Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang bakal berlaku mulai 1 Januari 2025, akan membuat rakyat menengah dan bawah makin terjepit.
Pemerintah berdalih, kenaikan PPN 12 persen untuk hanya barang mewah. Faktanya, barang yang melekat dengan kehidupan kita, seperti baju, sepatu, skincare, sabun, deterjen, kosmetik, bakal kena PPN 12 persen.
Jangan itu, kebahagiaan kita yang enggak seberapa, seperti nonton Netflix, dengar lagu-lagu di Spotify, dan beli paket data, semuanya juga bakal kena PPN 12 persen. Betapa gelapnya dunia kita gara-gara rezim tukang palak ini.
Si kaya terus dimanja
Meskipun penambahan jumlah orang super kaya (UHNWI) Indonesia termasuk yang paling laju sedunia, di mana sepanjang 2017-2022 bertambah 58,7 persen, kontribusi pajak mereka ternyata tak signifikan.
Berdasarkan catatan Kemenkeu, dari total penerimaan pajak sebesar Rp 1.196,54 triliun sepanjang Januari-Agustus 2024, total kontribusi PPh OP hanya sebesar Rp 11,44 triliun (0,96 persen). Khusus untuk UHNWI, pada 2023, kontribusinya hanya 0,00011 persen.
Ultra High Net Worth Individual (UHNWI) adalah mereka yang memiliki kekayaan bersih sebesar setara atau lebih dari USD 30 juta atau ekuivalen Rp 447,1 miliar. Pada 2022, jumlah UHNWI Indonesia mencapai 556 orang. Pada 2027, jumlahnya diperkirakan 651 orang.
Nah, orang-orang kaya ini, sejak eranya Joko Widodo alias Jokowi hingga sekarang, terus mendapat pengampunan pajak (tax amnesty). Selain itu, orang-orang kaya Indonesia, dengan pengaruhnya yang luar biasa pada politik, selalu punya seribu satu celah untuk menghindari kewajiban pajak. Data dari Tax Justice Network 2023 mengungkapkan, Indonesia kehilangan setidaknya Rp 41,8 triliun per tahun dari penghindaran pajak atau 0,3 persen dari GDP.
Si miskin terjepit
Kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen menyebabkan kenaikan harga yang harus ditanggung konsumen sebesar 9 persen.
Berdasarkan hitungan Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah beban pengeluaran bagi kaum miskin sebesar Rp 101.880 per bulan atau Rp 1.222.566 per tahun. Bagi kelompok rentan miskin, tambahan beban pengeluarannya menjadi Rp 153.871 per bulan atau Rp1.846.455 setahun. Sementara bagi kelompok menengah, tambahan beban pengeluarannya menjadi Rp 354.293 per bulan dan Rp 4.251.522 per tahun.
Ketimpangan yang makin parah
Ketimpangan di Indonesia sudah sangat parah. Dan, jika Prabowo ngotot naikin PPN menjadi 12 persen, maka ketimpangan ekonomi bakal bertambah buruk.
Melongok data INFID, 40-50 persen dari total pendapatan nasional dikuasai oleh hanya 10 persen masyarakat dari kelompok ekonomi teratas. Sementara 50 persen terbawah hanya menguasai 12-18 persen dari total pendapatan nasional.
Publikasi terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) yang berjudul “Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin”, makin menunjukkan wajah suram ketimpangan itu. Menurut data Celios, kekayaan 50 triliuner teratas Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia.
Kekayaan satu orang dari 50 triliuner tersebut setara dengan dua kali lipat dari realisasi pendapatan seluruh provinsi di Indonesia pada 2023. Total kekayaan dari 50 triliuner itu dua kali lipat dari realisasi pendapatan negara Rp 2.774,3 triliun. Bayangkan, individu lebih kaya dari negara.
Pajak kita dipakai untuk apa?
Ketika negara memaksakan kenaikan tarif pajak, ada satu hal yang membuat kita bertanya: apa yang sudah kita dapatkan sebagai pembayar pajak?
Ketika kita dikejar-kejar untuk bayar pajak, penggunaan pajak kita berhadap-hadapan dengan beberapa isu. Pertama, isu korupsi yang membuat uang pajak kita justru dirampok oleh politisi korup. Demi kepentingan politik penguasa, KPK dipreteli dan dilemahkan, lalu politik pemberantasan sekadar untuk melumpuhkan lawan-lawan politik. Sudah dua tahun ini, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mentok di poin 34 dan menempatkan Indonesia di peringkat di bawah 110. Dan, masa depan pemberantasan korupsi makin gelap ketika ada wacana pengampunan koruptor.
