Gerakan Perempuan dan Harga Sembako

Kenaikan harga kebutuhan pokok seringkali memicu gejolak politik. Bahkan, kalau menengok kembali sejarah, kenaikan harga kebutuhan pokok berkali-kali memicu perubahan sosial.

Mari mengingat revolusi sosial paling dikenang di awal abad ke-20: revolusi Rusia 1917. Revolusi itu pecah bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Sedunia. Perang dan kelangkaan roti telah menggiring rakyat jelata dalam kelaparan. Mereka mengusung slogan: roti, tanah dan perdamaian.

Revolusi Prancis 1789 juga diledakkan oleh problem monarki absolut dan kelangkaan roti. Rakyat dari kalangan bawah, terutama pekerja dan petani, memicu apa yang disebut “perang tepung”.

Menariknya, lewat isu kebutuhan pokok, perempuan mengambil peran di garis depan. Di revolusi Rusia, gerakan perempuan bahkan menjadi pemantik revolusi itu.

Kenapa perempuan?

Menurut saya, itu karena perempuan berhadap-hadapan langsung dengan persoalan kebutuhan pokok itu. Konstruksi sosial yang patriarkis, yang menempatkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga, membuat mereka merasakan langsung gejolak harga sembako.

Di Indonesia, di masa yang tidak jauh, tepatnya di tahun 1960-an, gerakan perempuan berada di garis depan memprotes kenaikan harga kebutuhan pokok. Tersebutlah nama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang paling garang dan konsisten memprotes kenaikan harga-harga.

Pada akhir 1950-an, harga-harga kebutuhan pokok merangkak naik. Saat itu, inflasi mulai merangkak naik dengan cepat. Pada 1959, pemerintah berusaha meresponsnya dengan kebijakan sanering atau pemotongan nilai uang. Nilai uang dipangkas hingga 90 persen.

Pada Desember 1959, DPP Gerwani mengirim delegasi untuk bertemu pemerintah. Delegasi terdiri dari Umi Sardjono, Nj Mudigdo, dan Chalisah. Mereka menuntut pemerintah segera menurunkan harga kebutuhan pokok.

Tidak digubris, Gerwani kembali mengirim Salawati Daud dan Sri Kanapsijah untuk bertemu Menteri Perdagangan. Namun, hasilnya juga nihil.

Selain mengirim delegasi, Gerwani juga menjadikan koran mereka, Api Kartini, sebagai corong untuk memprotes kenaikan harga. Majalah feminis terkemuka pada masanya itu menuliskan dampak kenaikan harga sembako pada perempuan, terutama ibu rumah tangga. Selain lewat artikel yang pedas, majalah itu juga menyuguhkan dialog-dialog imajiner yang berisi sindiran satir.

Pada Februari 1962, anggota DPR-GR dari Gerwani, Salawati Daud, mengeluarkan pernyataan keras yang mendesak presiden segera bertindak mengatasi kenaikan harga.

Hingga awal 1960, ketika inflasi sudah merangkak menjadi 20 persen, pemerintah tak juga meggubris protes Gerwani.

Akhirnya, Gerwani mengambil jalan yang lebih keras: aksi demonstrasi. Anggota Gerwani, yang sudah berjumlah jutaan, ditumpahkan ke jalan-jalan. Perempuan dari organisasi sekawan, seperti SOBSI dan Kowani, juga ikut demonstrasi.

Menteri Perdagangan RI kala itu, Arifin Harahap, sempat bergeming. Namun, begitu demonstrasi makin membesar, Presiden Sukarno malah yang merespons. Dia berjanji akan menurunkan harga ke tingkat yang layak dalam dua atau tiga tahun.

“Gerwani tidak berhasil membuatnya memenuhi janji itu, walau sepanjang 1961 terus-menerus dilancarkan berbagai demonstrasi dan rapat umum melawan kenaikan harga,” tulis Saskia Wieringa dalam bukunya, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.

Dalam menentang kenaikan harga itu, majalah bulanan Gerwani, Api Kartini, ikut bersuara keras. Memang, majalah ini kerap menjadi corong Gerwani untuk menyuarakan persoalan-persoalan perempuan.

Di majalah itu, Gerwani menunjukkan betapa kenaikan harga sangat bersinggungan dengan perempuan. Kadang ditulis dengan bahasa yang satire.

Gerakan tolak kenaikan harga yang dimotori Gerwani bersambut. Forum Musyawarah Wanita, semacam front nasional di kalangan organisasi perempuan sesuai anjuran Sukarno, mulai membahas soal kenaikan harga.

Sepanjang 1962, ada tiga kali Musyawarah Wanita, di mana isu kenaikan harga jadi topik utama. Tokoh Gerwani, SK Trimurti, menjadi pembicara penting di forum ini.

Setelah musyawarah itu, Kongres Wanita Indonesia (Kowani), sebuah federasi organisasi perempuan, juga mulai berbicara soal kenaikan harga kebutuhan pokok.

Memang, akhirnya tuntutan perempuan soal turunkan harga mendapat respons pemerintah. Tetapi, karena pemerintah sendiri terjepit kesulitan ekonomi, tuntutan penurunan harga itu tidak lekas terwujud.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Pengemudi Ojol Tuntut THR Penuh

Pengemudi Ojol Tuntut THR Penuh

Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) terus menagih janji Kementerian

Next
Klub-klub Sepak Bola di Jalan Kiri Politik

Klub-klub Sepak Bola di Jalan Kiri Politik

Tak dinyana, politik kerap tak hanya mewarnai duel perebutan bola di lapangan

You May Also Like
Total
0
Share