Merdika.Id

Menyajikan analisis dan liputan mendalam terhadap berbagai isu sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun internasional. Kami menggunakan sudut pandang yang kritis, jernih, dan berbasis data.

Ingin ikut berkontribusi memperkaya gagasan-gagasan kami, silahkan kirim artikel ke:

Redaksi Merdika.Id

Blueprint

A perfect balance of exhilarating flexiblity and the effortless simplicity of the Code Supply Co. WordPress themes.

The ultimate publishing experience is here.

Saatnya Mengembalikan Hukum sebagai Panglima

Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Agenda 45. (Foto: Dok Agenda 45)

Tahun 1945, saat sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Hatta menyampaikan kekhawatirannya pada negara kekuasaan. Ia khawatir jika negara kekuasaan akan melahirkan otoritarianisme dan melindas hak-hak rakyat.

Sebagai solusinya, Hatta menawarkan konsep negara hukum (rechtsstaat), yang menempatkan pemerintahan bertindak berdasarkan konstitusi. Tidak ada praktik kekuasaan yang tidak diatur dan tunduk pada undang-undang (UU).

Namun, hari-hari ini kita menyaksikan kekhawatiran Hatta samar-samar terwujud. Cita-cita negara hukum justru tenggelam di tengah politik pragmatis sebagai panglima.

Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan, penanggung jawab penegakan hukum itu harusnya berada di pundak lembaga trias politika, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

“Hari ini kita menyaksikan penyalahgunaan hukum justru oleh trias politika,” ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Agenda 45 di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (10/9).

Ia mencontohkan, banyak proses legislasi yang bermasalah dan tidak melayani kepentingan publik karena DPR dan pemerintah berkolaborasi menjadi perpanjangan tangan kepentingan elit tertentu.

“Belakangan, yudikatif juga ikut-ikut. Urusan pemilu ditangani oleh PTUN dan Pengadilan Negeri. Ini ada pembiaran. Hukum dipergunakan untuk kekuasaan dan harta,” imbuhnya.

Masalahnya lagi, kata Harkristuti, ketika penegak hukum tak lagi imparsial, mekanisme pengawasan internal, seperti dari Ombudsman dan Komisi Yudisial, juga tidak berjalan.

Sementara pengawasan eksternal, yang bertumpu pada suara kritis masyarakat sipil dan akademisi, juga kerap ditenggelamkan oleh riuhnya pendengung (buzzer) bayaran di media sosial.

Ketua Guru Besar UI ini juga prihatin dengan banyaknya kriminalisasi terhadap pembela HAM dan masyarakat kritis.

“Di Sumatera Utara, pembela lingkungan dipenjara. Orang bertanya, apakah hukum itu untuk rakyat atau bukan. Di TV, orang yang pelihara landak mau dihukum lima tahun penjara. Hal kecil yang memicu ketidakpercayaan pada hukum,” keluhnya.

Menariknya, kata Harkristuti, ketika lembaga dan aparat penegak hukum terjebak dalam perilaku koruptif dan tidak imparsial, masyarakat pencari keadilan justru bersandar pada media sosial. Mereka menggaungkan semangat: no viral, no justice.

Namun, sekalipun kasus-kasus viral mendapat respons dari pemerintah dan lembaga penegak hukum, tetapi penyelesaiannya terkadang masih jauh dari rasa keadilan.

Menyitir Thomas Aquinas, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang berkeadilan, Harkristuti menegaskan bahwa proses penegakan hukum tidak boleh menggunakan UU atau peraturan semata, tetapi juga harus berkeadilan.

Kecewa dengan Jokowi

Di forum yang sama, pakar politik Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti menyampaikan kekecewaannya pada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Saya termasuk pendukung terdepan Jokowi hingga Oktober 2023. Sampai saya menulis artikel berjudul Kuasa Memanggul Lupa, di situ saya mulai kecewa,” ungkapnya.

Menurutnya, ia mendukung Jokowi karena percaya tokoh yang meniti karier politiknya dari bawah itu bisa membawa perubahan: menegakkan supremasi hukum, menghapus KKN, memajukan pembangunan ekonomi, membenahi SDM, dan menegakkan kedaulatan pangan.

“Di bawah Jokowi terjadi kerusakan terberat dalam sejarah republik. Bukan hanya soal sosial-budaya, hukum, ekonomi. Apa yang terjadi di masa Orba, pertumbuhan ekonomi ditopang SDA dan utang. Sekarang tidak ada bedanya,” jelasnya.