Kedua, politik anggaran di APBN, yang didominasi oleh belanja rutin (belanja pegawai, pembayaran utang, belanja barang, dan subsidi). Pada APBN 2025, belanja pegawai kementerian/lembaga (K/L) ditetapkan sebesar Rp 513 triliun. Angka itu hampir tiga kali lipat dari anggaran kesehatan. Sayangnya, anggaran itu tidak disertai dengan kinerja pelayanan publik yang lebih baik.
Yang terjadi, pajak kita untuk membiayai gaya hidup mewah para pejabat dan keluarganya. Lalu, berbekal uang pajak kita, mereka melakukan flexing bak sultan di media sosial. Kasus Rafael Alun Trisambodo dan Klub Moge di Ditjen Pajak hanya kepingan kecil gaya hidup pejabat yang dibiayai oleh pajak kita. Betapa perihnya menjadi rakyat jelata di negeri ini.
Ketiga, anggaran besar untuk membiayai agenda politik pemerintah berkuasa. Seperti sekarang, saat ruang fiskal APBN makin sempit, pemerintahan baru justru membentuk kabinet gemuk demi memfasilitasi pembagian kekuasaan dengan koalisi politiknya.
Menurut hitungan Celios, pembentukan kabinet gemuk Prabowo-Gibran menciptakan beban anggaran sebesar sekitar Rp 1,95 triliun. Itu belum termasuk anggaran pembangunan kantor baru dan pengadaan fasilitasnya. Untuk diketahui, anggaran untuk membiayai kabinet gemuk ini bisa untuk membangun 950-1.266 sekolah, loh.
Keempat, anggaran APBN untuk membiayai institusi korup dan bermasalah.
Ketika kita mengharapkan rasa aman dari kekerasan, kejahatan, maupun penipuan, anggaran ratusan triliun dari pajak yang kita bayarkan diberikan ke institusi kepolisian. Pada APBN 2025, kepolisian mendapat anggaran Rp 126,62 triliun dan terbesar kedua setelah Kementrian Pertahanan.
Namun, alih-alih menjadi pelindung dan penegak hukum yang adil, hampir setiap hari ada saja tindakan kepolisian yang membuat kita mengelus dada. Dari kekerasan hingga pembunuhan di luar putusan pengadilan (extra judicial killing), dari pungli hingga korupsi, juga pengabaian pengaduan warga korban ketidakadilan. Tak terbilang kasus pungli dan kekerasan yang terjadi hampir tiap hari. Kita pun bisa melihat kasus besar: kasus Ferdy Sambo, pembunuhan pelajar bernama Gamma di Semarang, pemerasan penonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024, hingga dugaan polisi ikut cawe-cawe dalam pilpres dan pilkada 2024.
Ironisnya lagi, ketika kita mau menyampaikan protes terhadap kebijakan pemerintah, seperti penolakan kenaikan PPN 12 persen sekarang ini, polisi bisa bergerak cepat dan full-power lengkap dengan perlengkapan menyerupai perang.
Oiya, jangan lupa, jika rakyat menjadi korban kejahatan dan pergi melapor ke kantor polisi, seringkali pelaporannya tidak mendapat respons. Biasanya, polisi baru bergerak setelah kasusnya viral di media sosial. Seperti dialami pekerja toko roti baru-baru ini, yang dianiaya anak bosnya, butuh dua bulan baru kasusnya direspons. Itu pun setelah kasusnya viral di media sosial. Makanya, di medsos sering viral tagar: #PercumaLaporPolisi dan #NoViralNoJustice.
Ini juga tak kalah pahit. Berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2020, pemerintah menggelontorkan Rp 90,4 miliar untuk para pendengung atau buzzer guna menenggelamkan suara kritis atau isu-isu penting di media sosial. Ya, uang pajak kita, dari jerit pedih kita bekerja, dipakai untuk membungkam suara kita di Media Sosial. Sebusuk itu pemerintah di negeri kita, coy.
Jangan dibandingin dengan Eropa
Menteri Keuangan Sri Mulyani sering banget membandingkan tarif pajak tinggi dengan perpajakan di Eropa utara atau negara-negara di Nordik. Di medsos, ada istilah “Nordic boy” untuk orang-orang yang suka membandingkan pajak Indonesia dengan negara-negara Skandinavia.
Yang kerap dilupakan oleh Sri Mulyani dan barisan Nordic boy-nya, ada banyak faktor ekonomi-politik yang membuat Indonesia dan negara-negara Nordik layaknya membandingkan langit dan bumi.
