Ketuhanan Yang Maha Esa, Napas Islam dalam Perjuangan Tegaknya Pancasila

Buku berjudul “Risalah Urat Tunggang Pancasila” ini merupakan salah satu karya klasik yang sangat penting dalam sejarah pergulatan wacana ideologi Pancasila di Indonesia.

Hamka, salah seorang tokoh intelektual muslim yang paling berpengaruh itu memulainya dengan penegasan urutan sila KETUHANAN YANG MAHA ESA dengan penulisan huruf besar, sebelum sila lainnya yang ditulis wajar: Peri-kemanusiaan; Keadilan Sosial; Kedaulatan Rakyat; dan Kebangsaan (hal.4).

Penyusunan risalah ini sendiri dibuat Hamka untuk merespons dorongan kaum pergerakan Islam di Tanah Air yang merasakan sentimen atas pidato Presiden Sukarno saat peringatan Isra Miraj di Istana Negara, Jakarta pada 8 Mei 1951. Dalam momentum itu, Bung Karno, sapaan akrabnya, menyerukan kepada kaum muslimin pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya agar berjuang menegakkan negara dalam semangat persatuan yang kokoh dan tidak bercerai-berai serta menjadikan Pancasila sebagai dasar perjuangannya.

Menurut Bung Karno, saat itu masih terdapat ragam golongan pergerakan nasional yang berjuang masing-masing dan saling memunggungi, lantaran memakai dasar Keadilan Sosial saja, atau memakai Ketuhanan Yang Maha Esa saja, dan seterusnya. Padahal semestinya Pancasila itu diperjuangkan ibarat rukun Islam, yang tak boleh satu mengabaikan lainnya dan tak bisa dikerjakan secara parsial. Melainkan harus serentak keseluruhannya patut diposisikan sebagai dasar perjuangan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yang seutuhnya.

Asas tauhid dalam Pancasila

Hamka secara objektif paham betul maksud pidato Bung Karno, bahwa tak ada maksud untuk menyinggung kaum pergerakan berlatar agamis, baik kalangan Islam, Protestan, maupun Katolik. Ia kemudian merasa tergerak untuk menjernihkan pandangan kaum pergerakan Islam di Tanah Air tentang hal ihwal Pancasila itu. Menurut Hamka, menjadi wajar jika kaum muslimin mendasari perjuangannya dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja, karena selaras dengan asas tauhid. Hal ini dimaknai sebagai pengakuan atas satu kepercayaan kesatuan Allah, baik dalam ketuhanannya, perbuatannya, maupun kekuasaannya.

Ketuhanan Yang Maha Esa mencakup tiga perkara kepada yang satu, yakni manusia, seisi kehidupan manusia, dan seluruh semesta alam, baik yang bernyawa maupun tidak, merupakan satu kesatuan makhluk, yang diciptakan oleh Sang Khalik. Tuhan Yang Maha Esa atau Rabbun itu senantiasa memelihara dan menjaga tiap-tiap makhluknya dengan sifat rahman dan rahim, pengasih dan penyayang, sehingga qudrat dan iradatNya lah yang berlaku dalam pertalian makhluk dengan Tuhan.

Judul: Urat tunggang Pantjasila
Pengarang: Hamka
Edisi: Tjetakan Kedua, 1952, Ramadhan (1371)
Penerbit: Djakarta : Pustaka “Keluarga”, 1952
Deskripsi buku: 38 halaman ;15 cm

Bagi kaum pergerakan Islam, seluruh hidup ini berlangsung atas kehendak Allah. Inilah rahmat Ilahi itu, dan berpegang pada prinsip berasa rahimlah terhadap sesuatu di bumi agar dirahimi pula oleh yang di langit, karena setiap insan diciptakan untuk mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa. Tampak jelas betapa besarnya rahmat Ilahi itu atas manusia dan semesta alam beserta isinya, sehingga tak ada kesempurnaan makhluk, keindahan alam, keteraturan hidup dan kepastian jalan tanpaNya.

