Di banyak perusahaan dan institusi, batasan usia dalam rekrutmen masih menjadi praktik umum yang secara tidak adil menyingkirkan pelamar yang sebenarnya kompeten. Perempuan, khususnya, menjadi kelompok yang paling terdampak.
Di usia tertentu, mereka sering dianggap tidak lagi produktif, sulit beradaptasi dengan perubahan teknologi, atau memiliki beban domestik yang mengganggu kinerja. Padahal, usia tidak bisa dijadikan indikator mutlak atas kapabilitas seseorang.
Salah satu alasan utama diskriminasi usia terjadi adalah persepsi bahwa tenaga kerja yang lebih muda lebih dinamis dan lebih murah untuk dipekerjakan. Banyak perusahaan menganggap bahwa pekerja berusia di atas 35 atau 40 tahun kurang fleksibel, sulit menerima perubahan, dan membutuhkan gaji lebih tinggi. Perspektif ini bukan hanya keliru, tetapi juga mencerminkan cara pandang yang sempit dalam melihat potensi sumber daya manusia.
Selain itu, bias gender memperparah diskriminasi ini. Perempuan yang sudah berkeluarga atau memiliki anak sering dianggap kurang fokus dan kurang bisa berkomitmen pada pekerjaan. Banyak perempuan yang mengalami kesulitan kembali ke dunia kerja setelah cuti melahirkan atau mengurus keluarga, hanya karena usia mereka sudah melewati batas yang ditentukan oleh perusahaan. Ini menunjukkan bahwa diskriminasi usia tidak berdiri sendiri, tetapi juga berkaitan erat dengan diskriminasi gender.
Dampak dari pembatasan usia ini sangat luas. Banyak individu yang memiliki pengalaman dan keterampilan tinggi akhirnya tersisih dari pasar kerja hanya karena mereka tidak masuk dalam kategori “ideal” versi perusahaan. Akibatnya, banyak pekerja yang harus beralih ke sektor informal, menerima pekerjaan di bawah kualifikasi mereka, atau bahkan menganggur. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberagaman usia dalam tim kerja justru mampu meningkatkan produktivitas dan inovasi. Hal ini dimungkinkan karena terjadi perpaduan antara pengalaman dan energi baru.
Beberapa negara dan perusahaan telah menunjukkan bahwa kebijakan rekrutmen yang inklusif terhadap usia dapat memberikan manfaat besar. Di Jepang, misalnya, banyak perusahaan mulai membuka peluang bagi pekerja berusia di atas 40 atau bahkan 50 tahun karena menyadari tenaga kerja berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal loyalitas, etika kerja, dan keahlian khusus. Di Indonesia sendiri, ada beberapa startup dan perusahaan teknologi yang mulai menerapkan kebijakan rekrutmen berbasis kompetensi, bukan usia, dengan hasil yang sangat positif.
Untuk mengatasi masalah ini, regulasi ketenagakerjaan harus diperkuat agar melarang eksplisit pembatasan usia dalam rekrutmen. Pemerintah perlu mengawasi praktik diskriminatif ini dan memberikan insentif bagi perusahaan yang menerapkan kebijakan inklusif. Selain itu, perusahaan harus mengubah paradigma dalam menilai kandidat. Jangan hanya melihat usia, tapi fokus harus diberikan pada keterampilan, pengalaman, dan kemampuan adaptasi.
Selain regulasi dan kebijakan perusahaan, perubahan budaya kerja juga diperlukan. Membangun lingkungan kerja yang menghargai keberagaman usia, menyediakan program pelatihan bagi pekerja senior agar tetap relevan dengan perkembangan zaman, serta menciptakan budaya mentoring dua arah antara pekerja muda dan senior bisa menjadi solusi konkret. Dengan demikian, tenaga kerja dari berbagai usia bisa saling belajar dan mendukung satu sama lain.
Kita perlu meninggalkan praktik rekrutmen yang diskriminatif dan beralih ke sistem yang lebih adil dan inklusif. Usia bukanlah penghalang untuk berkarya, dan perusahaan yang mengakui hal ini akan mendapatkan manfaat dari tenaga kerja yang lebih beragam, stabil, dan produktif. Menilai seseorang dari angkanya di KTP adalah bentuk diskriminasi yang harus segera dihapus. Yang lebih penting adalah kompetensi, dedikasi, dan nilai yang bisa mereka berikan bagi organisasi.