Siap-siap, awal tahun depan, rakyat Indonesia bakal menerima tambahan beban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Dalam tiga tahun terakhir, kenaikan atas PPN ini sebetulnya telah dilakukan secara bertahap sejak 2022, dari awalnya 10 persen.
Kondisi ini tentu makin memperberat beban pengeluaran, di tengah semakin menurunnya daya beli masyarakat. Dengan dalih untuk menjaga performa APBN, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun telah mengeluarkan sinyal atas kenaikan tersebut.
“Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya,” kata Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/11).
Dalam artikel sebelumnya “Realitas Ekonomi, Gemoynya Beban Fiskal dan Ambisi Program Ambisius Makan Siang Gratis,” penulis memaparkan uraian bagaimana tantangan ekonomi ke depan. Tantangan fiskal Indonesia, misalnya, tidak hanya membayar hutang jatuh tempo, tetapi juga program-program ambisius yang akan menguras APBN. Tanggung jawab berat yang dihadapi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ini, tentu saja harus disertai langkah-langkah strategis, efektif, efisien, dan bijak.
Banyak yang bertanya, apakah dengan menaikkan PPN dua kali dalam tiga tahun terakhir di tengah pelemahan daya beli masyarakat adalah langkah tepat dan strategis?
Sumber pendapatan APBN Indonesia
Sebelum kita membicarakan langkah strategis dan alternatif untuk tetap menjaga kesehatan fiskal APBN seperti yang diharapkan Sri Mulyani, kita perlu memahami mengapa kenaikan PPN dianggap mampu menjaga kesehatan APBN.
Untuk itu, mari kita lihat sumber pendapatan negara Indonesia, yang menjadi dasar bagi APBN, yaitu: pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hibah. Pajak sendiri memiliki beberapa kategori, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Cukai, serta Pajak Perdagangan Internasional, seperti bea masuk dan bea keluar.
Jika kita lihat data Kementerian Keuangan dalam lima tahun terakhir dari 2019-2024, pajak memang menjadi sumber utama yang menyumbang sekitar 70-75 persen pendapatan RI. Situasi ini selaras dengan sumbangsih PDB kita yang hampir 60 persen bersumber dari konsumsi rumah tangga. Sedangkan pendapatan PNBP sendiri berkisar 15-20 persen dan hibah kurang dari 1 persen setiap tahunnya. Jika kita lihat data di atas, pendapatan APBN Indonesia saat ini jelas sangat bergantung pada
pajak.
Tapi seberapa besar sih sumbangan pajak PPN?
Pajak PPN telah menyumbang sekitar 40-45 persen dari total penerimaan pajak nasional setiap tahunnya, hingga menjadikannya sebagai pilar utama penerimaan negara. Pada 2022, misalnya, penerimaan pajak PPN mencapai Rp 710,38 triliun, naik signifikan dari Rp533 triliun pada 2021, seiring dengan kenaikan PPN dari 10 persen ke 11 persen dan juga pemulihan ekonomi serta aktivitas konsumsi domestik yang meningkat pasca pandemi Covid-19.
Mungkin inilah alasan mengapa pemerintah melalui Kementerian Keuangan memutuskan untuk kembali menaikkan pajak PPN sebagai salah satu solusi praktis dalam menghadapi kebutuhan fiskal yang besar demi mencapai target Indonesia Emas 2045 mendatang.
Diversifikasi pendapatan negara
Seperti kata pepatah, “Banyak jalan menuju Roma,” yang artinya ada banyak solusi dan alternatif kebijakan lain tanpa harus mengandalkan sumber pendapatan kita pada satu sektor saja (pajak), khususnya PPN yang jelas sangat berisiko. Apalagi jika terjadi fluktuasi pada ekonomi nasional.
Salah satu alternatif dan strategi yang bisa diambil pemerintahan Prabowo-Gibran adalah dengan diversifikasi sumber pendapatan. Ini sangat penting untuk mengurangi ketergantungan dan risiko fiskal di masa depan.
Pertama, pajak progresif atau pajak berkeadilan.
Sebagai contoh, di negara-negara maju seperti AS, Kanada, atau Eropa Barat, rata-rata pendapatan dari pajak penghasilan pribadi (pajak progresif) mencapai sekitar 23 persen dari total penerimaan pajak pada 2021, dengan proporsi yang lebih tinggi di negara-negara seperti Denmark (sekitar 60 persen dari total pajak) dan Swedia (sekitar 30 persen). Strategi ini tidak hanya meningkatkan penerimaan, tetapi juga membantu mengurangi ketimpangan ekonomi yang begitu dalam di Indonesia.