Karenanya, seorang muslim selalu mempertinggi nilai hidupnya dengan beribadat dan berbakti kepada Allah. Ibadah sendiri tak sekadar terpaku pada ritual semata, melainkan seluruh segi kehidupan, karena hubungan manusia dan Tuhan tidaklah berjarak dan berperantara. Keyakinan pada Ketuhanan Yang Maha Esa itu kemudian diimani sebagai sabilillah atau jalan Tuhan. Maka tak heran jika dijumpai suatu perkara yang dirasa tak selaras dengan jalan Ilahi itu, kaum muslimin kerap meluap naik semangatnya untuk bereaksi, sebab hidupnya adalah bakti dan matinya itu syahid.

Keteguhan pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu dalam rentang perjalanan sejarah bangsa ini telah mendorong lahirnya tokoh-tokoh besar yang merintis perjuangan kemerdekaan dari kondisi keterjajahan bangsa asing. Ia menumbuhkan nyala jiwa yang berapi-api pada sosok heroik seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, hingga Teuku Cik Ditiro. Bahkan pada masa meletusnya revolusi kemerdekaan Indonesia, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi satu-satunya tempat bergantung bagi hati Bung Karno dan Bung Hatta, para pemimpin maupun seluruh rakyat dalam perjuangan yang penuh pengorbanan.

Pada masa-masa genting dalam menghadapi berbagai macam halang rintang perjuangan kemerdekaan, baik dari masanya kolonial Belanda sampai bengisnya fasisme Jepang, dan ditangkap serta diasingkannya pucuk kepemimpinan nasional Bung Karno dan Bung Hatta, perjuangan seluruh rakyat tidaklah kunjung padam dan mereda. Hal itu semata-mata karena bukan kepada Sukarno atau Muhammad Hatta atau manusia pemimpin lainnya yang mereka jadikan sandaran, melainkan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang menjadi bekal ketulusan dan kokohnya mentalitas manusia Indonesia untuk merebut kemerdekaan bangsanya.

Urat Tunggang Pancasila

Hamka kemudian menegaskan bahwa lantaran sepenuh hati berjuang dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dengan sendirinya akan dimiliki pula sila Peri-kemanusiaan. Sebab, manusia dan kemanusiaan yang setinggi-tingginya, pada keyakinan dan kepercayaannya ialah yang paling dekat hubungannya dengan Tuhan. Sabda Tuhan sangatlah jelas bahwa kemanusiaan itu satu, sebagaimana hadis rasul perihal yang sebaik-baiknya manusia ialah yang banyak manfaatnya kepada sesama.

Peri-kemanusiaan itu sendiri bukanlah barang baru dibuat, direncanakan, atau difilsafatkan, melainkan bagian tak terpisahkan dari keimanan yang tumbuh langsung dari sila paling pokok Ketuhanan Yang Maha Esa itu apabila ada yang melanggar batas perikemanusiaan, ia tidaklah bertanggungjawab di hadapan sesama manusia, bukan pula di hadapan Bung Karno yang dikenal sebagai pelopor filsafat Pancasila, melainkan di hadapan Tuhan atas apa yang disebut dosa. Tidaklah ada kelebihan seseorang manusia daripada manusia yang lainnya, karena yang mulia dipandang Allah hanyalah ia yang bertakwa kepadaNya.

Allah dalam firman-firmanNya senantiasa memerintahkan umat Islam untuk memelihara anak yatim, mengurus fakir miskin, memperhatikan kesejahteraan tetangganya, saling tolong menolong dan bantu-membantu, menunaikan zakat dan bersedekah, serta menghindari sifat riya kesombongan. Tidak satu pun celah untuk bisa diragukan bahwa perintah Tuhan itu tak lain untuk mewujudkan sila Keadilan Sosial. Maka barang siapa pun yang percaya dan berpegang pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, ia akan menuntut keadilan sosial. Jika tidak, berarti ia membohongi agamanya, menyia-nyiakan salatnya, dan dijanjikan neraka wail terhadapnya.

