Sekarang tengah ramai polemik Grab Hemat―program layanan transportasi ditawarkan plaform Grab, khususnya untuk perjalanan jarak pendek dengan tarif lebih terjangkau dibandingkan layanan reguler GrabBike atau GrabCar. Layanan ini ditujukan kepada konsumen dengan opsi layanan transportasi hemat. Bagi aplikator Grab mungkin program ini diluncurkan untuk menjaga daya saing di pasar ride-sharing.
Namun, dalam implementasinya, program ini menuai kontroversi, terutama terkait kepatuhan terhadap regulasi tarif dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan dampaknya pada pengurangan penghasilan pengemudi (driver).
Berikut beberapa catatan atas program tersebut:
Pertama, Kemenhub telah menetapkan pedoman perhitungan biaya jasa ojek online melalui Keputusan Menteri Perhubungan (KMP) Nomor KP 667 Tahun 2022, yang menggantikan KP 564 Tahun 2022. Aturan ini mengatur ambang bawah dan batas atas tarif ojek online berdasarkan teritorial atau zonasi, dengan tujuan menjaga keseimbangan antara kesejahteraan pengemudi dan keterjangkauan bagi konsumen.
Misalnya, untuk Zona II (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), tarif dasar minimum (0-4 km) adalah Rp 9.200–Rp 11.000 dengan tarif per kilometer Rp 2.300–Rp 2.750.
Kedua, informasi di lapangan, berdasarkan dialog dengan pengemudi menunjukkan bahwa tarif Grab Hemat menyebabkan pendapatan berada di bawah batas bawah yang ditetapkan Kemenhub.
Contohnya, seorang pengemudi mengaku pendapatan per perjalanan Grab Hemat hanya sekitar Rp 8.500, lebih rendah dibandingkan Grab reguler yang minimal Rp 10.400. Belum lagi potongan aplikasi. Hal ini diperparah dengan adanya Program Akses Hemat, di mana pengemudi harus membayar biaya langganan harian (bervariasi di tiap kota) untuk mengakses order Grab Hemat, yang pada akhirnya memotong pendapatan mereka. Meski program Akses Hemat bersifat opsional, tetapi pengemudi yang tidak ikut program ini sering kali kesulitan mendapatkan order karena aplikator Grab memprioritaskan pengemudi yang berpartisipasi. Biaya langganan ini dianggap menjadi cara Grab mengalihkan beban subsidi tarif hemat ke pengemudi. Dan, inilah yang secara tidak langsung dapat dianggap mengakali atau melanggar regulasi batas bawah Kemenhub.
Jadi walaupun secara formal aplikator Grab menyatakan bahwa penyesuaian tarif mereka sesuai dengan KMP 667 Tahun 2022, namun program Akses Hemat dengan biaya langganan tambahan, secara efektif mengurangi pendapatan bersih pengemudi di bawah batas bawah yang ditetapkan. Hal ini karena pengemudi menanggung beban finansial tambahan yang tidak diatur dalam pedoman tarif.
Ketiga, pengemudi yang mengikuti program Akses Hemat mengeluhkan potongan pendapatan secara signifikan. Misalnya, seorang pengemudi melaporkan pendapatan berkurang Rp 13.500 untuk lima order karena biaya langganan, dari tarif reguler sebesar Rp 51.000 menjadi Rp 37.500. Selain itu, potongan komisi standar Grab (sekitar 20–30 persen) semakin memperkecil pendapatan bersih.
Keempat, alih-alih daya saing naik, ketidakpuasan pengemudi yang memuncak justru memicu driver mengundurkan diri dari program atau bahkan beralih ke platform lain seperti Gojek, Maxim, atau inDrive. Ditambah lagi, kontroversi terkait potongan pendapatan pengemudi dapat merusak reputasi Grab, terutama jika pengemudi terus menyuarakan keluhan di media sosial atau mengadakan aksi protes.
Kelima, bagi penumpang, Grab Hemat menawarkan tarif kompetitif untuk perjalanan jarak pendek, yang sangat menguntungkan konsumen, terutama di tengah inflasi dan kenaikan harga BBM. Namun hal ini menyebabkan ketersediaan driver menurun akibat ketidakpuasan pengemudi.
