Pada Piala Dunia Qatar 2022, Jepang mencengangkan dunia. Tim ini secara mengejutkan mengalahkan Spanyol dan Jerman, hingga lolos dari “grup neraka.”
Sebagai penggemar setia tim Jepang, saya menelusuri perjalanan reformasi sepak bola Jepang dan menemukan bahwa kesuksesan mereka tak lepas dari manajemen pengetahuan yang luar biasa.
Pertama, dimulai dari anime
Berbeda dengan pendekatan pelatihan tradisional yang mengandalkan instruksi verbal dan praktik, Jepang memulai reformasi sepak bola melalui anime. Pada tahun 1981, Jepang memutuskan untuk merevolusi sepak bola. Mereka menyadari bahwa untuk memajukan olahraga, kuncinya adalah anak-anak. Tahun itu, manga berjudul Captain Tsubasa mulai diterbitkan di majalah populer. Tiga tahun kemudian, manga ini diadaptasi menjadi serial anime yang tayang di seluruh negeri.
Captain Tsubasa bukan hanya mengajarkan dasar-dasar teknik dan strategi sepak bola, tetapi juga menanamkan semangat kerja sama, mentalitas kompetitif, dan budaya sepak bola kepada anak-anak. Hasilnya sangat mencengangkan: pada 1981, jumlah pemain sepak bola terdaftar di Jepang hanya 68.900 orang. Namun, pada 1988, ketika serialisasi manga ini berakhir, angka tersebut melonjak menjadi lebih dari 240.000. Dalam satu dekade, jumlah tim sepak bola tingkat SD dan SMP hampir tiga kali lipat. Bahkan, pada Piala Dunia 2002, dari 23 pemain tim nasional Jepang, 16 di antaranya mengaku mencintai sepak bola karena Captain Tsubasa.
Kedua, mengintegrasikan sepak bola dengan komunitas lokal
Penamaan Tim
Liga sepak bola profesional Jepang, J-League, memperkenalkan konsep sepak bola berbasis komunitas. J-League mewajibkan klub-klub menghindari nama sponsor perusahaan, menggantinya dengan format “nama daerah + julukan” agar masyarakat merasa memiliki dan terlibat.
Nama tim sering terinspirasi dari flora, fauna, makanan, atau karakteristik lokal, seperti “Shimizu Heartbeat” dari Shizuoka, “Osaka Sakura” (bunga kota Osaka), atau “Kashima Antlers” yang melambangkan kemenangan. Nama-nama ini tidak hanya unik tetapi juga mencerminkan identitas komunitas.
Stadion sebagai rumah warga
Di J-League, stadion utama setiap klub disebut sebagai “rumah sendiri” yang dimiliki oleh masyarakat. Setiap tahun, J-League menerbitkan laporan kegiatan komunitas klub yang dapat diakses gratis. Misalnya, di Akita, yang memiliki populasi lanjut usia tinggi, pemain klub membantu warga lanjut usia berolahraga. Di Yamagata, klub bekerja sama dengan pemadam kebakaran untuk sistem pencegahan banjir. Semua ini mempererat hubungan antara sepak bola dan masyarakat.
Ketiga, sekolah sepak bola
Sistem pertumbuhan olahraga Jepang mengadopsi model “jalur ganda”: pelatihan klub dan sekolah sepak bola. Setiap sekolah memiliki sistem pelatihan, fasilitas, dan jadwal pertandingan yang lengkap. Bahkan, Japanese High School Championship adalah salah satu acara olahraga paling populer di Jepang. Banyak pemain profesional Jepang berasal dari turnamen ini.
Mereka dapat menunda kontrak profesional untuk melanjutkan studi, dan universitas menyediakan program sepak bola setara dengan klub profesional. Hal ini memastikan keterampilan pemain tetap terasah sambil mendapatkan pendidikan formal.
Keuntungan lainnya, jika pemain gagal mencapai karier profesional karena keterbatasan atau cedera, mereka masih memiliki peluang karier berkat latar belakang pendidikan mereka.
Keempat, filosofi pencarian bakat
Pelatihan usia muda di Jepang dibagi menjadi lima tahap dengan tujuan dan metode berbeda:
Usia 8–9 tahun: Periode pengenalan.
Usia 10–15 tahun: Belajar teknik dasar, taktik, dan transisi ke pertandingan.
Usia 16–17 tahun: Periode pertandingan intensif.
Usia 18–21 tahun: Periode pematangan.
Usia 21 tahun ke atas: Periode penyempurnaan.
Jepang memahami bahwa anak-anak pada usia dini memiliki perkembangan sistem saraf yang pesat. Oleh karena itu, fokus diberikan pada latihan singkat tetapi intens, dengan penekanan pada akurasi daripada kekuatan. Tujuannya adalah membangun memori otot yang kuat sambil menghindari cedera.
Kesimpulan
Reformasi sepak bola Jepang adalah contoh cemerlang bagaimana manajemen pengetahuan dapat mengubah lanskap olahraga suatu negara. Dengan pelatihan terstruktur, promosi budaya, dan keterlibatan komunitas, Jepang berhasil meningkatkan popularitas dan kualitas sepak bola. Semoga negara-negara tetangga, termasuk Tanah Air saya, Tiongkok, dapat belajar dari contoh sukses ini dan menyelamatkan sepak bola yang saat ini memprihatinkan.
Tiantian Xuan, mahasiswa program Master of Science in Knowledge Management (KM) di Nanyang Technological University, Singapura.
Artikel ini merupakan kerja penulis untuk persyaratan penyelesaian mata kuliah KM6304 Strategi dan Kebijakan Manajemen Pengetahuan dalam program Master of Science in Knowledge Management (KM) di Nanyang Technological University, Singapura.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Raymond Samuel