Dia menjelaskan, sekarang pertambangan di era Jokowi lebih ekspansif dibanding era Orba. Jika di masa Orba hanya ada oil boom, maka sekarang ada bauksit, nikel, dan sawit. Masalahnya, keuntungan dari SDA itu tidak tampak karena dikorupsi.

“Harusnya, kalau korupsi bisa ditekan, ada banyak anggaran yang bisa kita gunakan untuk pendidikan dan kesehatan,” tegasnya.

Ikrar menyesalkan banyak hal yang harusnya sudah dikubur bersamaan dengan berakhirnya rezim Orde Baru justru tumbuh subur kembali di era Jokowi.

“Dulu, tahun 1998, kita berharap berakhirnya rezim otoriter berarti akhir dari eksekutif yang mengontrol trias politica. Ternyata Jokowi, yang dulu saya dukung, ternyata adalah biang dari jatuhnya Indeks Persepsi Korupsi, Indeks Demokrasi, dan kembalinya KKN dan politik dinasti,” keluhnya.

Kontribusi partai politik

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dr. Laode Muhammad Syarif, menyebut andil korupsi politik (political corruption) di balik melorotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.

Dengan merujuk hasil riset LIPI dan KPK tentang parpol berintegritas, Laode Syarif membeberkan empat persoalan besar parpol di Indonesia, yaitu: satu, demokrasi internal parpol yang buruk dalam penentuan pengurus, pengambilan keputusan, dan penentuan pejabat publik; dua, problem keuangan parpol yang tidak transparan; tiga, problem kaderisasi yang mandek dan rekrutmen politik yang tertutup, eksklusif, dan nepotis; dan empat, ketiadaan standar etika partai.

Selain itu, dosen Universitas Hasanuddin ini mempersoalkan politik uang yang membuat politik Indonesia makin oligarkis. Dia mengungkapkan, dari 575 anggota DPR-RI, sebanyak 262 di antaranya berlatar belakang pengusaha.

“Jadi, hampir setengahnya pengusaha. Akibat didominasi oleh pengusaha, sangat sering terjadi conflict of interest,” jelasnya.

Laode juga membeberkan beragam data yang menunjukkan kelindan antara pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, kemajuan ekonomi, dan rendahnya ketimpangan.

“Ketika IPK kita skornya 40, indikator yang lain juga baik. Skor demokrasi 37, IMD competitiveness 48, dan skor-skor yang lain membaik,” katanya.

Terakhir, Laode hampir tidak begitu yakin terjadi perubahan jika hanya solusi yang normatif. Ia justru berhadap ada perubahan jika presiden menjadi pemimpin tertinggi pemberantasan korupsi. Selain itu, ia menyandarkan harapan perubahan pada mahasiswa, intelektual, dan masyarakat sipil.

Orientasi pembangunan ekonomi Yang melenceng

Dari sudut pandang ekonomi, ekonom muda Celios, Nailul Huda, menyoroti berbagai aktivitas bisnis yang berbau kapitalisme kroni, seperti proyek food estate.

Dia menceritakan, banyak proyek food estate yang berkaitan dengan kepentingan politisi, seperti di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, maupun di Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Yang di NTT, itu lebih lucu lagi, tidak ada kajian sama sekali. Juga tidak ada pembekalan terhadap SDM-nya. Jadi, sebagian besar petani di food estate itu dari Jawa, tak ada petani lokal,” ungkapnya.

Selain itu, Huda juga menceritakan dampak investasi di sektor pertambangan yang jarang menghasilkan efek menetes ke bawah (trickle down effect). Menurutnya, meskipun indikator ekonomi membaik yang ditunjukkan oleh peningkatan PDRB, tetapi indikator pendidikan dan kesehatan justru menurun. Selain itu, angka kemiskinan dan ketimpangan juga terkerek naik.

“Data Celios, ketika ada investasi nikel, maka biaya kesehatan meningkat. Kerusakan lingkungannya sangat parah. Pemerintah Morowali tidak bisa ngapai-ngapain. Kita mendampingi pemda untuk menyuarakan dampak lingkungan,” ungkapnya.

Huda juga menyinggung banyaknya persoalan bangsa yang baru direspons oleh pemerintah setelah viral. Namun, menurut dia, pendekatan “no viral, no justice” itu agak berbahaya. Sebab kebijakan politik hanya bergerak dan mengacu pada yang viral, bukan pada sebagaimana mestinya.

Saatnya hukum sebagai panglima

FGD yang diselenggarakan oleh Agenda 45 ini juga menghadirkan Ganjar Pranowo yang didaulat sebagai keynote speaker. Mantan Gubernur Jawa Tengah selama dua periode (2013-2023) ini menceritakan pengalamannya ketika memimpin provinsi dengan luas dan jumlah penduduk terbanyak ketiga di Pulau Jawa.

