Kisah Muhammad Ali Menolak Perang Vietnam dan Wajib Militer

Keberpihakan pada mereka yang tertindas selalu menuntut pengorbanan. Muhammad Ali, sang legenda tinju dunia, pernah merasakan hal itu.

Pada 28 April 1967, Mohammad Ali berada di Houston, Texas, untuk mengikuti pelantikan sebagai anggota angkatan bersenjata AS. Namun, saat namanya dipanggil hingga tiga kali, ia menolak berdiri dan justru memilih pergi.

Saat itu, juara tinju dunia kelas berat tersebut menolak keterlibatan AS dalam perang Vietnam.

Selain soal keyakinan, menurut Ali, orang-orang Afro-Amerika, yang saat itu masih dianggap “warga negara kelas dua”, tidak punya kewajiban untuk pergi berperang di Vietnam. “Saya tidak punya masalah dengan mereka, Viet Cong. Tidak ada Viet Cong yang memanggil saya negro,” kata Ali.

Muhammad Ali dalam aksi anti perang Vietnam. Kredit: Getty Images

“Mengapa mereka menyuruh saya memakai seragam dan pergi sejauh 10 ribu mil dari rumah hanya untuk menjatuhkan bom dan menembakkan peluru kepada orang-orang berkulit coklat di Vietnam, sementara orang-orang negro di Louisville (tempat kelahiran Ali) diperlakukan seperti anjing dan disangkal hak asasinya sebagai manusia,” lanjutnya.

Saat itu, Ali sangat sadar, sikapnya akan menuai bertumpuk-tumpuk masalah dalam hidupnya. Dan, benar saja, hanya sehari setelah kejadian itu, otoritas tinju AS menangguhkan lisensi dan mencopot gelarnya.

Pada 20 Juni 1967, pengadilan menjatuhkan vonis hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda USD 10 ribu. Bukannya bertekuk-lutut, semasa dilarang bertanding, Ali justru rajin mengunjungi kampus-kampus dan terlibat dalam protes anti-perang Vietnam.

Saat Ali menolak wajib militer, di Amerika sendiri sedang mengalami pasang gerakan anti-perang Vietnam.

Pada 1966, dukungan publik atas perang Vietnam masih di atas 50 persen. Namun, beberapa bulan setelah Ali dihukum karena sikap anti-perangnya, dukungan publik makin merosot tinggal 27 persen. Ali sendiri banyak menceburkan diri dalam gerakan protes perang Vietnam.

Muhammad Ali, yang lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay, Jr pada 17 Januari 1942, merasakan prasangka rasial dan diskriminasi sejak kecil.

Pada usia 12 tahun, ia kehilangan sepeda barunya. Seperti anak keturunan kulit hitam umumnya yang diabaikan hukum, Ali ingin menghajar pencurinya. Polisi menyuruhnya belajar tinju lebih dahulu.

Mohammad Ali menggunakan tutup kepala Fruit of Islam (FOI), organisasi sayap dari Nation of Islam (NOI). Kredit: VOA Indonesia.

Clay memulai tinju amatir pada 1954. Tak menunggu lama, gelar demi gelar berhasil direbut. Hingga dia berhasil mempersembahkan medali emas kelas berat ringan di Olimpiade Roma 1960.

Pada 1960, Clay memulai karier profesionalnya. Dia dikenal dengan kombinasi pukulan cepat dan gerak kaki yang sangat lincah. Satu per satu nama besar ditumbangkannya: Sonny Liston, Patterson, Henry Cooper, dan lain-lain.

Akhir 1950-an, Clay mulai mengenal Islam lewat organisasi Nation of Islam (NoI), dengan tokohnya Elijah Muhammad.

Lewat organisasi itu, Clay juga bertemu tokoh progresif terkenal, Malcolm X. Tahun 1964, Clay menjadi anggota NoI dan mengubah namanya menjadi Muhammad Ali. Dia pun memeluk Islam. Legenda besar tinju dunia itu berpulang pada 3 Juni 2016.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Sepintas Albert Camus dan Pemikirannya

Sepintas Albert Camus dan Pemikirannya

Albert Camus, sosok penting dalam filsafat dan sastra abad ke-20, punya pengaruh

Next
Awasi Potensi Kecurangan, Kawan 98 dan Jaga Suara: Perluas Posko Anti-Politik Uang

Awasi Potensi Kecurangan, Kawan 98 dan Jaga Suara: Perluas Posko Anti-Politik Uang

Persaingan antar pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Jakarta dalam

You May Also Like
Total
0
Share