Lebih dari 250 tahun lampau, Tuhan menganugerahkan tokoh besar yang mampu merevolusionerkan dan memperkaya musik dunia. Dia adalah Ludwig van Beethoven.
Lahir 254 tahun lalu di Bonn, Jerman, tidak ada keterangan pasti soal tanggal lahirnya. Beberapa meyakini Beethoven dilahirkan pada 16 Desember 1770. Namun, ada catatan yang menyebut dia dibaptis pada 17 Desember 1770.
Ia lahir dari keluarga penyanyi di abad ke-18. Kakek dan ayahnya adalah penyanyi paduan suara. Itu juga yang mendekatkan Beethoven dengan dunia musik.
Beethoven kecil merasakan kemiskinan. Pada usia 11 tahun, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Kemudian, pada 18 tahun, dia menjadi pencari nafkah keluarga.
Namun, Beethoven tak menyerah. Pengagum Mozart ini terus mengasah bakatnya. Tahun 1792, dia pindah ke Wina, Austria―kota yang melahirkan komposer besar, seperti Wolfgang Amadeus Mozart, Joseph Haydn, Franz Schubert dan Antonio Vivaldi.
Sang revolusioner
Beethoven adalah anak zaman pencerahan. Ia mengalami tiga revolusi sekaligus: revolusi industri di Inggris, revolusi politik di Prancis, dan revolusi filosofis di Jerman.
Di masa mudanya, dia menjadi pengagum terdepan revolusi Prancis. Karya-karyanya diilhami oleh semangat revolusi yang berkobar pada abad ke-18 itu. Ia mempersembahkan Simfoni ketiganya untuk Napoleon Bonaparte. Namun, ia marah besar ketika mendengar Napoleon menyebut dirinya kaisar.
Dia menjadi pendengar Jacobin Jerman, Eulogius Schneider. Pada 1791, setelah dikeluarkan dari Universitas Bonn, Beethoven menjadi anggota klub Jacobin di Strasbourg.
Semangat itu yang membuatnya sangat anti-feodal. Sikap itu membuat Kaisar Franz II tidak menyukai Beethoven. “Ada sesuatu yang revolusioner dalam musiknya,” kata sang Raja.
Konon, pada 1812, si Raja dan Beethoven sedang berjalan-jalan di taman. Namun, Beethoven mengacuhkan permaisuri yang sedang lewat.
Dia juga menjadi pengagum penyair radikal Jerman, Friedrich Schiller. Salah satu puisi Schiller, Ode to Joy, jadi bagian dari Simfoni No.9 Beethoven. Ode to Joy adalah sebuah manifesto untuk sebuah dunia yang lebih adil, persaudaraan, dan kebahagiaan.
Ia pengagum setia kebebasan. Satu-satunya opera yang ia tulis, Fidelio, mengisahkan perempuan yang berjuang sendirian untuk membebaskan suaminya, seorang tahanan politik, dari penjara di Spanyol.
Opera Fidelio sangat revolusioner. Theodor Adorno, salah satu pentolan Mazhab Frankfurt, menyebut opera itu “tak hanya menggambarkan revolusi, tetapi menghidupkannya sebagai ritual.”
Njoto, seorang tokoh kiri Indonesia pada 1950-an menulis tentang Beethoven. “Beethoven adalah penjunjung tinggi cita-cita kebebasan dan kemerdekaan nasional,” tulisnya.
Kehilangan pendengaran
Pada usia 30-an, saat sedang di puncak kreativitas dan produktivitasnya, Beethoven justru terserang penyakit yang membuat daya pendengarannya berkurang.
Dia nyaris putus asa dengan penyakitnya. “… hampir enam tahun lalu saya terserang penyakit berbahaya yang telah diperburuk oleh dokter yang tidak mampu,” tulisnya.
Pada 1802, Beethoven menulis surat kepada saudara-saudaranya, bahwa ia frustrasi dengan ketuliannya hingga nyaris bunuh diri. Dalam surat yang terkenal, Heiligenstadt Testament, ia menulis ketika menghadapi kematian, kesenian menjadi penyelamatnya.
“Sangat mustahil bagiku untuk meninggalkan dunia sebelum aku menghasilkan semua yang aku rasa terpanggil untuk menghasilkannya,” tulis Beethoven.
Beethoven tak menyerah. Energi berkaryanya justru meledak. Banyak mahakaryanya lahir di masa-masa sulit itu.
Beethoven tidak pernah menikah, tetapi punya hubungan percintaan yang misterius. Di antara surat-surat pribadinya terselip surat cinta kepada kekasih misteriusnya yang diberi nama “kekasih abadi”. Konon, kekasih abadi itu adalah Antonie Brentano, seorang perempuan kaya kolektor seni dan filantropi di Kota Wina.
Pada 1827, Beethoven meninggal dunia di usia 56 tahun. Hasil otopsinya menunjukkan ia menderita sirosis hati dan memiliki infeksi virus hepatitis B.