Konferensi Perburuhan Internasional (ILC)-ILO ke-113 di Jenewa yang berlangsung pada awal Juni ini, telah menetapkan langkah bersejarah dengan merumuskan draf konvensi tentang kerja layak di ekonomi platform digital (Decent Work in the Platform Economy). Perlindungan bagi pekerja platform seperti pengemudi ojek online (ojol) di Indonesia, termasuk mereka yang bekerja untuk Gojek, Grab, dan platform serupa, menjadi target dalam pelaksanaan konvensi ini.
Meski diapresiasi, namun, pendekatan ILO yang mengategorikan pengemudi sebagai pekerja, bukan pelaku usaha mikro, mencerminkan bias yang dapat membatasi potensi pemberdayaan mereka. Harus diingat, dalam konteks Indonesia, pengemudi ojol yang lebih sering memiliki kendaraan sendiri, menunjukkan semangat kewirausahaan. Pengakuan sebagai pelaku usaha mikro yang dihimpun dalam koperasi dapat menjadi solusi inovatif untuk memperkuat posisi tawar mereka, memastikan kerja dan pendapatan layak, dan mempercepat implementasi regulasi nasional.
Menurut saya, bias dalam pendekatan ILO terjadi karena hanya berfokus pada pengakuan pengemudi platform sebagai pekerja dengan hak-hak dasar, seperti upah layak, perlindungan sosial, dan transparansi manajemen algoritma. Pendekatan ini memang penting untuk mengatasi kerentanan yang dihadapi pengemudi, seperti ketidakpastian pendapatan, risiko penonaktifan akun, dan minimnya jaminan sosial. Tapi, dengan mengategorikan pengemudi sebagai pekerja tanpa mempertimbangkan aspek kewirausahaan mereka—seperti kepemilikan kendaraan dan fleksibilitas waktu kerja—ILO terkesan mengabaikan potensi mereka sebagai pelaku usaha mikro. Bias ini dapat memiliki beberapa implikasi:
Pertama, semakin memperkuat ketergantungan pada platform. Dengan menempatkan pengemudi sebagai pekerja, konvensi cenderung mempertahankan dinamika hubungan yang timpang, di mana platform tetap memiliki kendali penuh atas algoritma, tarif, dan alokasi pekerjaan. Ini membatasi otonomi pengemudi untuk bernegosiasi atau mengembangkan model bisnis alternatif.
Kedua, mengabaikan realitas lokal. Seperti di Indonesia, banyak pengemudi ojol memiliki kendaraan sendiri, baik melalui kredit atau investasi pribadi, yang mencerminkan karakteristik pelaku usaha mikro. Mengabaikan aspek ini dapat menghambat pengembangan solusi yang sesuai dengan konteks lokal, seperti koperasi atau badan usaha kolektif serta gotong-royong.
Ketiga, memperlambat pemberdayaan. Karena hanya fokus pada perlindungan sebagai pekerja berdasarkan aturan minimum, ILO kurang mengeksplorasi model yang memberdayakan pengemudi sebagai pelaku ekonomi independen yang bisa meningkatkan kesejahteraan mereka melalui kepemilikan usaha bersama atau kemitraan bisnis dengan platform.
Bias ini juga tercermin dalam proses penyusunan konvensi yang terkesan lambat. Meskipun transportasi online telah ada sejak 2009, ILO baru memulai pembahasan serius pada 2022, dengan finalisasi konvensi direncanakan pada 2026. Proses ini terhambat oleh kompleksitas global, mekanisme tripartit yang memerlukan konsensus antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja, serta kebutuhan untuk mengatasi variasi model platform di berbagai negara. Di Indonesia sendiri, di mana ekonomi platform berkembang pesat, keterlambatan ini menambah urgensi untuk regulasi nasional yang responsif.
Konteks Indonesia
Sekarang ini di Indonesia terdapat lebih dari 4 juta orang berprofesi sebagai pengemudi ojol yang bekerja dalam platform seperti Gojek dan Grab, di mana sebagian besar di antaranya memiliki kendaraan sendiri. Namun, status sebagai “mitra” sering kali menempatkan mereka dalam posisi rentan, dengan pendapatan yang bergantung pada algoritma, minimnya jaminan sosial, dan lemahnya daya tawar terhadap platform. Di sisi lain, pekerja kantoran Gojek sudah dilindungi sebagai karyawan formal dengan kontrak kerja dan akses ke BPJS, menunjukkan perbedaan dalam status ketenagakerjaan.
Pendekatan ILO yang mengategorikan pengemudi sebagai pekerja platform digital relevan untuk memastikan perlindungan dasar, seperti upah minimum dan asuransi kecelakaan kerja. Namun, ini tidak sepenuhnya mengatasi ketimpangan struktural dalam hubungan dengan platform. Di sinilah pendekatan berbasis koperasi, dapat menjadi solusi transformatif.
Dengan mengakui pengemudi sebagai pelaku usaha mikro yang tergabung dalam koperasi, Indonesia dapat menciptakan model yang menggabungkan perlindungan ketenagakerjaan dengan pemberdayaan ekonomi. Dengan demikian para pengemudi tidak akan terjebak menjadi pekerja platform online selama bertahun-tahun hingga usia pensiun.
Manfaat pendekatan berbasis koperasi
Mengategorikan pengemudi ojol sebagai pelaku usaha mikro yang tergabung dalam koperasi memiliki beberapa keunggulan:
Pertama, posisi tawar yang lebih kuat.
