Kita kini hadir dan hidup di tengah zaman baru. Sebuah zaman yang ditandai dengan kecepatan dan keterbukaan. Yang tidak siap, ragu-ragu, akan digilas oleh zaman baru ini.
Teknologi, terutama teknologi digital, telah menjadi ujung tombak di zaman baru ini. Perkembangan teknologi digital yang berpadu dengan perkembangan internet, telah melahirkan perubahan besar di zaman kita: Revolusi 4.0.
Meski baru dimulai, Revolusi 4.0 ini pelan-pelan telah merombak secara radikal cara-cara hidup kita, mulai dari cara berproduksi, berelasi sosial, hingga cara mengatur kehidupan bersama. Orang-orang menyebut fenomena perubahan secara radikal ini sebagai disrupsi.
Sebagai bangsa yang besar, dengan 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen warganya yang sudah terhubung ke internet dan 92 juta di antaranya memegang telepon pintar, Indonesia tak bisa menghindar dari disrupsi. Di depan kita hanya terhampar dua pilihan: berinovasi atau mati!
Gejalanya tampak telanjang di depan mata. Tukang ojek pangkalan terdesak oleh ojek online. Perusahaan taksi macam Blue Bird dan Express digeser oleh layanan taksi berbasis aplikasi macam Grabcar dan Gocar.
Di sektor keuangan, perbankan konvensional pelan-pelan tersaingi oleh kehadiran perusahaan teknologi finansial (fintech) yang berbasis teknologi. Fenomena seperti ini juga terjadi di sektor perhotelan, ritel, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, disrupsi tak hanya mendobrak habis model produksi hingga distribusinya. Lebih dari itu, ia juga pelan-pelan mengubah fundamental bisnisnya. Kalau dulu model berbisnis menekankan pada pemilikan (owning economy), sekarang mengedepankan kolaborasi dan berbagi peran (sharing economy).
Disrupsi tak hanya dalam urusan bisnis, tetapi telah merambah ke mana-mana. Mengubah relasi sosial kita, budaya kita, bahkan kehidupan politik kita.
Di sisi lain, perkembangan teknologi-informasi yang beriringan dengan globalisasi, telah mengubah wajah dunia kita. Dunia kita makin terglobalisasi, menjadi semacam “kampung global” (global village). Apa yang dulu kita sebut efek jarak-jauh (time-space distanciation), sekarang sudah menghilang, karena internet sudah memungkinkan kita bertatap muka secara langsung dengan siapa pun di belahan dunia ini.
Bersamaan dengan itu, konsep negara-bangsa juga bergeser. Tidak relevan lagi menghubungkan nasionalisme hanya dengan persoalan teritorial atau batas negara belaka. Apalagi mengibarkan nasionalisme sempit, dengan mengedepankan suku, agama maupun ras, di tengah pergaulan antar bangsa yang sudah melintas-batas.
Di sisi lain, sudah tujuh kali kita ganti presiden. Dengan gebrakan-gebrakannya masing-masing, mereka sudah membawa bangsa kita pada titik sekarang ini: ada banyak kemajuan, tetapi masih banyak pula yang mesti dikoreksi dan dibenahi.
Kita masih berhadapan dengan persoalan korupsi, akibat pengelolaan kekuasaan yang kurang partisipatif. Juga karena penempatan orang dalam kekuasaan yang tidak berdasarkan komitmen, integritas, dan kecakapan untuk mengabdi kepada kepentingan publik.
Kita juga masih berhadapan dengan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, akibat pengelolaan ekonomi yang hanya menempatkan segelintir orang untuk menguasai sumber daya dan menumpuk kekayaan.
Kita juga berhadapan dengan menguatnya intoleransi, yang berpotensi merobek kebhinekaan bangsa kita, akibat bangkitnya pandangan keagamaan yang puritan, ekslusif, dan menolak kebenaran di luar dirinya.
Menghidupkan Kembali Republikanisme
Ada satu hal yang jarang tersentuh dalam berbagai diskusi tentang prinsip dasar berbangsa dan bernegara kita, yaitu tentang bentuk negara Republik.
Padahal, jika kita ada waktu untuk menengok sejarah, pilihan menjadi negara Republik lahir dari sebuah kehendak serius dan luhur para pendiri bangsa kita untuk melahirkan negara demokratis dan modern.
Setidaknya ada dua alasan kenapa para pendiri bangsa kita memilih bentuk negara Republik. Pertama, sebagai penolakan terhadap sistim monarki, yang menempatkan kekuasaan pada seorang raja dan diwariskan secara turun temurun.
Kedua, komitmen terhadap sistem demokrasi, yaitu sebuah pemerintahan yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai puncak tertingginya. Bahwa sebuah kekuasaan, selain dipilih dan dilegitimasi oleh rakyat, juga tunduk pada kehendak rakyat.
Karena itu, selain menjamin kesetaraan warga negara, Republikanisme juga hendak memastikan partisipasi warga negara dalam mengelola kekuasaan agar mengabdi kepada kepentingan bersama (publik).
“Negara kita adalah milik seluruh rakyat dan tujuannya pun tidak boleh tidak haruslah keselamatan dan kesejahteraan rakyat,” kata Bung Karno.
Sayang sekali, tata-kelola politik kita, terutama di zaman Orde Baru, justru menjauh dari semangat Republikanisme. Di masa Orde Baru, kekuasaan memusat di tangan satu orang: Presiden Soeharto. Sementara kelembagaan politik yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi warga negara, yaitu partai politik dan badan perwakilan, tak berfungsi efektif karena dibonsai.
Setelah reformasi, ada perubahan politik. Satu semangat dari Republikanisme, yaitu sistem multi-partai, berhasil dimenangkan. Untuk pertama kalinya, setelah 32 tahun penuh kekangan, warga negara kembali bebas untuk mengekspresikan politiknya, termasuk mendirikan partai politik.
