Pengesahan Undang-Undang TNI yang membuka ruang lebih besar bagi peran militer di luar fungsi pertahanan, memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah potensi kembalinya dwifungsi yang tidak hanya berdampak pada politik dan pemerintahan, tetapi juga terhadap kebebasan berekspresi, termasuk di dunia musik. Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam kehidupan sipil kerap berujung pada represi terhadap ekspresi seni yang dianggap berseberangan dengan kepentingan negara.
Di era Orde Baru, musik menjadi salah satu medium yang dikendalikan oleh negara dengan ketat. Musisi yang menyuarakan kritik sosial sering kali mengalami sensor, pembubaran konser, atau bahkan penangkapan. Kasus yang paling terkenal adalah pengawasan terhadap Iwan Fals dan grup Swami yang sering membawakan lagu-lagu dengan lirik tajam terhadap penguasa. Bahkan, pada 1984, album “Sarjana Muda” sempat dilarang beredar karena dianggap mengandung kritik yang terlalu keras.
Fenomena pembungkaman musisi oleh militer bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Latin pada masa kediktatoran militer, musisi Victor Jara dari Chile dibunuh karena lirik-lirik lagunya yang menyuarakan keadilan sosial. Sementara itu, di Myanmar, rezim militer membatasi kebebasan berekspresi seniman dan musisi yang dianggap mengancam stabilitas politik mereka. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa ketika militer memiliki otoritas di luar bidang pertahanan, kebebasan berekspresi sering kali menjadi korban pertama.
Di Indonesia, saat ini, meskipun kita telah memasuki era reformasi, kontrol terhadap musik masih terjadi dalam bentuk lain. Misalnya, dalam konser-konser musik besar, aparat keamanan sering kali melakukan pembatasan terhadap lirik, simbol, dan bahkan aksi panggung yang dianggap “tidak sesuai” dengan norma yang mereka tentukan. Jika keterlibatan militer dalam ranah sipil semakin diperkuat dengan adanya UU TNI yang baru, bukan tidak mungkin represi terhadap kebebasan berekspresi dan bermusik akan semakin ketat.
Salah satu indikasi ke arah tersebut adalah meningkatnya penggunaan pasukan keamanan dalam mengontrol konser dan festival musik. Kasus pembatalan konser Lady Gaga pada 2012 akibat tekanan kelompok konservatif yang mendapat dukungan dari aparat adalah contoh bagaimana ekspresi seni dapat dibungkam dengan alasan “stabilitas sosial.” Dengan kewenangan lebih besar yang diberikan kepada militer, skenario serupa bisa terjadi lebih sering dengan alasan yang lebih politis.
Dalam beberapa tahun terakhir, musisi indie dan kelompok musik yang menyuarakan isu sosial semakin sering menghadapi tantangan dalam mendapatkan izin tampil. Kasus konser band punk Marjinal yang kerap mendapat tekanan dari aparat, atau festival seni yang tiba-tiba dibatalkan karena adanya “pertimbangan keamanan,” menunjukkan bahwa ruang ekspresi semakin menyempit. Dengan UU TNI yang memperluas peran militer dalam kehidupan sipil, represi terhadap musisi kritis bisa meningkat karena adanya justifikasi legal yang lebih kuat.
Tidak hanya dari aspek sensor, tetapi juga dari segi ekonomi, keterlibatan militer dalam bisnis bisa berdampak negatif pada industri musik. Jika militer memiliki akses lebih besar ke sektor-sektor ekonomi, termasuk hiburan, maka ada potensi munculnya praktik monopoli dan kontrol terhadap distribusi musik. Hal ini pernah terjadi di era Orde Baru ketika jaringan bisnis yang terafiliasi dengan militer menguasai berbagai aspek industri, termasuk media dan hiburan.
Pemberian wewenang lebih besar kepada militer dalam urusan sipil hanya akan mempersempit ruang kebebasan berekspresi di Indonesia. Musik sebagai medium kritik sosial bisa menjadi target represi yang lebih besar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Negara seharusnya memastikan bahwa seni tetap menjadi ruang bebas bagi masyarakat untuk berekspresi, bukan sebaliknya, menjadikannya sebagai alat propaganda atau membungkam kritik.
Dengan gelombang penolakan yang luas dari masyarakat sipil terhadap revisi Undang-Undang TNI, penting bagi komunitas seni dan musik untuk turut bersuara. Jika kebebasan musik tidak dilindungi, maka kita tidak hanya kehilangan ekspresi seni, tetapi juga kehilangan salah satu bentuk demokrasi yang paling mendasar: kebebasan berbicara.
Militer seharusnya fokus pada pertahanan negara. Jangan sampai mereka ikut mengekang kebebasan berekspresi, mengawasi panggung musik atau mengontrol lirik lagu. Indonesia telah belajar dari sejarah kelam Orde Baru, dan kita tidak boleh membiarkan sejarah itu terulang kembali. Musisi, penikmat musik, dan masyarakat luas harus bersama-sama menolak segala bentuk pembungkaman ekspresi. Sebab ketika musik dibungkam, bukan hanya suara seniman yang hilang, tetapi juga suara kebebasan itu sendiri.