Di negara-negara Nordik, tarif pajak tinggi dibarengi dengan tingkat korupsi yang sangat rendah, transparansi anggaran publik, dan kualitas demokrasi yang sehat. Tarif pajak yang tinggi disertai dengan kualitas birokrasi yang sehat, efisien, dan responsif. Selain itu, manfaat tarif pajak yang tinggi itu dirasakan oleh publik melalui pelayanan dan fasilitas publik yang gampang diakses dan berkualitas tinggi.
Serta, satu lagi yang penting: situasi ketenagakerjaan dan besaran gaji yang diterima oleh kelas pekerja di Indonesia berbanding langit dan bumi dengan kelas pekerja di Skandinavia. PDB per kapitanya saja sudah timpang jauh.
Di Indonesia, sebagian besar tenaga kerja (hampir 60 persen) itu bertungkus-lumus di sektor informal, yang upahnya di bawah upah minimun dan tanpa perlindungan sosial. Satu lagi: rata-rata upah pekerja di Indonesia hanya Rp 3,27 juta per bulan atau Rp 39,2 juta per tahun (jauh di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 54 juta per tahun).
Tips bagi Kemenkeu dan Nordic boy: kalau mau membuat perbandingan, pakai unit atau standar yang apple to apple.
Memang apa solusinya?
Ada banyak jalan menuju Roma, hanya butuh kecerdasan membaca peta dan nyali. Sebetulnya, tanpa perlu menaikkan PPN menjadi 12 persen, ada banyak cara untuk menaikkan penerimaan negara.
Pertama, pemerintah bisa menerapkan pajak kekayaan. Dari simulasi Celios, dengan tarif pajak 2-3 persen, pajak kekayaan terhadap 50 orang terkaya Indonesia bisa menghasilkan Rp 81,6 triliun.
Sementara hasil simulasi The Prakarsa menunjukkan bahwa pajak kekayaan diterapkan pada 4.600 orang Indonesia orang terkaya yang memiliki kekayaan di atas USD 10 juta atau Rp 144 miliar, maka potensi tambahan penerimaannya adalah Rp 54 triliun sampai Rp 155,3 triliun per tahun.
Pajak kekayaan ini menghasilkan efek berlipat ganda. Selain menambah penerimaan negara, pajak kekayaan juga bisa efektif untuk mempersempit jarak ketimpangan ekonomi.
Kedua, pajak rezeki nomplok (Windfall tax), yang bisa difokuskan pada komoditas ekstraktif. Selain menaikkan penerimaan negara, pajak ini juga bisa mengerem model ekonomi ekstraktif yang tidak berkelanjutan.
Ketiga, menggenjot pajak karbon. Jika dihitung menggunakan asumsi emisi gas rumah kaca tahun 2022, potensi pendapatan negara dari pajak karbon sekitar Rp 37,62 triliun. Selain menambah kas negara, ini juga bisa mengurangi emisi gas rumah kaca. Tentu saja, ini bagi lingkungan dan masa depan yang lebih baik.
Keempat, pajak dosa untuk minuman berpemanis. Selain menambah setoran untuk penerimaan negara, pajak ini bisa mengurangi dampak kesehatan akibat konsumsi minuman berpemanis. Ini juga bisa menghemat anggaran BPJS, loh.
Kelima, percepat pengesahan undang-undang perampasan aset untuk mengejar uang atau harta negara yang dirampok oleh para koruptor. Kebijakan ini bisa menambah efek jera pagi pelaku korupsi, selain hukuman penjara dan denda.
Keenam, moratorium pembayaran utang luar negeri. Pada APBN 2025, porsi pembayaran bunga utang saja mencapai Rp 552,854 triliun atau lebih dari 20 persen dari total belanja pemerintah pusat. Dengan tekanan fiskal yang berat, pemerintah punya dalih untuk meminta moratorium pembayaran utang kepada kreditur.
Ketujuh, gerakan potong gaji pejabat negara (presiden/wapres, menteri, kepala daerah, anggota DPR/MPR, dan seluruh pejabat eselon I dan II) dan petinggi BUMN (direksi, dewan pengawas dan komisaris). Lumrah terjadi, negara yang ditekan krisis melakukan pemotongan gaji pejabat.
Jangan diam, saatnya bertindak!
Kita enggak boleh cuma diam lihat kebijakan yang tak adil kayak gini. Suara kita penting buat ngingetin pemerintah kalau rakyat enggak setuju dengan kenaikan PPN 12 persen. Kita bisa menyuarakannya lewat aksi protes, opini di media massa, petisi, maupun protes di media sosial.
Akan tetapi, kalau kita sudah bersuara dan tak didengar, lalu pemerintah tetap menaikkan PPN 12 persen, maka kita perlu menggemakan gerakan hemat belanja hingga memboikot pembayaran pajak. Kita berhak menyuarakan itu, sebab prinsip dasar pajak adalah: no taxation without representation.