Koperasi memungkinkan pengemudi bernegosiasi secara kolektif dengan platform, menentukan tarif minimum, atau menetapkan syarat kerja yang lebih adil. Ini akan mengurangi ketergantungan pada algoritma platform yang sering tidak transparan.
Kedua, kepastian kerja layak.
Melalui koperasi, pengemudi dapat mengelola pendapatan secara kolektif, menyediakan jaminan sosial (misalnya, asuransi kesehatan atau dana pensiun), dan berbagi biaya operasional, seperti perawatan kendaraan.
Ketiga, kemandirian ekonomi.
Koperasi dapat mengembangkan platform alternatif atau menjalin kemitraan bisnis dengan platform besar, memberikan pengemudi kontrol lebih besar atas pekerjaan mereka.
Keempat, sesuai kondisi lokal.
Di Indonesia, koperasi adalah model usaha yang sudah dikenal dan didukung oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 1992. Ini memungkinkan integrasi dengan kebijakan nasional tanpa menunggu finalisasi konvensi ILO pada 2026.
Contoh keberhasilan model koperasi dapat dilihat di negara lain, seperti Smart Cooperative di Belgia, yang memungkinkan pekerja platform mengelola pekerjaan mereka secara kolektif, atau platform milik pekerja seperti Up & Go di Amerika Serikat. Di Indonesia, inisiatif seperti Koperasi Ojol Indonesia menunjukkan potensi, meskipun masih terbatas pada skala kecil dan keterbatasan dukungan kelembagaan.
Meski demikian, pendekatan koperasi menghadapi beberapa tantangan, seperti masalah literasi pemahaman terhadap koperasi, serta kapasitas SDM. Banyak pengemudi tidak memiliki literasi bisnis atau akses ke pelatihan untuk mengelola koperasi secara efektif, juga adanya keterbatasan modal dan dukungan kelembagaan.
Selain itu, ide koperasi bisa saja menghadapi resistensi dari platform yang mungkin menentang model ini karena dapat mengurangi kendali mereka atas pengemudi dan meningkatkan biaya operasional. Dan yang tak kalah penting adalah regulasi nasional saat ini belum sepenuhnya mendukung koperasi sebagai model utama untuk pekerja platform, sehingga memerlukan reformasi kebijakan.
Usulan penyusunan regulasi di Indonesia
Untuk mengatasi bias dalam pendekatan ILO dan memanfaatkan potensi koperasi, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan hibrid yang menggabungkan perlindungan pekerja dengan pemberdayaan sebagai pelaku usaha usulan mikro. Berikut adalah konkret sebagai masukan untuk regulasi nasional:
Pertama, regulasi hibrid untuk status pengemudi.
Tetapkan pengemudi ojol sebagai pekerja platform untuk memastikan hak dasar, seperti upah minimum, jaminan sosial (melalui BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan), dan perlindungan terhadap manajemen algoritma yang tidak adil, sesuai dengan draf konvensi ILO. Namun di sisi lain yang harus dilakukan adalah juga mengakui pengemudi sebagai pelaku usaha mikro dalam konteks tertentu, terutama jika mereka tergabung dalam koperasi, untuk memberikan fleksibilitas dan otonomi ekonomi.
Kedua, dukungan untuk koperasi pengemudi.
Berikan insentif dari pemerintah, seperti pelatihan manajemen, akses ke kredit mikro, dan dukungan teknologi, untuk membentuk dan memperkuat koperasi pengemudi ojol. Dorong kemitraan antara koperasi dan platform besar melalui regulasi yang mewajibkan platform untuk bernegosiasi dan berkolaborasi bisnis dengan entitas ekonomi kolektif pengemudi (koperasi). Jika platform aplikasi yang sudah ada tidak bersedia, maka perlu dikembangkan platform digital milik koperasi dengan dukungan Kementerian Koperasi dan Kementerian UMKM, jika perlu menggunakan teknologi open-source untuk mengurangi biaya.
Ketiga, transparansi dan keadilan algoritma.
Wajibkan platform untuk memberikan transparansi penuh tentang algoritma yang mengatur alokasi pesanan, tarif, dan penilaian kinerja, sebagaimana diusulkan dalam konvensi ILO.
Sediakan mekanisme banding berbasis manusia (human oversight) untuk keputusan algoritma yang merugikan pengemudi, dengan melibatkan perwakilan koperasi dalam proses pengaduan.
Keempat, percepatan regulasi nasional.
Jangan menunggu finalisasi konvensi ILO pada 2026. Kementerian Ketenagakerjaan dapat segera menyusun Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur pekerja platform, dengan memasukkan model koperasi sebagai salah satu solusi.
Libatkan serikat pekerja, koperasi, dan asosiasi pengemudi dalam penyusunan regulasi untuk memastikan pendekatan yang inklusif dan berbasis kebutuhan lokal.
Kelima, membuat pilot project koperasi pengemudi ojol.
Hal ini bisa dilakukan dengan meluncurkan proyek percontohan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung untuk membentuk koperasi pengemudi ojol yang didukung oleh pemerintah dan sektor swasta. Langkah ini juga harus diikuti dengan evaluasi dampak proyek ini terhadap pendapatan, kondisi kerja, dan posisi tawar pengemudi, sebagai dasar untuk perluasan ke skala nasional.