana menteri Israel juga menyebut pengeboman besar-besaran di Lebanon pada hari Senin sebagai tindakan defensif. “IDF telah memperingatkan kalian untuk menjauh dari bahaya,” katanya dengan nada seperti seorang gubernur yang mengeluarkan peringatan tentang badai, daripada seorang pemimpin negara nuklir yang mengawasi pengeboman besar-besaran di desa-desa. “Saya mendesak kalian– ambil peringatan ini dengan serius. Jangan biarkan Hizbullah membahayakan hidup kalian dan orang-orang yang kalian cintai. Jangan biarkan Hizbullah membahayakan Lebanon.”

Israel telah meluncurkan banyak kampanye militer brutal di Lebanon dalam beberapa dekade sebelumnya. Klaimnya hari ini, mereka bertujuan melindungi nyawa warga sipil dengan pesan evakuasi ditolak secara luas oleh warga Lebanon dan pengamat lainnya—dan memicu kecurigaan bahwa Israel berusaha membersihkan etnis warga Lebanon selatan untuk membangun zona penyangga militer di dalam wilayah Lebanon.

“Ini bukan pertama kalinya Israel memperingatkan ratusan ribu warga sipil di Lebanon untuk melarikan diri sebelum dengan kejam mengebom mereka,” kata Sarah Leah Whitson, seorang ahli hukum kemanusiaan internasional dan direktur eksekutif kelompok hak asasi manusia DAWN.

“Memperingatkan warga sipil untuk melarikan diri tidak membebaskan Israel dari aturan paling dasar hukum perang, yaitu tidak dengan sengaja atau sembarangan menembak warga sipil. Seperti yang ditunjukkan oleh jumlah korban tewas di Lebanon, ini bukanlah aturan yang ingin diikuti oleh Israel.”

Lampu hijau

Tidak ada indikasi bahwa AS, pendukung militer utama Israel, memiliki rencana untuk menahan pemerintah Israel dalam serangan yang meluas di Lebanon, Gaza, dan Tepi Barat.

Pentagon mengumumkan pada hari Senin bahwa AS mengerahkan sejumlah pasukan Amerika yang tidak disebutkan jumlahnya, selain 40.000 pasukan yang sudah berada di wilayah tersebut. Dalam laporan pembicaraan telepon dengan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengulangi posisi standar AS bahwa Israel bertindak untuk membela diri. “Menteri menyatakan dukungannya terhadap hak Israel untuk membela diri saat Hizbullah memperluas serangannya lebih dalam ke Israel, dan menekankan pentingnya menemukan jalur menuju solusi diplomatik yang akan memungkinkan penduduk di kedua sisi perbatasan untuk kembali ke rumah mereka secepat dan seaman mungkin,” kata laporan tersebut.

Makdisi mengatakan Israel tidak akan meluncurkan serangan sebesar ini tanpa “lampu hijau” dari AS. “Saya pikir mereka telah diberi pemahaman yang jelas bahwa mereka memiliki waktu hingga pemilu untuk melakukan apa yang mereka inginkan,” katanya kepada Drop Site News.

Dalam beberapa minggu terakhir, pejabat AS telah membuat pernyataan publik yang mengklaim bahwa mereka ingin melihat “resolusi diplomatik” terhadap kebuntuan antara Israel dan Hizbullah yang dimulai setelah 7 Oktober tahun lalu. Beberapa pejabat juga mengklaim bahwa AS telah berusaha mencegah eskalasi, dengan juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengatakan kepada ABC News pada hari Minggu bahwa AS berusaha mencegah “perang habis-habisan” antara kedua pihak. Ia menyebut pemerintahan Biden tidak setuju dengan kebijakan Israel memperluas konflik ke Lebanon.

Sementara itu, Barak Ravid, seorang jurnalis untuk Axios yang dikenal karena akses dalamnya ke pejabat Israel dan Amerika, melaporkan akhir pekan lalu bahwa pejabat AS secara pribadi mengatakan mereka mendukung kebijakan Israel untuk “deeskalasi melalui eskalasi”–sebuah sikap kontradiktif yang akan memungkinkan Israel meningkatkan kehancuran di Lebanon dan membuka jalan menuju konflik yang lebih luas.

