Bung Hatta dan Pemikirannya tentang Demokrasi

Hatta saat berkunjung ke Stockholm, pada 1963. Kredit foto: Wikipedia Commons

Muhammad Hatta atau Bung Hatta merupakan tokoh yang mendedikasikan hidupnya untuk bangsa. Lahir 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, ia bercita-cita mewujudkan Indonesia merdeka.

Cita-cita tersebut banyak ia perjuangkan melalui organisasi atau partai politik yang pernah ia ikuti. Dia juga menggaungkan pemikirannya lewat tulisan.

Dalam perjalanan hidupnya, Hatta mengakrabkan diri dengan ide-ide tentang negara dan pemerintahan. Salah satunya, tentang bagaimana membangun konsep tentang demokrasi sosial. Ini merupakan sebuah konsepsi demokrasi yang dibangun berdasarkan fondasi dari model demokrasi asli Indonesia. Kala itu, demokrasi ini banyak diterapkan di desa-desa.

Konsepsi demokrasi yang didambakan Hatta adalah di mana kedaulatan rakyat berakar dengan bercorak kolektivisme. Ini suatu keadaaan di mana kesetaraan dalam demokrasi tidak hanya diwujudkan dalam aspek politik semata, tetapi juga dalam aspek ekonomi dan kebudayaan.

Bung Hatta tidak mengingankan adanya praktik dominasi dalam kehidupan bernegara. Baginya, itu bertentangan dengan sistem demokratis. Dominasi tersebut harus dihilangkan. Bukan hanya dalam politik, namun juga dalam aspek ekonomi dan budaya.

Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Demokrasi inilah yang akan turut menentukan arah nasib manusia.

Bagi Hatta demokrasi harus dikembangkan dengan cara yang berpijak karakter asli Indonesia. Konsepsi demokrasi ini sangat didasari pada ikatan kolektivisme rakyat.

Demokrasi asli Indonesia ini dianggap kuat dan tahan banting. Ia bahkan mampu bertahan dalam situasi lama yang feodalistis dan dikuasi oleh raja-raja otokrat. Dalam situasi terjepit sekali pun, demokrasi asli Indonesia tetap mampu tumbuh dan hidup sebagai adat istiadat.

Berikut beberapa sebab yang membuat demokrasi asli Indonesia tetap bertahan dari segala tekanan feodalisme:

Pertama, kepemilikan bersama atas tanah sebagai faktor produksi

Analisis sosial menunjukkan, demokrasi asli Indonesia kuat bertahan di bawah feodalisme karena tanah menjadi faktor produksi terpenting yang dimiliki bersama oleh masyarakat desa, bukan kepunyaan raja. Dan, sejarah sosial di benua Barat memperlihatkan, pada zaman feodalisme hak milik tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan. Siapa yang hilang haknya atas tanah, maka hilang pula kemerdekaannya. Ia terpaksa menggantungkan hidupnya kepada orang lain: ia menjadi budak pekarangan tuan tanah. Karena di Indonesia di zaman dulu hak milik tanah ada pada masyarakat desa, maka kendati demokrasi desa bisa ditindas kekuasaan feodal, tetapi tidak dapat dilenyapkan.

Kedua, gotong royong

Dalam kepemilikan tanah yang demikian, tiap-tiap orang akan menggunakan tenaga ekonominya dengan melibatkan persetujuan kaumnya. Kelanjutan dari itu, didapati pula segala usaha yang berat, yang tidak bisa dikerjakan tenaga orang-seorang, akan dikerjakan bersama secara gotong royong. Bukan saja hal-hal yang menurut sistem yuridis Barat yang dilakukan seperti itu, tetapi juga mengenai hal-hal privat seperti mendirikan rumah, mengerjakan sawah, mengantar orang meninggal ke pemakaman, dan lain-lain.

Ketiga, musyawarah dan mufakat

Dalam keadaan rakyat saling mengantungkan nasib bersama sesamanya tersebut, maka nilai kohesivitas sosial menjadi sangat tinggi agar kolektivitas tidak mengganggu kenyamanan dan kesejahteraan tiap-tiap orang. Itulah sebabnya segala hal yang mengenai kepentingan umum akan dibicarakan bersama, dan keputusan diambil dengan kata sepakat.

Keempat, rapat

Karena masyarakat sudah terbiasa mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat, maka lahirlah lembaga rapat di tempat tertentu, di bawah kepemimpinan kepala desa. Semua orang dewasa di antara anggota-anggota asli desa tersebut berhak hadir dalam rapat itu.

Kelima, hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri

Hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri adalah untuk melepaskan diri dari kekuasaan raja. Hak tersebut dapat digunakan saat mereka merasa tidak senang lagi hidup di sana. Di masa modern hal ini sering disebut sebagai pernyataan kemerdekaan atas suatu wilayah terhadap suatu negara. Contohnya adalah Provinsi Timor Timur yang menyatakan berpisah dengan Indonesia dan membentuk negara sendiri bernama Timor Leste.

Keenam, hak untuk mengadakan protes bersama

Hak tersebut biasa dilakukan apabila rakyat merasa keberatan atas peraturan yang dikeluarkan pembesar daerah. Maka rakyat datang berbondong-bondong ke alun-alun atau di muka rumah pembesar. Mereka akan duduk di sana beberapa lama tanpa berbuat apa-apa.

Boleh dibilang, ini merupakan demokrasi damai. Rakyat yang sabar dan suka menurut, kerap melakukan aksi tersebut. Jika mereka sampai berbuat begitu, maka akan menjadi pertimbangan penguasa, apakah ia akan mencabut kembali atau mengubah perintahnya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Tips Jadi Pemilih Kritis saat Pilkada

Tips Jadi Pemilih Kritis saat Pilkada

Hey, guys, Indonesia bakal menggelar pemilu lokal pada 27 November 2024

Next
Jokowi dan Warisan Ketimpangan Ekonomi

Jokowi dan Warisan Ketimpangan Ekonomi

Pada 20 Oktober nanti, Presiden Joko Widodo akan mengakhiri masa jabatannya

You May Also Like
Total
0
Share