Namun, meskipun sistem multi-partai berhasil direbut, ternyata partisipasi warga belum juga terangkat. Partai politik, yang jumlahnya berlusin-lusin itu, justru mengidap penyakit lama: kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir elit partai dan terwariskan berdasar garis keturunan.
Pada langgam politiknya, partai justru menjauh dari semangat partisipasi warga. Mereka terjebak pada elitisme. Mereka sekadar menjadi kendaraan elektoral elit partai.
Di sisi lain, karena perkembangan teknologi digital dan internet, politik kita mengalami disrupsi. Cara-cara politik lama pelan-pelan dilumat oleh cara-cara politik baru.
Kami menyebut zaman baru ini sebagai zaman partisipasi dan keterbukaan. Setiap orang, asalkan punya gadget dan terkoneksi dengan internet, bebas untuk mendapatkan informasi tak terbatas, menyebarkannya, dan membuat opini sendiri.
Teknologi digital dan internet memungkinkan semua warga negara bisa berpartisipasi dalam isu publik apa pun, lewat tulisan, foto/gambar, hingga video. Siapa pun boleh menyebarkan pendapat atau gagasan di media sosial.
Selain itu, di internet, ada banyak situs penggalang petisi, yang memungkinkan siapa pun bisa menggalang warga negara untuk menyatakan dukungan atau menolak regulasi atau kebijakan politik, tanpa harus bertemu di satu titik aksi atau turun ke jalan secara bersama-sama.
Belum lagi, dengan perkembangan e-voting, setiap pengambilan keputusan yang sifatnya partisipatif. Seperti jajak pendapat atau pemilihan, bisa dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja, tanpa menghabiskan biaya, tenaga dan waktu yang banyak.
Sekarang, pelaporan atau aduan warga bisa dibuat online. Laporan dan penggunaan anggaran juga bisa dilakukan secara online. Rapat-rapat juga sudah bisa disiarkan langsung (streaming). Dengan kemajuan teknologi informasi, publik bisa mengawasi langsung berbagai proses politik hingga tata kelola anggaran.
Semua perkembangan-perkembangan itu menegaskan kita memasuki zaman baru: zaman partisipasi dan keterbukaan. Pertanyaannya sekarang, sudah siapkah infrastruktur dan kelembagaan politik merespons zaman baru ini?
Pada titik ini, kita menjadi sadar, bahwa sejak 1945 para pendiri bangsa kita sudah memberi bangsa ini landasan tata kelola politik modern dan senapas dengan kemajuan zaman, yaitu Republikanisme.
Karena itu, tugas kita sekarang adalah meneguhkan kembali cita-cita Republikanisme. Kita harus berjuang untuk menghadirkan nilai-nilai Republikanisme dalam kehidupan politik kita.
Pertama, perlu menegaskan komitmen bersama, seluruh elemen bangsa ini, untuk memerangi segala upaya yang ingin menggantikan bentuk negara Republik dengan bentuk negara monarkis maupun teokratis.
Karena itu, sebagai warga Republik, kita jangan memberi tempat pada praktik intoleransi yang mengoyak persaudaraan kita sebagai warga negara. Kita harus menebalkan ikatan Bhineka Tunggal Ika.
Kedua, perlu menata kembali kelembagaan politik kita, dari partai politik, parlemen, hingga eksekutif, agar lebih terbuka dengan semangat keterbukaan dan memajukan partisipasi warga negara.
Sudah tak terhindarkan bahwa kemajuan teknologi membuat warga negara bisa mengawasi dan mengontrol kinerja lembaga-lembaga politik. Selain itu, teknologi juga semakin membuka ruang bagi partisipasi warga negara untuk merumuskan dan menentukan arah kehidupan politik.
Ketiga, harus ada komitmen bersama untuk memerangi korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena hal tersebut merusak nilai-nilai Republikanisme yang berdasarkan prinsip: setiap orang dipilih berdasarkan komitmen, integritas dan kecakapannya untuk mengabdi pada kepentingan publik.
Keempat, negara harus terbuka terhadap hadirnya kekuatan-kekuatan politik baru yang mengusung semangat perubahan agar bangsa ini menjadi lebih baik.
Kehadiran pemain baru harus dinilai positif. Sebab, ia akan selalu memperbaiki mutu kompetisi. Kehadiran pemain baru akan memaksa pemain lama untuk semakin memperbaiki diri, agar tidak terlindas oleh kompetitor baru.
Untuk itulah, kemerdekaan berserikat dan berkumpul harus dijaga benar. Termasuk kemerdekaan setiap warga negara untuk mendirikan wadah politik agar bisa mengekspresikan aspirasi politiknya.
Kelima, demokrasi yang kuat perlu ditopang oleh demokrasi ekonomi. Tanpa demokrasi ekonomi, demokrasi berdiri di tiang yang rapuh.
Kita bisa belajar dari banyak pengalaman. Bahwa ketidaksetaraan ekonomi, apalagi bila segelintir orang menguasai sumber daya dan kekayaan, bisa menciptakan politik yang oligarkis.
Dan kenyatannya, oligarki bisa merusak demokrasi. Karena menciderai konsep “one man, one vote”. Karena segelintir orang kaya ingin mempertahankan dan meningkatkan kekayaannya (wealth defense), maka mereka menggunakan kekayaannya untuk menguasai politik: membeli partai, membeli politisi, mempengaruhi pemilihan, membeli suara pemilih, bahkan mempengaruhi kebijakan politik dari belakang pintu.
Karena itu, cita-cita Republikanisme modern harus bergandengan tangan dengan demokrasi dan kesejahteraan sosial.