“Serangan Israel yang mengejutkan di Lebanon selama seminggu terakhir ini adalah hasil yang sepenuhnya dapat diprediksi dari terus dipeluknya pemerintahan Netanyahu yang tidak stabil oleh pemerintahan Biden, menghadiahkannya dengan persediaan senjata yang tidak terbatas, tidak peduli seberapa sering ia menolak permohonan Amerika untuk menahan konflik,” kata Whitson, mantan direktur Divisi Timur Tengah dan Afrika Utara Human Rights Watch.

Satu front tunggal

Israel telah mengatakan akan mengumumkan “tahapan selanjutnya” dalam operasi militernya di Lebanon dalam beberapa hari mendatang. Pada hari Senin, juru bicara IDF Daniel Hagari ditanya apakah militer siap melakukan invasi darat. “Apakah tentara siap? Ya, tentara dalam kesiapan penuh dan kami akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk memastikan semua warga kami di perbatasan utara kembali dengan selamat,” katanya.

Makdisi memperkirakan AS ingin memisahkan front Gaza dan Lebanon untuk memaksa Hizbullah menghentikan serangannya ke Israel utara. Hizbullah menegaskan bahwa mereka tidak akan melakukannya sampai gencatan senjata tercapai di Gaza—seperti ditekankan Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah dalam pidatonya Jumat lalu. “Apa pun pengorbanannya, apa pun konsekuensinya, apa pun yang terjadi, kami tidak akan menghentikan dukungan kami untuk Gaza, dan front Lebanon dengan Israel tidak akan berhenti sampai agresi di Gaza berakhir,” kata Nasrallah.

Ini adalah pidato pertama Nasrallah setelah serangan mendadak Israel minggu lalu, ketika ribuan alat komunikasi meledak serentak, menewaskan lebih dari selusin orang dan melukai ratusan lainnya. Rabu lalu, alat komunikasi yang digunakan oleh pasukan Hizbullah juga meledak dengan cara serupa, menewaskan lebih banyak orang, diikuti serangan udara besar-besaran pada hari Jumat di lingkungan Dahieh, Beirut, yang menewaskan setidaknya 45 orang. Hizbullah mengonfirmasi bahwa serangan udara tersebut menewaskan komandan senior Ibrahim Aqil dan 15 pejabat penting lainnya dari pasukan elite Radwan. AS, yang menyangkal terlibat atau mengetahui serangan ini sebelumnya, pernah menawarkan hadiah $7 juta untuk informasi tentang Aqil atas dugaan perannya dalam pemboman Kedutaan Besar AS di Beirut pada 1983.

“Tidak ada yang menangisi kematiannya,” kata Brett McGurk, utusan Timur Tengah Presiden Biden. “Namun, kami memiliki perbedaan pendapat dengan Israel mengenai taktik.”

Makdisi mengatakan bahwa serangan Israel baru-baru ini merupakan “pukulan berat, namun tidak kritis” bagi Hizbullah. Ia menambahkan bahwa tanggapan militer Hizbullah yang relatif tenang selama minggu lalu bukan berarti menunjukkan kelemahan, melainkan karena kelompok ini masih disiplin dan tidak ingin terseret ke dalam apa yang diinginkan Netanyahu, setidaknya untuk saat ini.

Israel menyatakan bahwa tujuannya dalam menyerang Lebanon adalah memastikan kembalinya puluhan ribu warga Israel yang dievakuasi dari utara negara itu sejak 7 Oktober. “Kalian tidak akan bisa mengembalikan pemukim dan perampas tanah ke utara,” kata Nasrallah Jumat lalu. “Satu-satunya cara untuk mengembalikan mereka adalah mengakhiri serangan di Gaza dan Tepi Barat.”

Makdisi mengatakan bahwa sejak invasi Israel ke Lebanon pada 1982, negara tersebut telah bertujuan untuk mendemiliterisasi wilayah selatan Lebanon, termasuk melalui perang darat pada 2006. Hizbullah secara luas dianggap telah mengalahkan Israel dalam konflik 2006 dengan memaksanya mencapai gencatan senjata. Makdisi memperkirakan Israel—dengan dukungan AS—percaya bahwa kali ini mereka dapat mencapai tujuannya dengan menghancurkan kemampuan militer Hizbullah di selatan dan memaksakan kehendaknya di wilayah tersebut.

