Setelah dilarang dan dinistakan lebih dari setengah abad, lagu Internasionale berkumandang di tengah perayaan Hari Buruh Sedunia di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis, 1 Mei 2025.
Menariknya, lagu itu dinyanyikan bersama oleh Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah pejabat negara yang hadir di atas panggung. Bak aktivis kiri, Prabowo tak hanya ikut bernyanyi, tetapi juga menggoyangkan kepalan tangan.
Buat yang belum tahu, Internasionale bukan sembarang lagu. Ini bukan hanya lagunya kelas pekerja, bukan hanya himnenya gerakan kiri, sosialis, maupun anti-fasis, tetapi ini juga lagu kebangsaan dari gerakan komunis internasional.
Oke, yuk kita ulik sejarah lagu ini.
Bermula dari Komune Paris
Pada Maret 1871, Prancis yang kalah perang melawan Jerman makin terperosok. Momentum itulah yang digunakan oleh rakyat, terutama kelas pekerja di Kota Paris, untuk memberontak dan mengambialih pemerintahan kota.
Mereka kemudian membentuk pemerintahan rakyat yang disebut Dewan Komune. Sayang, usia Komune Paris tak lama, hanya 72 hari. Di ujung cerita, kota ini diambil kembali oleh tentara Prancis dan didukung Jerman.
Selama satu minggu, yang dikenal sebagai La Semaine Sanglante (Minggu Berdarah), ribuan orang dibunuh di jalanan, dieksekusi tanpa pengadilan, dan dikubur massal. Sekitar 30 ribu orang tewas. Komune Paris pun tumbang. Tapi semangatnya tak pernah padam.
Salah satu veteran Komune Paris yang semangatnya tak padam adalah Eugène Pottier. Ia menulis puisi berjudul L’Internationale, yang diperuntukkan sebagai penghormatan atas perjuangan kelas pekerja seantero dunia.

Dua tahun kemudian, seorang sosialis Belgia, Pierre De Geyter, menggubah puisi itu menjadi lagu. Terinspirasi dari nada mengentak-entak dari lagu revolusi Prancis, La Marseillaise, De Geyter memberi ritme mars pada lagu Internasionale.
Lagu Internasionale pertama kali diperdengarkan untuk publik pada Kongres ke-15 Partai Buruh Prancis di Kota Lille, 1896. Tak lama kemudian, ibarat api yang gampang merambat di ranting kering, lagu Internasionale segera menyebar dan dinyanyikan dalam rapat maupun pertemuan komunis, sosialis, maupun gerakan buruh.
Pada 1889, Internasionale kedua―sering disebut “sosialisme internasional”―wadah bagi semua partai komunis dan sosialis di seluruh dunia, mengadopsi Internasionale sebagai himne yang dinyanyikan di acara-acara resmi.
Puncaknya, setelah kemenangan revolusi Rusia pada Oktober 1917, lagu itu ditetapkan sebagai lagu kebangsaan negara kelas pekerja pertama di dunia: Uni Soviet. Selain itu, organisasi komunis internasional (Komintern), yang berdiri pada 1919 hingga 1943, juga mengadopsi lagu Internasionale sebagai lagu resmi.
Sejak itu, lagu Internasionale hadir dalam pasang-surut pergerakan komunis, sosialis, maupun anti-fasis. Lagu ini juga banyak dinyanyikan di tengah aksi massa, rapat-rapat umum, kongres, rapat tertutup, bahkan di medan pertempuran.
Membakar Hindia-Belanda
Lagu Internasionale menjalar hingga ke Hindia-Belanda yang kala itu masih meringkuk di bawah kolonialisme.
Surwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, yang tengah menjalani pembuangan di Hindia-Belanda, menerjemahkan lagu itu ke dalam bahasa Melayu.
Di Hindia-Belanda, Internasionale dalam tiga bait dipublikasikan di surat kabar milik Sarekat Islam Semarang, Sinar Hindia, pada 5 Mei 1920 oleh Suwardi Suryaningrat. SI Semarang, yang dipimpin oleh Semaoen, memang condong ke kiri: sosialis.
Di tangan Suwardi, penerjemahan lagu Internasionale karya Eugène Pottier mengalami sedikit penyesuaian dengan situasi yang dialami oleh rakyat di Hindia-Belanda.
“Usaha merelavankan dengan kebudayaan bangsa Timur terlihat dalam beberapa bait syair asli L’Internationale, yang sengaja digubah dalam sajian bermuatan makna kearifan yang dijunjung tinggi bangsa Timur,” tulis Budi Prihartanto dan Y. Edhi Susilo dalam karya studinya, L’internationale Versi Suwardi Suryaningrat Perspektif Musikologi.

Versi Ki Hajar Dewantara inilah yang banyak dinyanyikan oleh kaum pergerakan awal, termasuk komunis dan sosialis, pada masa pergerakan anti-kolonial hingga pasca kemerdekaan.
Pada 19 Desember 1948, ketika berhadap-hadapan dengan para eksekutor mati, mantan Perdana Menteri RI Amir Sjarifoeddin menyanyikan lagu Internasionale setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ia tersungkur tatkala peluru menerjang tubuhnya tepat setelah ia menyelesaikan bait terakhir lagu Internasionale.
Pada tahun 1960, PKI mengeluarkan terjemahan lagu Internasionale versi resmi mereka. Ada juga versi A. Yuwinu 1970, saduran kolektif Enam Maret, versi Umar Said, dan lain-lain.
Setelah peristiwa G30S 1965, yang menandai bangkitnya Orde Baru, lagu Internasionale mulai dilarang. Meski direpresi, Internasionale tidak mati. Ia terus hidup di ruang-ruang kecil: di kampus, dalam diskusi sejarah gerakan kiri, atau di lingkaran aktivis buruh.
Di era reformasi, lagu ini mulai muncul kembali dalam aksi mahasiswa, buruh, petani, dan kelompok marjinal lainnya.