Pada 2009, Malaysia meluncurkan 1Malaysia Development Berhad (1MDB) dengan ambisi besar menjadikan negara itu pusat investasi global. Dana negara ini digadang-gadang akan membawa Malaysia ke level berikutnya dalam dunia keuangan, dengan proyek infrastruktur mewah dan investasi strategis di dalam maupun luar negeri.
Tapi alih-alih membawa Malaysia ke puncak, 1MDB malah menjadi skandal finansial terbesar dalam sejarah negara itu. Miliaran dolar yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru menguap ke rekening pribadi, dipakai untuk membeli properti mewah, jet pribadi, perhiasan berlian, dan bahkan membiayai produksi film Hollywood seperti The Wolf of Wall Street.
Yang lebih mengejutkan lagi, skandal ini melibatkan pejabat tinggi negara, termasuk mantan Perdana Menteri Najib Razak. Dengan campur tangan sistem politik yang penuh patronase dan kontrol ketat atas institusi negara, 1MDB dikelola dengan minim transparansi, memungkinkan korupsi berskala raksasa terjadi di depan mata.
Mengapa 1MDB dibentuk?
1MDB awalnya merupakan kelanjutan dari Terengganu Investment Authority (TIA), sebuah dana investasi Negara Bagian Terengganu yang bertujuan mengelola pendapatan dari minyak dan gas. Namun, begitu diambil alih oleh pemerintah pusat dan diubah menjadi 1MDB, tujuannya berkembang menjadi proyek nasional dengan fokus yang lebih luas:
Pertama, meningkatkan investasi asing dengan menjalin kemitraan dengan investor global.
Kedua, mengembangkan sektor energi dengan mengakuisisi perusahaan energi lokal dan asing.
Ketiga, membangun infrastruktur besar, seperti proyek properti Tun Razak Exchange (TRX) dan Bandar Malaysia.
Untuk mendanai ambisi ini, 1MDB menerbitkan obligasi besar-besaran, mengumpulkan miliaran dolar dari investor internasional, dengan jaminan dari pemerintah Malaysia.
Namun, dalam waktu singkat, utang 1MDB membengkak hingga lebih dari USD 12 miliar (Rp 180 triliun). Alih-alih masuk ke proyek-proyek strategis, uang tersebut justru hilang dalam transaksi yang mencurigakan.
Mengapa 1MDB gagal?
1MDB bukan sekadar kegagalan bisnis—ini adalah kegagalan sistemik yang melibatkan politik, keuangan, dan lemahnya pengawasan negara. Beberapa faktor utama yang menyebabkan kehancuran 1MDB adalah:
Pertama, korupsi dan manipulasi di tingkat tertinggi.
Sejak awal, 1MDB tidak dijalankan dengan transparansi yang memadai. Laporan keuangan yang diubah-ubah, transfer dana mencurigakan ke rekening pribadi, dan keterlibatan perusahaan-perusahaan cangkang menunjukkan adanya niat buruk sejak awal.
Laporan dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) mengungkap bahwa lebih dari USD 4,5 miliar (Rp 67 triliun) telah disalahgunakan dari 1MDB. Dana ini dialihkan ke rekening pribadi, digunakan untuk gaya hidup mewah, hingga didistribusikan ke berbagai negara untuk dicuci dan disembunyikan.
Kedua, peran Jho Low dan jaringannya
Dalam setiap skandal keuangan besar, selalu ada tokoh kunci yang mengatur permainan. Jho Low, seorang pengusaha muda Malaysia yang awalnya tak dikenal, muncul sebagai figur sentral dalam skandal ini.
Low menggunakan jaringan globalnya untuk mencuci uang 1MDB lewat perusahaan cangkang yang tersebar di Swiss, Hong Kong, Uni Emirat Arab, dan Kepulauan Karibia. Dia juga menggunakan rekening bank di berbagai negara untuk memindahkan dana tanpa terdeteksi.
Uang hasil korupsi ini kemudian dihabiskan untuk membeli aset mewah: properti di New York, Los Angeles dan London senilai ratusan juta dolar; kapal pesiar seharga USD 250 juta bernama Equanimity, yang kemudian disita oleh pemerintah Malaysia; lukisan Picasso dan Monet yang nilainya mencapai puluhan juta dolar.
Ketiga, kegagalan sistem pengawasan
Salah satu alasan utama mengapa skandal 1MDB bisa terjadi adalah lemahnya pengawasan. Lembaga keuangan yang seharusnya mengontrol dana negara justru menjadi alat politik.
Bank Negara Malaysia (bank sentral) dan Komisi Anti-Korupsi Malaysia (MACC) diduga ditekan untuk menutup mata terhadap penyimpangan dana.
Auditor negara dan jaksa agung yang mencoba mengusut kasus ini diberhentikan atau diganti dengan orang-orang yang lebih loyal kepada pemerintah.
Media yang memberitakan skandal ini ditekan, sementara beberapa jurnalis bahkan diancam atau dipaksa keluar negeri.
Tanpa pengawasan yang ketat, 1MDB menjadi ladang korupsi bagi segelintir elite politik dan bisnis.
Keempat, sistem politik yang mendukung patronase dan nepotisme
Skandal 1MDB tidak bisa dilepaskan dari sistem politik Malaysia yang saat itu didominasi oleh UMNO, partai yang berkuasa selama lebih dari 60 tahun.
Najib Razak, yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri, memiliki kontrol penuh atas 1MDB. Ia juga menjabat sebagai menteri keuangan, sehingga hampir tidak ada batasan atas kekuasaannya dalam pengelolaan dana negara.
Sistem politik Malaysia berbasis patronase, di mana elite politik menggunakan dana publik untuk memperkaya diri sendiri dan membangun loyalitas di dalam partai. 1MDB menjadi alat bagi pemerintah untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan.
Ketika skandal ini mulai terungkap, Najib berusaha mati-matian untuk menutupinya. Ia mengganti jaksa agung, membatasi laporan media, dan bahkan memecat wakil perdana menteri yang mengkritiknya. Namun, semakin banyak bukti yang muncul, semakin sulit baginya untuk mempertahankan kebohongan.
Akhir dari 1MDB: skandal terbesar dalam sejarah Malaysia
Tahun 2018, skandal 1MDB memicu kemarahan rakyat Malaysia. Dalam pemilu yang mengejutkan, UMNO kehilangan kekuasaan untuk pertama kalinya dalam sejarah, dan Najib Razak dikalahkan oleh Mahathir Mohamad, yang berjanji mengusut skandal ini hingga tuntas.
Tak lama setelah pemilu, Najib ditangkap dan diadili. Pada 2020, ia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda lebih dari 200 juta ringgit atas kasus korupsi terkait 1MDB.
Namun, Jho Low berhasil kabur sebelum semuanya terungkap. Hingga kini, Jho Low yang masih buron, diduga bersembunyi di Tiongkok atau Timur Tengah. Pemerintah Malaysia terus berusaha memulihkan dana yang dicuri, tetapi masih banyak uang yang belum ditemukan.
Pelajaran dari tragedi 1MDB
Kasus 1MDB adalah peringatan bagi dunia tentang bahaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini bukan hanya soal uang yang hilang, tetapi juga soal bagaimana sistem politik yang tidak transparan bisa menciptakan bencana keuangan nasional.
Malaysia kini berusaha membangun kembali kepercayaan publik dan menarik investor, tetapi luka yang ditinggalkan 1MDB masih terasa. Utang raksasa yang ditinggalkan skandal ini masih harus dibayar oleh rakyat Malaysia selama bertahun-tahun ke depan.