“Mereka tidak bisa hidup berdampingan dengan negara atau orang mana pun di sekitar mereka tanpa membuat pihak lain menerima kekalahan. Itu hanya prasyarat. Jadi hal ini harus dilihat dalam konteks sejarah Zionisme itu sendiri,” kata Makdisi. Israel “membutuhkan Palestina menyerah, membutuhkan Mesir menyerah. Mereka membutuhkan Yordania untuk menyerah, dan mereka membutuhkan Lebanon untuk menyerah. Itulah konteksnya.”

Seberapa kuat Hizbullah?

Sejak perang 2006, kapasitas militer Hizbullah telah berkembang pesat, dan ukuran pasukan tempurnya meningkat. Hizbullah dianggap sebagai kekuatan militer non-negara yang paling kuat di dunia, dengan perkiraan persediaan antara 150.000 hingga 200.000 rudal jarak pendek dan jarak jauh, armada pesawat tak berawak yang terus berkembang, jaringan terowongan dan fasilitas bawah tanah yang canggih, serta puluhan ribu pejuang terlatih.

Hizbullah juga mendapatkan dukungan militer dan logistik yang luas dari Iran serta memiliki hubungan dengan pemerintah daerah dan jaringan milisi sekutu. Munculnya Poros Perlawanan—koalisi longgar negara dan faksi perlawanan bersenjata, termasuk Iran, Hizbullah, Hamas, Ansarallah di Yaman, dan lainnya yang bersumpah untuk melawan Israel secara militer—juga menghadirkan dinamika baru yang harus dipertimbangkan Israel saat menimbang jenis perang yang dapat mereka menangkan.

Amal Saad, seorang ahli tentang Hizbullah, mengatakan kepada Drop Site baru-baru ini: “Pada dasarnya, apa pun yang dimiliki Iran, semua senjata yang dimiliki Iran, kita bisa yakin Hizbullah juga memilikinya. Itulah yang kita tahu. Dan itu di luar dari apa yang diproduksi Hizbullah di dalam negeri, seperti teknologi dronenya—mereka sekarang memproduksi drone mereka sendiri. Jadi, kita sedang membicarakan makhluk militer yang sangat berbeda dibandingkan tahun 2006.”

Makdisi mengatakan hingga saat ini Hizbullah belum mengerahkan senjata canggihnya, atau melancarkan serangan besar terhadap target sipil utama, seperti bandara Ben Gurion di Tel Aviv atau pelabuhan besar di Haifa. Jika itu terjadi, katanya, itu bisa menjadi indikasi bahwa Hizbullah sedang beralih ke mode perang total.

“Mereka tidak akan panik. Dan mereka bisa melihat apa yang ingin dilakukan Israel dalam hal mencoba mengosongkan selatan dan menghancurkan infrastruktur di sana, yang akan memakan beberapa tahap. Jadi mereka akan menunggu dan melihat apa yang akan terjadi,” katanya. “Jika mereka melancarkan serangan besar-besaran di wilayah sipil atau bandara, jika mereka mengubah cara mereka menyerang, dan jika mereka melepaskan kemampuan teknologi [lebih canggih] yang mereka miliki, maka itu akan menjadi tanda. Tapi saya pikir itu akan terjadi mendekati akhir dari batas kesabaran mereka, dan batas kesabaran mereka jauh lebih panjang dari yang kita pikirkan.”

Peran yang mungkin dimainkan Iran di tengah eskalasi perang menjadi kekhawatiran utama semua pihak, karena muncul pertanyaan di Lebanon tentang mengapa pendukung utama Hizbullah tersebut tetap pasif meskipun perang menyebar. “Sekarang muncul lebih banyak sentimen semacam ini seperti, ‘Di mana Iran?’ Mereka terus mengancam ini dan itu. Namun ketika Lebanon berada dalam kondisi seperti ini, tidak ada yang terjadi,” kata Makdisi.