“Selama 10 tahun, saya berusaha mewujudkan pemerintahan bersih, memperbaiki pelayanan publik, memperbaiki infrastruktur, mengurangi kemiskinan, dan lain-lain. Namun, saya sadar, 10 tahun tak cukup untuk perubahan kolektif,” ujarnya.

Namun, Ganjar mengatakan, dalam pemilu, seringkali kinerja positif itu tidak mendapat apresiasi karena literasi rendah, bujukan politik uang, maupun tekanan dari aparat.

“Tadi ada cerita caleg membantu warga dengan air bersih selama bertahun-tahun, tapi tak dipilih. Saya 10 tahun, pak. Tidur di rumah rakyat. Saya membantu mereka. Dan, saya kalah telak,” jelasnya.

Ganjar mengatakan, ada masalah ketika politik yang pragmatis menjadi panglima, bukan hukum sebagai panglima. Ketika politik memimpin hukum, maka hukum akan jadi alat pukul terhadap lawan politik.

Pada kesempatan itu, Ganjar mengapresiasi FGD yang diselenggarakan oleh Agenda 45. Menurutnya, forum-forum diskusi perlu ditumbuhkan, agar ada solusi atau skenario perbaikan terhadap berbagai persoalan bangsa sekarang ini.

“Kita harus melakukannya step by step, sehingga menemukan skenario perbaikan untuk mengatasi persoalan hari ini,” jelasnya.

Menurut Ganjar, pasca putusan MK Nomor 60 dan Nomor 70 lalu, yang disusul oleh protes besar masyarakat sipil yang membela putusan MK, ada semacam arus balik.

“Arus balik ini harus kita baca sebagai momentum konsolidasi masyarakat sipil. Ketika semua sudah berbicara, itu bagus, berarti ada peluang perubahan,” jelasnya.

Peran penting Agenda 45

Direktur Eksekutif Agenda 45, Warsito Ellwein, menyampaikan harapannya agar forum Agenda 45 bisa menjadi oase pemikiran yang menyumbang gagasan untuk kemajuan Indonesia.

“Kami, Forum Agenda 45, merasakan tradisi berpikir kita agak menurun. Kita cenderung berpikir pragmatis dan praktis,” ujarnya.

Menurutnya, sebagai generasi pejuang reformasi 1998, Agenda 45 mengajak semua pihak untuk berpikir makro sekaligus memperkuat tradisi berpikir.

Dia mengungkapkan, Agenda 45 sudah tiga kali menggelar FGD. Yang pertama, pada 20 Juli 2024, mengambil tema “Memperkuat Otonomi Daerah Melalui Pilkada”.

Saat itu, selain menghadirkan Mahfud MD sebagai keynote speaker, hadir juga sejumlah akademisi dan pelaku gerakan sosial, seperti akademisi Bivitri Susanti, Armand Suparman (KPPOD), Hilmar Farid, dan aktivis masyarakat adat Abdon Nababan.

Pada kegiatan kedua, 10 Agustus 2024, FGD menghadirkan pemerintah daerah dan penyelenggara pemilu di daerah. Ada H. Arsyad Hasan (FOKKA Institute), Dian Kristiandi (mantan Bupati Jepara), Nurul Sutarti (Ketua KPUD Surakarta), dan Yan Kurniawan (Drone Emprit).

Dari masing-masing FGD terhimpun banyak kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan dan rekomendasi itu kemudian digulirkan melalui FGD di 10 kota/kabupaten.

“Sambutan teman-teman di daerah sangat bagus. Mereka antusias sekali,” ungkap Warsito.

Dan, yang terbaru, pada 10 September kemarin, menghadirkan beberapa pakar, seperti Ganjar Pranowo, Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, Dr. La Ode Muhammad Syarif, Nailul Huda (Celios), Prof. Dr. Rosari Saleh, Dr. Ida Budhiati, Prof. Dr. Ibnu Maryanto, dan Hasto Atmojo.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Revolusi Big Data Ala Salvador Allende

Revolusi Big Data Ala Salvador Allende

Bicara revolusi big data, rasanya tak afdol jika tak menengok kembali sebuah

Next
Tiga Pendekatan Dunia terhadap Artificial Intelligence

Tiga Pendekatan Dunia terhadap Artificial Intelligence

Seperti juga penemuan-penemuan besar di masa lampau, dari penemuan api hingga

You May Also Like
Total
0
Share
Verified by MonsterInsights