Kabar pahit itu, yang sebelumnya masih terdengar samar-samar, akhirnya datang juga. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) resmi memecat pelatih Tim Nasional (Timnas) Indonesia, Shin Tae-yong atau STY.
Keputusan itu disampaikan langsung Ketua Umum PSSI, Erick Thohir. “Kami melihat perlunya ada pimpinan yang lebih bisa menerapkan strategi yang disepakati oleh para pemain dan komunikasi yang baik,” kata Erick, Senin, 6 Januari 2025.
STY, yang mulai menjadi pelatih sejak Januari 2020, telah membuat Timnas Indonesia naik kelas. Selama beberapa dekade, Timnas Indonesia hanya berputar-putar di Asia Tenggara. Itu pun kerap dipecundangi oleh Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Namun, di bawah asuhan STY, Timnas Indonesia menapaki jalan kemajuan yang terang-benderang. Dalam lima tahun kepelatihannya, STY bisa menaikkan peringkat FIFA Timnas dari 173 (2020) menjadi 123 (2024).
Selain itu, STY juga membawa Timnas menorehkan banyak prestasi: runner-up AFF 2020, medali perunggu Sea-Games 2021, runner-up AFF U-23 2023, lolos 16 besar Piala Asia 2023 (prestasi terbaik dalam sejarah), dan semi-finalis Piala Asia U-23 2024 (terbaik dalam sejarah Timnas U-23).
Dan, yang terpenting, STY membawa Timnas Indonesia ke kualifikasi Piala Dunia 2026 putaran ketiga. Saat ini, Indonesia yang menempati grup C berada di peringkat ke-3, di atas Arab Saudi, Bahrain, dan Tiongkok. Dengan posisi ini, Indonesia punya peluang besar untuk lolos ke pentas Piala Dunia 2026.
STY memang si pembuat keajaiban. Tentu sebagian kita masih ingat “Miracle of Kazan”, kejadian ketika Timnas Korea Selatan di bawah kepelatihan STY berhasil memulangkan Jerman di ajang Piala Dunia 2018. Saat itu, Korsel di luar dugaan berhasil melibas Thomas Muller dkk dengan skor 2-0.
Saat menjadi arsitek Timnas Indonesia, STY juga menciptakan keajaiban baru. Di pentas Piala Asia U-23 2024 di Qatar pada pertengahan 2024 lalu, Timnas Indonesia (peringkat 134 dunia) berhasil mengalahkan Timnas Korea Selatan, peringkat ke-23 dunia dan salah satu yang terkuat di Asia. Keajaiban ini akan dikenang sebagai “Miracle of Doha”.
Serta, pada 19 November lalu, saat kualifikasi Piala Dunia 2026 putaran ketiga, Timnas Indonesia berhasil menundukkan salah satu raksasa Asia sekaligus langganan Piala Dunia: Arab Saudi. Skor kemenangan Indonesia cukup telak: 2-0.
Tentu saja, semua capaian itu tidak jatuh dari langit, bukan berkah yang tiba-tiba ujuk. Sejak menukangi Timnas, STY banyak melakukan perbaikan. Ia memulainya dari hal yang paling elementer.
Pertama, ia membenahi fisik pemain Timnas. Tanpa fisik yang mumpuni, jangan berharap Timnas bisa berlaga di pentas dunia.
Menurut STY, rata-rata pemain Indonesia hanya sanggup bermain optimal selama 20 menit. Faktornya beragam, tetapi satu yang terpenting adalah asupan nutrisi. Masalahnya, tidak sedikit pemain Timnas, seperti kebanyakan orang Indonesia, kurang memiliki literasi soal gizi yang baik.
Bangsa ini memang terseok-seok dalam urusan gizi. Meski menyandang predikat sebagai negara agraris dan maritim sekaligus, tetapi prevalensi stunting di Indonesia masih mencapai 21,6 persen (SSGI, 2022) dan 17,7 juta rakyatnya mengalami kekurangan gizi (undernourished).
Selain faktor kemiskinan, pola makan yang tidak sehat juga menjadi salah satu penyebab. STY pernah mempersoalkan kebiasaan pemain Timnas mengonsumsi gorengan. Gorengan membawa masalah kesehatan serius: penimbunan lemak pada tubuh, risiko kardiovaskular, gangguan pencernaan, dan gangguan gizi tidak seimbang. Gorengan membuat kondisi fisik pemain tidak bisa optimal.