Secara khusus, Teheran belum merespons secara militer atas pembunuhan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, pada bulan Agustus. Haniyeh dibunuh di sebuah rumah tamu yang dikendalikan oleh Korps Pengawal Revolusi Iran. Meskipun gagasan tentang Poros Perlawanan terus dipromosikan secara luas, Teheran belum secara terbuka menyerang Israel sejak April, ketika mereka meluncurkan serangkaian serangan udara besar-besaran—meskipun sebagian besar bersifat simbolis.

Dalam komentar yang diberikan kepada wartawan menjelang Sidang Umum PBB di New York minggu ini, Presiden Iran yang baru terpilih, Masoud Pezeshkian, mengatakan bahwa pembunuhan Haniyeh “tidak akan dibiarkan begitu saja.” Ia menambahkan bahwa Iran tidak ingin terlibat dalam perang regional yang lebih besar atas provokasi Israel. Presiden Iran, yang mewakili blok reformis di dalam negeri, juga menyampaikan nada damai dengan menyatakan bahwa Iran akan menurunkan eskalasi di kawasan tersebut jika AS juga mengurangi dukungannya terhadap Israel.

“Kami bersedia meletakkan semua senjata kami, selama Israel bersedia melakukan hal yang sama,” katanya. “Namun, kami tidak bisa membiarkan pihak luar datang, mempersenjatai satu pihak, dan mencegah pihak lain memiliki sarana untuk mempertahankan diri.”

Kebijakan luar negeri regional Iran sebagian besar dianggap sebagai ranah keamanan garis keras negara tersebut, khususnya Korps Pengawal Revolusi Islam. Dalam komentarnya kepada wartawan, Pezeshkian menyebut Israel melakukan “genosida” di Jalur Gaza. Menanggapi pertanyaan apakah Iran akan campur tangan untuk membela Hizbullah dari serangan Israel, dia mengatakan bahwa Iran “akan membela siapa pun yang membela hak-haknya dan dirinya sendiri.”

Satu hari setelah kampanye udara Israel diperluas, ratusan warga sipil Lebanon tewas dan ribuan lainnya terluka. Jumlah tersebut hampir pasti akan meningkat dalam beberapa hari mendatang.

Pejabat Israel telah berulang kali menyatakan dalam beberapa bulan terakhir bahwa mereka menganggap populasi Lebanon identik dengan Hizbullah itu sendiri dan mengancam akan melakukan kekerasan terhadap warga sipil Lebanon.

Pada bulan Juli, Menteri Pendidikan Israel Yoav Kisch mengatakan bahwa “Lebanon, seperti yang kita kenal, tidak akan ada lagi,” setelah perang di masa depan, menambahkan bahwa “tidak ada perbedaan antara Hizbullah dan Lebanon,” dan negara tersebut menghadapi “kehancuran.” Menteri Diaspora dan Pemberantasan Antisemitisme Israel, Amichai Chikli, minggu ini menyerukan militer Israel untuk menciptakan zona penyangga di Lebanon Selatan, “bebas dari populasi musuh,” dan menambahkan bahwa kontrol militer Israel atas Lebanon “harus diperluas dan populasi musuh diusir dari daerah tersebut.”

“Hizbullah=Lebanon,” tulis mantan Perdana Menteri Israel Bennett dengan lebih blak-blakan di media sosial. “Hizbullah mengontrol pemerintah Lebanon, dan tidak bisa bertahan tanpa dukungan rakyat.”

JEREMY SCAHILL, jurnalis di Drop Site News, co-founder of The Intercept, penulis buku Blackwater and Dirty Wars

MURTAZA HUSSAIN, jurnalis di Drop Site News

Diterjemahkan oleh Raymond Samuel dari Drop Site News.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Pancasila di Persimpangan Jalan: Kritik atas Moralitas dan Penyelenggaraan Negara

Pancasila di Persimpangan Jalan: Kritik atas Moralitas dan Penyelenggaraan Negara

Kongres Pancasila XII bertema “Pancasila Nyawa Bangsa: Menghalau

Next
Mewaspadai Jalan Tragis Kematian Demokrasi

Mewaspadai Jalan Tragis Kematian Demokrasi

Demokrasi bisa mati karena kudeta-atau mati pelan-pelan

You May Also Like
Total
0
Share