Sejarah sepak bola Indonesia, yang sudah dimulai sejak awal abad ke-20, berkelindan dengan sejarah perjuangan menentang kolonialisme.
Pada masa itu, sepak bola tidak hanya menjelma menjadi permainan baru yang digemari banyak bumiputera, tetapi juga sebagai alat perjuangan. Sehingga tidak mengherankan jika banyak pejuang kemerdekaan Indonesia adalah penggemar berat sepak bola.
Inilah 5 bapak bangsa penggila sepak bola.
Husni Thamrin
Mohammad Husni Thamrin adalah pecandu bola. Tokoh yang pernah menjadi anggota Volksraad ini melihat sepak bola bukan sekadar permainan, tetapi juga sebagai alat menjahit persatuan dan menanamkan kesadaran kebangsaan.
Thamrin punya andil dalam penyatuan sepak bola bumiputera di Batavia menjadi Voetbalbond Boemipoetra (VBB), pada 28 November 1928. Kelak, VBB berubah menjadi Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), lalu menjadi Persija.
Thamrin aktif mendukung VIJ. Saat itu, ketika VIJ kesulitan mendapatkan stadion karena diskriminasi kolonial, Thamrin menyumbang 2000 gulden (sekitar Rp 170 juta) untuk membangun stadion VIJ di Petojo, Cideng, Jakarta.
Sutan Sjahrir
Sjahrir sudah menjadi pecandu bola sejak tinggal di Medan sekitar 1923. Lalu makin serius sejak pindah ke Bandung. Di Kota Kembang, Sjahrir muda bergabung dengan dua klub: Voetbalvereniging Poengkoer dan kemudian LUNO (Laat U Niet Overwinnen).
Meski berpostur agak kecil, Sjahrir dikenang sebagai penyerang andal. Sayang, begitu terjun ke dunia pergerakan, waktu si Bung Kecil untuk bermain bola mulai berkurang.
Namun, saat menjalani pembuangan di Boven Digul, Sjahrir kembali bermain bola. Dia bersama Bung Hatta bahkan mendirikan klub sepak bola.
Tan Malaka
Sejak kecil, di kampung halamannya di Suliki, Sumatera Barat, Tan Malaka suka bermain bola. Kegemaran bermain bola ia bawa hingga ke negeri Belanda, saat menimba ilmu di Negeri Kincir Angin itu.
Tan bermain di klub Vlugheid Wint. Di lapangan hijau, dia tampil sebagai penyerang. Meski posturnya agak kecil, tetapi dia bergerak lincah dan tendangannya keras.
Tahun 1942, saat bekerja di Bayah, Lebak, Banten, Tan kembali rajin bermain bola. Ia menghidupkan sepak bola demi mengonsolidasikan rakyat di Bayah.
Mohammad Hatta
Mohammad Hatta, yang lahir pada 12 Agustus 1902, adalah penggemar berat sepak bola. Sedari kecil, di kota kelahirannya, Bukittinggi, ia menghabiskan banyak waktu untuk bermain bola.
Sayang, neneknya yang terlalu overprotective, yang khawatir cucunya cedera, melarang Hatta menyentuh si kulit bundar. Alhasil, Hatta sempat jeda lama bermain sepak bola.
Ketika melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah tingkat pertama era Hindia-Belanda, Hatta menemukan ruang kebebasan untuk bermain bola lagi.
Di Kota Padang, tempatnya bersekolah MULO, ia bergabung dengan klub bola Swallow. Dia sering bermain di lapangan Plein Van Rome (sekarang lapangan Imam Bonjol). Hatta bermain di posisi bek.
Meski badannya kecil, sehingga sulit untuk menang aerial duel, tapi ia tetap sulit dilewati. Kawan-kawannya memberi julukan: onpas serbaar (sulit ditembus). Tak mudah bagi penyerang lawan untuk melewati anak muda kelahiran Bukittinggi ini.
Saat mulai terjun ke gelanggang pergerakan, dengan bergabung dalam Jong Sumatranen Bond (JSB), Hatta tetap menyelipkan waktu untuk bermain sepak bola.
Menariknya, JSB ini juga punya klub bola. Dan, Hatta tergabung di klub dengan posisi baru sebagai penyerang tengah. Bersama JSB, Hatta tiga kali mengangkat trofi Piala Sumatera Selatan secara berturut-turut.
Ketika diasingkan ke Boven Digul, pada 1935, bersama Sjahrir ia membentuk klub sepak bola. Pemainnya sesama tahanan politik di Boven Digul.
Sukarno
Sukarno kecil sebetulnya menyukai sepak bola. Ia pernah menjadi bagian dari sebuah klub sepak bola, kendati tak berlangsung lama. Penyebabnya, ia tak kuat dihujani ejekan oleh anak-anak keturunan Belanda.
Namun, pada 1930-an, ketika sepak bola menjadi alat politik kaum pergerakan, Sukarno kembali bersentuhan dengan si kulit bundar.
Pada 1932, saat PSSI menggelar pertandingan antara Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) versus Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram (PSIM), Sukarno diminta menyampaikan orasi sekaligus sepakan pertama.