Padahal, agar bisa bermain maksimal hingga 90 menit atau lebih, bisa berduel di udara, bisa berlari kencang, bisa beradu badan saat berebut bola, tidak gampang terpelanting saat terjadi body crash, dan agar tak rentan cedera, pemain bola membutuhkan fisik yang sehat dan optimal.
Kedua, STY melakukan revolusi pendisiplinan. Kita tahu bersama, bangsa Indonesia sangat payah urusan kedisiplinan. Dari elit hingga akar rumput. Dari gedung kantor pemerintah hingga di jalan raya, ketidakdisiplinan itu tampak nyata. Bahkan institusi yang tiap hari digembleng dengan “siap, grak” saja banyak personelnya yang tak disiplin. Bangsa ini memang sangat payah urusan kedisiplinan.
Tidak terkecuali dalam sepak bola. Awal-awal menukangi Timnas, STY pernah mengeluh soal kedisiplinan. Di Korsel, pemain hanya membutuhkan 2-3 menit untuk masuk ke lapangan latihan. Sementara pemain Timnas Indonesia membutuhkan waktu lebih dari 10 menit untuk persiapan latihan.
“Mereka jalan ke lapangan sudah makan waktu sekitar sepuluh menit. Padahal pelatih dan staf turun dari bus sampai ke lapangan dalam satu sampai dua menit saja lalu berdiri menunggu pemain datang. Tapi mereka masih duduk, mengobrol, mengikat tali sepatu sambil mengobrol, (seolah) tidak berniat ke lapangan,” keluh STY, seperti dikutip fanditfootball.com, 12 Oktober 2023.
STY tidak berkompromi dengan ketidakdisiplinan ini. Mereka yang tak mau diatur, seenake dewe, tak mau mendisiplinkan diri, dicoret dari Timnas. Sementara yang mau patuh dan mengubah mentalitas, STY menerapkan sistem penalti terhadap segala bentuk tindakan indisipliner.
Ketiga, STY juga membenahi persoalan mentalitas pemain, yang gampang pasrah dan menyerah. Nilai juangnya rendah. Kerap mengidap mental inferiority complex ketika berhadap-hadapan dengan tim besar. Padahal, dalam banyak sejarah dunia, dari ruang dan waktu yang beragam, mental seringkali menjadi faktor yang mengubah jalan cerita peristiwa.
Dalam sepak bola, mentalitas kerap berbicara. “Buat saya, mental adalah kunci kemenangan,” kata Brendan Rodgers, pemain Irlandia Utara yang kini menukangi Celtic FC. Mental menyangkut kemampuan mengelola emosi, sehingga rasional dan efektif dalam mengambil keputusan. Mental juga menyangkut kemampuan untuk fokus pada pertandingan. Lebih dari itu, mental menyangkut daya juang yang tinggi dan pantang menyerah.
Namun, mental juga menyangkut sikap. Mental yang malas, tidak disiplin, suka berbohong, dan tidak bertanggungjawab. Mental semacam itu pernah membuat pusing STY.
“Saya mengatakan bahwa membuat satu kesalahan dapat diterima, namun membuat dua kesalahan adalah sebuah kebiasaan. Ketika saya membuat mereka memahami hal itu dan mengubahnya, pemikiran para pemain juga berubah,” ungkap STY, seperti dikutip CNN Indonesia, 30 Januari 2024.
Keempat, STY berhadap-hadapan dengan penyakit warisan feodalisme: nepotisme. Ini juga penyakit bangsa kita sejak dulu kala hingga 79 tahun merdeka. Bahkan, pada level politik, presiden mempertontonkan nepotisme dengan bangga.
STY pernah mengakui, selama menjadi pelatih Timnas, ada pihak-pihak yang berusaha menitipkan pemain untuk masuk skuad Timnas. Beruntung, STY tidak pernah menggubris permintaan tersebut.
“Ada, ada (yang menitipkan pemain). Tetapi, tidak pernah saya tanggapi, satu pun tidak pernah terjadi selama saya di sini, jadi tidak perlu khawatir lagi,” ujarnya dalam wawancara bersama Tempo, 2 Februari 2024.
