Pemilihan Umum Bolivia pada 2005 menciptakan sejarah baru: Evo Morales, seorang keturunan Indian Aymara, terpilih sebagai Presiden. Dia menjadi orang pribumi pertama yang menduduki kursi nomor satu di negeri mayoritas Indian itu.
Jalan politik yang ditempuh Evo menuju kemenangan elektoral tidaklah mudah. Terlahir dari keluarga sangat miskin, kemudian putus sekolah saat SMP dan akhirnya menjadi petani koka, Evo tak punya modal politik yang mumpuni.
Tahun 1980, Evo hanyalah petani koka. Sembari bertani, dia suka bermain bola. Hingga, pada 1981, sebuah kejadian menyeretnya menjadi aktivis: pembunuhan seorang petani yang disiram bensin dan dibakar hidup-hidup oleh tentara.
Evo pun menjadi aktivis serikat petani. Saat itu, rezim militer yang disokong oleh Amerika Serikat hendak membasmi pertanian koka. Para petani bangkit melawan. Dan serikat petani menjadi ujung tombaknya.
Di sinilah Evo tampil sebagai tokoh gerakan petani. Sepanjang 1988–1989, dia tampil memimpin perlawanan militan petani koka, dari aksi massa biasa, aksi pendudukan, aksi jalan kaki ribuan kilometer, hingga blokade jalan.
Tahun 1990-an, Evo menyadari perlunya perjuangan politik demi mengubah perimbangan kekuatan di dalam kekuasaan. Agar pengambilan kebijakan tak hanya dikelilingi oleh pengusaha dan militer. Pada 1995, Evo dan sejumlah organisasi petani sepakat membentuk sebuah alat politik baru. Namanya: Majelis untuk Kedaulatan Rakyat atau Asamblea por la Sobernía de los Pueblos (ASP).
ASP ini mencoba untuk ikut pemilu, tetapi tidak lolos verifikasi. Namun, Evo dan kawan-kawan tak mati langkah. Akhirnya, ASP mendekati Persatuan Kiri/Izquierda Unida, sebuah alat politik yang didirikan oleh partai-partai kiri pada 1989.
Pada Pilkada 1995, IU ikut serta. Caleg-caleg ASP maju di bawah bendera IU. Hasilnya tak begitu mengecewakan. IU merebut 5 walikota dan 49 dewan kota.
Pada Pemilu nasional 1997, caleg-caleg ASP kembali ikut pemilu di bawah bendera IU. Hasilnya: empat kandidat yang diusung AS, termasuk Evo Morales, terpilih sebagai anggota parlemen. Evo maju dari basis taninya di Chepare dan meraih suara sangat signifikan.
Namun, tak berumur lama, ASP dilanda konflik internal. Evo ditendang keluar dari ASP. Dia pun mendirikan sebuah alat politik baru: Alat Politik untuk Kedaulatan Rakyat atau Instrumento Político por la Soberanía de los Pueblos (IPSP).
Sayang sekali, perjuangan IPSP untuk mendapat tiket elektoral juga tidak berhasil. Namun, lagi-lagi Evo tak kehilangan ide dan menyerah. Dia bukan tipe aktivis yang miskin taktik. Jalan pikirannya tak sekaku kanebo kering.
Saat itu, ada partai yang menganggur. Hidup segan, mati pun tidak. Meski pengurusnya sudah tidak begitu aktif, tetapi namanya terdaftar di KPU Bolivia. Namanya: Movimiento al Socialismo — Unzaguista (MAS-U).
Evo berusaha mengakuisisi nama MAS-U sebagai kendaraan elektoral. Tentu saja, demi taktik elektoral, apa salahnya meminjam atau memakai merek partai lain. Sebagian besar kita mungkin tak mempermasalahkan.
Masalahnya, MAS-U ini bukan partai biasa. Ini partai sempalan dari partai fasis Bolivia, Falange Socialista Boliviana (FSB). Nama Unzaguista (U) diambil dari nama pendiri gerakan fasis Bolivia, Óscar Únzaga. MAS-U didirikan tahun 1987 oleh David Añez Pedraza, seorang pengusaha dan bekas militer yang anti-pribumi.
Singkat cerita, pada 1998, Evo berhasil membuat kesepakatan dengan Añez untuk mengambilalih nama MAS-U. Konsekuensinya, Añez tetap menghendaki menjabat sebagai Presiden partai, meskipun hanya simbolik.
Keputusan itu ditentang oleh kiri radikal di tubuh IPSP, seperti CSUTCB yang dipimpin oleh Felipe Quispe. Mereka menyatakan keluar dari IPSP. Tak hanya keluar, faksi kiri rajin menyerang pendirian politik Evo dan MAS.
Namun, persoalan tak berhenti di sini. Saat itu, untuk membuang nuansa fasisnya, Evo setuju untuk membuang huruf “U” dari MAS, diganti MAS-IPSP. Akan tetapi, ketika MAS tanpa huruf U didaftarkan, KPU Bolivia menolak. Sebab, pergantian nama mensyaratkan persetujuan berbentuk tanda-tangan dari cabang-cabang partai lama. Artinya, Evo dan kawan-kawan harus melobi cabang-cabang MAS-U yang notabene fasis untuk menyetujui penghilangan huruf “U”. Usaha tersebut membuahkan hasil.
Akhirnya, MAS bisa ikut serta pada pemilu lokal 1999. Saat kampanye di Cochabamba, kelompok kiri mengejek MAS dengan sindiran “heil, Hitler”. Namun, MAS mengabaikan gonggongan itu dan tetap fokus pada kerja elektoral. Hasilnya: MAS mendapat 65 ribu suara dan memenangkan 80 kursi majelis lokal.
Ada momentum non-elektoral yang berkontribusi membesarkan MAS, yaitu protes terhadap privatisasi air sepanjang 1999–2000. Protes ini berpusat di kota Cochabamba. Evo Morales dan MAS tampil memimpin aksi protes ini. MAS pun mendapat cap “partai tukang demo”.
Namun, aksi protes itu berhasil mengerek popularitas MAS dan Evo. Pada pemilu 2002, meski tidak menang, MAS bisa menjadi partai peraih suara terbanyak kedua, hanya selisih 2 persen dari partai pemenang pemilu kala itu.
Pasca pemilu, MAS terus berjuang di area non-elektoral. Mereka memimpin protes menentang privatisasi gas pada 2003. Protes itu berujung pada pelengseran Presiden Bolivia kala itu, Sanchez de Lozada.
Namun, hadir dan memimpin aksi saja tak cukup, jikalau tak berhasil memberi jalan keluar pada keresahan itu lewat program partai yang tepat. Tidak muluk-muluk, MAS hanya mengusung tiga program pokok: nasionalisasi industri, legalisasi daun koka, dan redistribusi yang adil pada kekayaan dan sumber daya alam Bolivia.
Mendekati Pemilu 2005, Evo dan MAS aktif berkampanye. Evo sendiri berkeliling Bolivia. Kisahnya diabadikan cukup bagus dalam film dokumenter berjudul “Cocalero” (2007).
Akhirnya, pada pemilu 2005, Evo dan MAS berhasil menang pemilu. Mereka menang besar: 53.74 persen. Evo berhasil mengalahkan seorang politisi kaya bekas Presiden, Jorge “Tuto” Quiroga.