Asal Usul Slogan “No Taxation Without Representation”

Bayangkan kamu diminta membayar pajak kepada negara, tapi suaramu tak pernah didengar, bahkan pajak itu dipakai secara serampangan oleh pejabat korup. Sudah pasti rasanya enggak adil.

Nah, hal serupa pernah terjadi di Amerika pada abad ke-18, ketika rakyat di koloni merasa diperlakukan semena-mena oleh pemerintah Inggris. Dari sinilah lahir slogan yang terkenal: “No Taxation Without Representation.”

Awal mula slogan legendaris

Slogan ini pertama kali muncul sekitar tahun 1760-an sebagai bentuk protes rakyat di koloni Amerika terhadap kebijakan pajak Inggris. Saat itu, Inggris baru saja memenangkan Perang Tujuh Tahun (1756-1763) melawan Prancis, tetapi mereka kehabisan uang. Untuk menutupi utang perang, Raja George III dan Parlemen Inggris memutuskan mengenakan pajak kepada koloni Amerika.

Tapi masalahnya, meskipun rakyat Amerika harus membayar pajak, mereka sama sekali tidak punya perwakilan di Parlemen Inggris yang bisa membela hak-haknya. Para kolonis merasa ini enggak adil! Jadi, mereka mulai menyuarakan protes dengan slogan “No Taxation Without Representation.” Artinya, mereka menolak membayar pajak kalau mereka tidak diberi hak untuk ikut menentukan kebijakan di pemerintahan.

Pajak yang memicu kemarahan

Pemerintah Inggris enggak main-main dalam menarik pajak dari koloni Amerika. Beberapa kebijakan pajak yang bikin geram antara lain:

Sugar Act (1764) – Pajak atas gula dan barang impor lainnya.

Stamp Act (1765) – Pajak atas segala dokumen resmi, surat kabar, bahkan kartu remi!

Townshend Acts (1767) – Pajak atas barang-barang seperti teh, kaca, dan kertas.

Penduduk Amerika enggak tinggal diam. Mereka mulai melakukan berbagai aksi protes, dari menulis petisi, memboikot barang-barang Inggris, hingga menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. Salah satu peristiwa yang paling terkenal adalah Boston Tea Party (1773), di mana sekelompok kolonis menyamar sebagai penduduk asli Amerika dan membuang teh milik Inggris ke Pelabuhan Boston sebagai bentuk perlawanan.

Dari protes ke revolusi

Protes demi protes terus berlanjut. Inggris merespons dengan tindakan keras, seperti menerapkan Intolerable Acts (1774) yang makin membatasi kebebasan rakyat Amerika. Ini makin memanaskan situasi hingga akhirnya pada 1775, pecah Perang Revolusi Amerika.

Slogan “No Taxation Without Representation” terus menjadi penyemangat bagi para pejuang kemerdekaan. Hingga, pada 4 Juli 1776, koloni Amerika memproklamasikan kemerdekaannya dari Inggris dan membentuk negara baru: Amerika Serikat!

Dampak slogan ini di dunia

Slogan “No Taxation Without Representation” enggak cuma berpengaruh di Amerika, tapi juga di berbagai negara lain yang memperjuangkan hak demokrasi dan keadilan pajak. Bahkan, hingga hari ini, prinsip bahwa setiap warga negara harus punya suara dalam pemerintahan masih menjadi dasar dalam sistem demokrasi modern.

Misalnya, di beberapa negara, orang masih menggunakan slogan ini untuk menuntut hak politik yang lebih baik. Salah satunya di Washington, D.C., yang meskipun penduduknya membayar pajak federal, mereka enggak punya perwakilan suara penuh di Kongres AS. Hal ini sering jadi bahan perdebatan hingga sekarang.

Pelajaran dari sejarah

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah “No Taxation Without Representation”?

Pertama, hak untuk didengar itu penting. Enggak ada yang mau diperlakukan tidak adil tanpa bisa membela diri.

Kedua, protes yang terorganisir bisa membawa perubahan besar. Bayangkan kalau rakyat saat itu hanya diam saja, mungkin Amerika Serikat enggak akan pernah merdeka!

Ketiga, pajak harus disertai tanggung jawab pemerintah. Jika pemerintah ingin menarik pajak, maka rakyat juga harus diberi hak untuk mengawasi bagaimana uang pajak itu digunakan.

Sejarah menunjukkan bahwa suara rakyat punya kekuatan besar. Jadi, kapan pun merasakan ketidakadilan, ingatlah bahwa kamu punya hak untuk menyuarakan pendapat—persis seperti yang dilakukan para kolonis Amerika dulu!

Pelajaran untuk Indonesia

Pelajaran terpenting untuk kita di Indonesia, pajak bukan melulu soal kewajiban, tetapi di baliknya melekat hak. Sebagai pembayar pajak kita punya hak: mulai dari mengetahui penggunaan pajak kita hingga hak bersuara dan didengar dalam pengambilan kebijakan politik.

Hari-hari ini, kita menyaksikan semakin banyak kebijakan yang diputuskan secara top-down, tanpa mempertimbangkan suara protes maupun aspirasi rakyat. Bahkan DPR, yang seharusnya menjadi wakil rakyat, tak ubahnya hanya lembaga stempel pemerintah.

Seperti kasus pahit terbaru: DPR dan pemerintah secara diam-diam membahas RUU TNI di sebuah hotel mewah. Bayangkan, di tengah gembar-gembor efisiensi anggaran, mereka bikin rapat di hotel mewah. Sudah begitu, RUU yang dibahas juga banyak diprotes oleh masyarakat sipil.

Terhadap cara pembuatan kebijakan yang tak mau mendengar suara kita, sudah saatnya kita meneriakkan No Taxation Without Representation. Kita tak akan bayar pajak sampai suara kita didengar, kantor DPR tak lagi dipagari tinggi dan dilapisi beton, dan demonstrasi harus diizinkan di depan Istana Negara. Tak ada pembayaran pajak sebelum pemerintah menciptakan mekanisme konsultatif yang melibatkan rakyat dalam setiap perumusan dan pembuatan undang-undang.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Cara Brasil Berdayakan Pemulung Jadi Pahlawan Lingkungan

Cara Brasil Berdayakan Pemulung Jadi Pahlawan Lingkungan

Tanpa mereka, pengelolaan sampah di Brasil bisa berantakan

Next
Hak Royalti Pencipta Lagu: Regulasi dan Ketidakadilan Sistemik

Hak Royalti Pencipta Lagu: Regulasi dan Ketidakadilan Sistemik

Seharusnya, era digital membuka peluang lebih luas bagi para musisi untuk

You May Also Like
Total
0
Share