Kelima, STY berusaha memperbaiki teknik dasar pemain Timnas, terutama soal passing dan control. Meski dianggap receh, tetapi ini salah satu persoalan terbesar Timnas Indonesia.
Banyak pelatih asing yang mengeluhkan soal ini. Peter White, pelatih asal daratan Inggris yang menukangi Timnas pada 2004-2007, juga pernah berkeluh-kesah soal teknik dasar ini. Kita, suporter Timnas yang kerap menonton liga-liga Eropa, juga banyak bersuara soal ini.
STY sendiri berkali-kali mengeluhkan soal kualitas passing pemain Timnas. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, bahkan STY mengajari hal yang sangat mendasar itu.
“Kalian ini mengoper (bola) saja tidak bisa. Anak sekolah dasar saja bisa passing seperti ini. Kalian ini, kan, pemain Timnas. Apa tidak malu dengan predikat ini,” teriak Shin melalui penerjemahnya, Jeong Seok-seo, saat sesi latihan di Stadion Madya, Jakarta, seperti terdengar dan terlihat dalam tayangan video.
Mungkin ada yang mencibir, “pelatih hebat kok malah ngajarin yang dasar banget, harusnya ngajari taktik dan strategi permainan.” Dan kita bisa bilang, “Hei, kau jangan bermimpi jadi penulis besar, jika baca dan tulis saja kau belum tuntas.” Begitulah kira-kira analoginya.
Dengan membenahi hal-hal elementer itu, STY sebetulnya sedang meletakkan fondasi yang kokoh bagi pembangunan Timnas maupun sepak bola Indonesia. Ia menaikkan level generasi baru Timnas, tidak lagi bertungkus lumus dengan urusan fisik, kedisiplinan, mentalitas, dan persoalan passing.
Sebetulnya, dengan STY membangun fondasi Timnas seperti itu, ditambah PSSI membenahi kompetisi liga, dari profesional hingga usia dini, sepak bola Indonesia akan menapaki jalan terang-benderang. Mungkin tidak untuk tahun ini atau tahun depan, tetapi beberapa tahun mendatang. Namun, kita sudah punya fondasi yang kokoh.
Namun, federasi sepak bola Indonesia, yang isinya mencerminkan politik Indonesia, tidak suka yang jangka panjang dan strategis. Mereka butuhnya yang instan, yang bisa langsung dipamerkan sebagai jualan prestasi untuk kontestasi politik. Mereka butuh pelatih yang langsung bisa memberikan trofi. Bukankah Ketua PSSI sekarang punya ambisi menjadi capres dan cawapres?
Karena suka yang instan-instan itu, maka proyek sepak bola kita mengejar paling banyak naturalisasi. Padahal, tanpa bermaksud mempertentangkan naturalisasi atau lokal, demi kepentingan sepak bola jangka panjang, pemain naturalisasi dan lokal seharusnya dalam komposisi yang seimbang. Agar yang lokal juga bisa berkembang di Timnas Indonesia. Dan juga, PSSI harusnya bisa mendukung pemain lokal bisa berkiprah di liga-liga negara besar, terutama Jepang, Korea, dan Eropa.
Dengar kabar, pengganti STY datang dari benua Eropa, tepatnya Belanda. Berdasarkan bocoran jurnalis olahraga paling beken, Fabrizio Romano, PSSI sudah deal dengan mantan striker asal Belanda, Patrick Kluivert, untuk menjadi pelatih Timnas Indonesia.
Kluivert, yang pernah menukangi Timnas Curaçao, tidak punya prestasi gemilang sebagai pelatih. Ia bahkan dipecat oleh klub Adana Demirspor Turki pada awal Desember lalu setelah hanya menang sekali dalam enam laga. Ia juga kenyang dengan skandal, dari tuduhan pemerkosaan hingga utang judi.
Tapi, ya, mungkin sosok Kluivert, dengan segala skandalnya itu, cocok dengan kultur sepak bola Indonesia yang memang tak juga pernah sepi dengan skandal.
Singkat cerita, selamat jalan, Coach Shin Tae-yong. Semoga bisa lebih bersinar di klub yang baru.