Penerapan pajak progresif di Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan dalam optimalisasi potensi pendapatan yang bisa diberikan. Kontribusi pajak penghasilan di Indonesia hanya sekitar 8 persen dari total penerimaan negara pada 2023, jauh di bawah rata-rata OECD yang mencapai lebih dari 30 persen.
Kedua, maksimalkan profitabilitas dan optimalisasi BUMN.
Langkah ini merupakan cara efektif untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Saat ini, kontribusi BUMN terhadap PNBP hanya mencapai sekitar Rp 85,8 triliun (17,4 persen dari total PNBP) atau berkisar 9-11 persen dari total penerimaan negara.
Jika pemerintah bisa meningkatkan kinerja dan efisiensi BUMN, seperti yang dilakukan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia dengan Petronas atau Singapura dengan Temasek Holdings, kontribusi BUMN dengan segala potensi kekayaan sumber daya alam (SDM) dapat mencapai 25 persen atau bahkan lebih dari PNBP.
Ketiga, maksimalkan potensi pajak karbon.
Pemerintah Indonesia telah memasukkan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang rencananya dimulai dengan sektor pembangkit listrik berbasis batu bara. Pajak karbon dikenakan tarif Rp 30 ribu per ton CO₂. Dengan emisi karbon Indonesia sekitar 600 juta ton per tahun, hanya dari sektor energi dan industri, tarif Rp 30 ribu per ton bisa menghasilkan Rp 18 triliun per tahun.
Namun, sektor ini seharusnya bisa terus dieksplorasi untuk menambah kebutuhan dan memperkuat fiskal kita, sebab tarif Rp 30 ribu per ton ini masih tergolong murah. Pemerintahmemiliki potensi besar untuk memperkenalkan tarif yang lebih tinggi jika kita lihat negara-negara di Eropa yang tarifnya berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta per ton. Selain pada tarif, cakupannya juga bisa diperluas pada berbagai sektor, seperti transportasi, limbah, dan lain-lain.
Selain tiga sektor tadi, alternatif kebijakan serta potensi optimalisasi pendapatan negara sangatlah banyak. Ini seperti optimalisasi SDM, peningkatan ekspor unggulan, dan juga memperluas basis pajak tanpa harus membebankan rakyat, serta meningkatkan kepatuhan perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan yang selama ini dikenal nakal dan gemar memanipulasi pajak.
Terlebih lagi, dengan memaksimalkan keuntungan sektor energi, telekomunikasi, dan transportasi, serta berinvestasi di sektor baru seperti energi terbarukan, teknologi, dan BUMN, dapat menjadi tulang punggung penerimaan negara yang lebih stabil dan berkelanjutan. Ini juga membuka peluang untuk mengurangi ketergantungan pada sektor pajak, khususnya PPN.
Kenaikan PPN: memalak rakyat kecil di tengah krisis
Ke depan, di tengah ketidakpastian ekonomi, rendahnya upah minimum, terbatasnya ketersediaan lapangan kerja, menaikkan PPN tentu saja menjadibkebijakan kontraproduktif dan harus dikritisi. Ini penting agar tidak makin menambah beban kepada rakyat secara langsung.
Sebagai negara berkembang yang bercita-cita menjadi negara maju, Indonesia jelas membutuhkan dana yang sangat besar untuk pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia. Kita berharap, pajak bisa berkontribusi besar bagi pembangunan dan mendorong redistribusi kekayaan, bukan malah sebaliknya.
Namun, menaikkan pajak PPN jelas harus kita kritisi dan harus ditimbang kembali. Sebab, menaikkan pajak PPN di saat ekonomi rakyat sedang susah jelas kebijakan yang jauh dari keberpihakan terhadap rakyat kecil. Selain itu, menaikkan PPN sebanyak dua kali dalam tiga tahun terakhir di tengah pelemahan daya beli masyarakat saat ini adalah langkah yang sangat berisiko. Bahkan pada kenyataannya, jelas merupakan kebijakan yang membabi buta.
Menjaga kesehatan APBN jelas tidak boleh dijadikan dalih untuk memalak dan menambah ekstra beban rakyat di tengah ketidakpastian ekonomi global dan nasional saat ini. Di tengah ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin dalam di Indonesia, negara seharusnya hadir untuk terus mempersempit ruang kesenjangan tersebut.
Akhir kata, masih banyak alternatif dan jalan keluar tanpa harus menaikkan PPN.