Bagi mereka yang menjunjung dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, tak ada manusia yang diberi hak untuk menguasai sesamanya. Nilai yang dianut melampaui nilai-nilai demokrasi ala Barat, dan di sinilah letaknya sila Kedaulatan Rakyat. Prinsipnya adalah kepercayaan bahwa manusia pemimpin adalah khalifah Tuhan di bumi, tetapi kepemimpinan itu diberikan karena adanya kehendak rakyat yang sesungguhnya berdaulat dan berkuasa. Amanat kekuasaan yang diridhoi Allah ialah yang dihasilkan melalui permusyawaratan rakyat untuk memilih bentuk pemerintahan menurut konteks tempat maupun zamannya.

Relasi kekuasaan yang disyaratkan adalah agar pemimpin yang dipercayakan rakyat itu diwajibkan untuk menjalankan keadilan, sementara rakyat pemberi kekuasaan harus mengawal dan menjaganya agar tak keluar dari jalan keadilan itu. Suatu bangsa harus memegang tiga pokok dari kemerderkaan: 1) Merdeka iradah atau kehendak, untuk senantiasa memperjuangkan yang maaruf atau kebaikan; 2) Merdeka pikiran, untuk senantiasa berani melawan yang munkar atau keburukan; 3) Merdeka jiwa, untuk bebas dari ketakutan apa pun karena perjuangannya hanya dikarenakan kehendak Tuhan.

Selanjutnya sila Kebangsaan yang sesungguhnya paling rentan karena bangsa itu sendiri adalah konsepsi yang abstrak dan bias subjektif. Namun, bagi pemegang dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu, senantiasa meyakini perintah Ilahi sebagaimana terbunyikan dalam Al Quran Surat Al Hujurat Ayat 13:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dengan demikian perihal kebangsaan Indonesia itu dengan segala keanekaragaman suku bangsa yang terkandung di dalamnya mendapatkan jaminan keselamatan dan eksistensinya untuk tumbuh dengan rukun, damai, kokoh, dan adil makmur di negara berjuluk Indonesia ini.

Hamka meyakini apa yang digugat oleh Bung Karno dalam pidatonya itu pada intinya menyasar pada golongan pemeluk agama, baik Islam maupun lainnya yang tidak mengerti hal ihwal perjuangan dan pergerakan nasional, yang abai dan tidak pernah terlibat dengan sungguh-sungguh dalam upaya menegakkan negara Pancasila ini. Karenanya Hamka turut menegaskan agar tiap-tiap kelompok agamis, khususnya kaum muslimin untuk bergotong royong dalam perjuangan dengan mendasari diri pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai urat tunggangnya Pancasila itu, maka dijamin terpeliharalah keempat sila yang lainnya.

Akhir kata, meski ditulis lebih dari tujuh puluh tahun lalu, risalah Urat Tunggang Pancasila karya Hamka atau yang bernama lengkap Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, gelar Datuk Indomo serta populer dengan nama penanya, Buya Hamka (17 Februari 1908–24 Juli 1984) ini masih sangat relevan dan kontekstual untuk dibaca oleh generasi muda sekarang ini agar pemahamannya akan ideologi Pancasila bisa terbangun secara holistik. Tetapi tentunya perlu diiringii pula dengan memperkaya asupan bacaan pemaknaan Pancasila dari tokoh bangsa yang lainnya.

Salam Pancasila!

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Evolusi Sepatu Aktivis, dari Boots hingga Sneakers

Evolusi Sepatu Aktivis, dari Boots hingga Sneakers

Sepatu yang dipakai para aktivis bukan sekadar soal gaya, tetapi juga terkait

Next
Arti Penting Deklarasi Djuanda bagi Kedaulatan Indonesia

Arti Penting Deklarasi Djuanda bagi Kedaulatan Indonesia

13 Desember 1957, 67 tahun lalu, Indonesia membuat sejarah lewat Deklarasi

You May Also Like
Total
0
Share