Atas sengkarut ini, sebenarnya ada sejumlah solusi yang bisa diambil. Berikut adalah solusi untuk jangka pendek:
Pertama, untuk menciptakan keseimbangan antara pendapatan pengemudi dan biaya hemat bagi masyarakat, ada beberapa tindakan yang dapat dipertimbangkan:
- Grab dapat menghapus biaya langganan harian untuk program Akses Hemat atau menggantinya dengan model insentif berbasis jumlah order, sehingga pengemudi tidak kehilangan pendapatan.
- Grab harus memastikan bahwa pendapatan bersih pengemudi per perjalanan tidak jatuh di bawah batas bawah Kemenhub. Caranya bisa dengan menyediakan laporan transparan tentang komponen tarif dan potongan.
Kedua, daripada membebankan biaya langganan kepada pengemudi, Grab dapat menggunakan sebagian pendapatan dari biaya jasa aplikasi (20–30 persen) untuk menyubsidi tarif hemat, sehingga konsumen tetap mendapatkan harga murah tanpa mengurangi pendapatan pengemudi.
Ketiga, Grab dapat meningkatkan promo yang memberikan diskon kepada konsumen tanpa mempengaruhi pendapatan pengemudi.
Keempat, aplikator Grab dapat memperluas program seperti GrabBenefits dengan memberikan bonus mingguan atau harian kepada pengemudi yang menyelesaikan jumlah order tertentu, termasuk order Grab Hemat.
Kelima, Grab dapat meningkatkan manfaat seperti asuransi kecelakaan (saat ini hingga Rp 50 juta untuk GrabBike) atau diskon bahan bakar untuk menekan biaya operasional pengemudi.
Keenam, Grab perlu berkoordinasi dengan Kemenhub untuk memastikan semua layanan, termasuk Grab Hemat, mematuhi regulasi tarif dan tidak merugikan pengemudi.
Ketujuh, Kemenhub harus memperluas pengawasan terhadap praktik biaya langganan tambahan. Selain itu, Kemenhub dapat mendorong standar industri yang seragam untuk semua aplikator (Grab, Gojek, Maxim, inDrive) guna mencegah perang tarif yang merugikan pengemudi.
Kedelapan, aplikator dapat mendorong penggunaan fitur tip untuk menambah pendapatan pengemudi dengan kompensasi konsumen dapat memilih antara tarif hemat (dengan potensi waktu tunggu lebih lama) atau tarif standar (dengan ketersediaan driver lebih tinggi).
Kesembilan, Grab harus meningkatkan algoritma untuk mengelompokkan order Grab Hemat dalam rute yang lebih efisien, sehingga pengemudi dapat menyelesaikan lebih banyak perjalanan dalam waktu singkat, sehingga meningkatkan pendapatan per jam.
Pengemudi online sebagai mitra bisnis, bukan mitra pekerja
Solusi startegis ke depan adalah menjadikan pengemudi online sebagai entitas usaha atau bisnis melalui badan hukum koperasi yang dapat melakukan aksi bisnis, yaitu bermitra atau kerja sama bisnis dengan aplikator. Dengan demikian pendapatan driver tidak sebatas dari tarif atau upah minimum tapi sebagai entitas bisnis. Selain itu pengemudi mendapatkan benefit dari usaha bersama aplikator melalui badan hukum koperasi. Untuk itu perlu adanya edukasi kepada pengemudi online agar dapat berdaya dan meningkatkan taraf hidupnya ke depan sebagai pelaku usaha atau bisnis, bukan sebagai pekerja atau mitra kerja.
Dengan begitu para driver tidak perlu menjadi driver bertahun-tahun (misalnya cukup 3-5 tahun saja), dan setelah pensiun tetap dapat benefit sebagai anggota koperasi. Sedangkan profesi driver ada regenerasi sehingga manfaat kesejahteraannya dapat lebih luas. Koperasi sebagai soko guru ekonomi di sektor transportasi juga akan berkembang. Bahkan anggota koperasi bisa diperluas bagi masyarakat umum yang juga menjadi konsumen.
Koperasi, selain bermitra bisnia dengan aplikator juga bisa membangun unit usaha lain. Hal ini dapat menyumbang pada perekonomian nasional karena distribusi keuntungan dan modal tidak hanya terpusat pada pemilik modal aplikasi, tapi menjangkau pengemudi, konsumen dan anggota keluarganya melalui koperasi.