Empat Kali Sepak Bola Menghentikan Perang

Sepak bola merupakan olahraga paling populer di dunia ini. Setidaknya ada 3 miliar manusia yang menyebut dirinya penggemar sepak bola.

Begitu menarik dan indahnya permainan ini, sehingga punya penggemar terbanyak di dunia. Tak sedikit yang menjadi penggemar fanatik, baik klub maupun tim nasional.

Tak jarang, karena fanatisme itu, ditambah cara panitia pertandingan dan aparat keamanan yang buruk dalam menangani ketegangan, terjadi konflik dan kerusuhan pasca pertandingan.

Namun, olahraga ini juga tercatat mampu menghentikan konflik di luar lapangan, termasuk perang yang mengoyak sebuah negara. Tatkala perang berlangsung, para bintang lapangan bola bisa menginterupsinya, bahkan menghentikannya.

Berikut adalah sejumlah catatannya:

Didier Drogba menghentikan perang di Pantai Gading

Tahun 2002, Pantai Gading dikoyak perang saudara. Pemerintahan Laurent Gbagbo, yang disokong oleh Perancis dan Inggris, berkuasa di bagian selatan. Sementara pemberontak yang dipimpin oleh Guillaume Soro juga menguasai bagian utara.

PBB dan Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) berusaha turun tangan. Namun, mereka tak sanggup meredam konflik.

Di tahun yang genting itu, Les Éléphants, nama tim nasional sepak bola Pantai Gading, sedang berjuang di kualifikasi Piala Dunia 2006 di Jerman. Bintang Chelsea, Didier Drogba, menjadi pembawa harapan.

Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, Timnas Pantai Gading berhasil menembus piala dunia. Rakyat Pantai Gading, termasuk yang tengah bertempur, larut dalam suka cita.

Saat itu, Drogba menyampaikan pidato yang menyentuh.

“Hari ini, kami memohon dengan berlutut. Satu-satunya negara di Afrika dengan begitu banyak kekayaan tidak boleh turun ke medan perang. Silakan letakkan senjata kalian dan adakan pemilihan umum.”

Sejak itu, negosiasi perdamaian dimulai. Kesepakatan damai pun terwujud pada 2007.

Pele dan klub Santos menjeda perang di Nigeria

Pada 1967, perang saudara pecah di Nigeria. Perang itu terjadi antara pemerintah Nigeria dengan Republik Biafra, wilayah yang mau memisahkan diri dari Nigeria.

Ini adalah salah satu perang paling mengerikan dalam sejarah Afrika Barat itu. Sekitar 100 ribu pejuang kedua belah pihak tewas, sementara 2 juta warga sipil diperkirakan meninggal karena kelaparan.

Saat itu, ketika perang sedang berkecamuk, Pele dan klubnya, Santos, mengunjungi Nigeria. Berita kedatangan Pele membuat rakyat Nigeria melupakan perang. Pemerintah dan Biafra sepakat melakukan gencatan senjata selama 48 jam.

“Di sini, orang-orang menggilai sepak bola. Mereka mencintai sepak bola, sehingga mereka menjeda perang ketika Santos bermain di sana,” kata Pele dalam wawancaranya.

Lebih dari 50 ribu rakyat Nigeria menyaksikan Pele bermain di Kota Lagos, Nigeria. Perang pun terjeda.

Pele dan Klub Santos menjeda perang di Gabon

Tahun 1960-an, ketika Gabon dicekik perang saudara, lagi-lagi sepak bola jadi juru damainya. Dan pahlawannya lagi-lagi: Pele.

Masih dalam rangkaian tur Afrika, Santos punya agenda bermain di Libreville, Ibu Kota Gabon. Saat itu, manajer Santos ragu untuk melanjutkan tur ke Gabon.

Namun, Presiden Gabon kala itu, Omar Bongo, memberitahu Pele bahwa pihaknya siap menghentikan perang sementara jika Pele dan kawan-kawan bersedia bermain di Libreville.

“Ini luar biasa. Mereka menghentikan perang ketika kami datang sampai kami pergi,” kata Pele mengenang kejadian itu, ketika berkunjung kembali ke Gabon pada 2012.

Sepak bola saat jeda Perang Dunia I

Tak hanya menjeda perang saudara, atau perang antar negara, bahkan sepak bola pernah menjeda perang dunia.

Ketika Perang Dunia I berkobar, sepak bola menjelma sebagai pemersatu pihak yang berseteru dan membawa kedamaian di momen Natal 25 Desember 1914.

Pada momen itu, Blok Sekutu (Inggris, Prancis, Rusia) dan blok Sentral (Jerman, Italia, Austria-Hongaria) menyepakati adanya gencatan senjata sementara waktu untuk merayakan Natal.

Beberapa tentara pulang ke kampung halamannya untuk merayakan Natal bersama keluarga, sementara beberapa lainnya tetap berada di medan pertempuran.

Mereka yang tetap berada di medan pertempuran mengisi waktu luangnya dengan bersantai bersama tentara lain.

Dilansir dari Los Angeles Times, tentara Jerman memanjat tembok pembatas yang memisahkan dengan pasukan Inggris yang notabene merupakan musuh mereka.

Tentara Jerman berkumpul dengan tentara Inggris tanpa senjata, mereka berjabat tangan dan bertukar salam. Kemudian para serdadu itu berbagi cerutu, keceriaan, cokelat serta bermain sepak bola. Mereka melakukan itu semua tanpa sepengetahuan komandan masing-masing.

Seorang prajurit Inggris yang saat itu berusia 19 tahun di Resimen Cheshire 6 Batalyon bernama Ernie Williams menceritakan, ketika pertandingan sepak bola dimulai semua orang menikmatinya.

Tidak tampak adanya permusuhan antara tentara Jerman dan Inggris. Permainan sepak bola itu dilangsungkan di lapangan terbuka yang berada di garis perbatasan Belgia.

“Mereka melepas mantel. Beberapa di antaranya, meletakkannya sebagai tiang gawang,” kenang Williams.

Menurut Williams, pertandingan sepak bola tersebut sekadar untuk bersenang-senang. Para tantara Inggris dan Jerman bermain bola seperti anak kecil di jalanan yang tidak memerlukan wasit maupun aturan yang terikat.

Namun, sayangnya permainan itu tidak berlangsung lama karena seorang perwira Jerman mengetahuinya. Pertandingan itu pun selesai dengan keunggulan Jerman 3-2.

Gencatan senjata Natal tahun 1914 sendiri tidak berlangsung lama. Ia menjadi momen terakhir yang dilakukan. Setelah itu, pada tahun 1915, konsep gencatan senjata sudah tidak terpikirkan lagi oleh kedua belah pihak yang berseteru.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Mewaspadai Jalan Tragis Kematian Demokrasi

Mewaspadai Jalan Tragis Kematian Demokrasi

Demokrasi bisa mati karena kudeta-atau mati pelan-pelan

Next
Belajar dari Gerakan Koperasi Mondragon

Belajar dari Gerakan Koperasi Mondragon

Koperasi adalah suatu model usaha yang tumbuh dari kesadaran rakyat, dan

You May Also Like
Total
0
Share