Selama ini, diskursus publik dan perdebatan kebijakan mengenai ketimpangan sering kali terjebak dalam satu dimensi tunggal: ketimpangan ekonomi.
Perbincangan didominasi oleh data mengenai distribusi kekayaan, yang biasanya digambarkan dengan persentase populasi terkaya menguasai porsi terbesar kue ekonomi nasional, sementara kelompok termiskin hanya mendapatkan remahannya. Indikator lain seperti koefisien Gini, yang mengukur kesenjangan pengeluaran per kapita, atau data mengenai jurang upah antarprofesi dan gender, juga kerap menjadi sorotan utama.
Tak salah, namun pandangan ini jelas tidak cukup untuk memotret kompleksitas masalah yang sesungguhnya.
Göran Therborn, seorang profesor sosiologi emeritus dari Cambridge University dan pemikir Marxis terkemuka, menawarkan sebuah kerangka kerja yang jauh lebih komprehensif. Dalam karyanya yang monumental, The Killing Fields of Inequality (2013), Therborn berhasil mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi dari ketimpangan.
Baginya, ketimpangan bukan sekadar soal uang atau materi, tetapi menyangkut persoalan yang lebih mendasar: peluang untuk hidup, kebebasan untuk menentukan jalan hidup, hingga pengakuan sebagai manusia yang utuh dan bermartabat.

Perspektif baru
Berakar pada tradisi sosiologi Marxis, Therborn secara tegas menolak gagasan bahwa ketimpangan adalah fenomena “alami” atau konsekuensi tak terhindarkan dari perbedaan bakat dan usaha individu. Sebaliknya, ia berargumen bahwa ketimpangan adalah sebuah produk yang dibentuk secara historis dan direproduksi secara sosial. Artinya, struktur masyarakat, kebijakan yang dibuat, dan norma yang berlakulah yang menciptakan dan melanggengkan kesenjangan.
Ia menghubungkan ketimpangan dengan faktor-faktor fundamental yang menentukan sejauh mana potensi seorang manusia dapat berkembang dan terealisasi. Ini adalah pergeseran dari sekadar melihat “apa yang dimiliki orang” (kekayaan) menjadi “apa yang bisa dilakukan dan menjadi apa seseorang” (kapabilitas dan martabat).
Tiga jenis ketimpangan
Therborn membedah ketimpangan ke dalam tiga arena kehidupan yang saling terkait, namun berbeda secara analitis.
Dimensi pertama ini adalah ketimpangan vital, yang merupakan ketimpangan paling mendasar karena menyangkut hidup dan mati. Ketimpangan vital adalah tentang peluang hidup yang tidak setara, yang termanifestasi dalam perbedaan harapan hidup, tingkat kematian, dan kondisi kesehatan secara umum. Indikator yang digunakan Therborn di sini sangat konkret: angka harapan hidup, angka kematian bayi, prevalensi gizi buruk (stunting), hingga akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat kesenjangan harapan hidup hingga 18 tahun antara negara berpendapatan tinggi dan rendah.
Di Indonesia, kesenjangan ini nyata. Sebagai contoh, di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya perbedaan angka harapan hidup (AHH) antarprovinsi. Seseorang yang lahir di Yogyakarta memiliki harapan hidup hingga 75 tahun, sementara mereka yang lahir di beberapa provinsi di Indonesia timur memiliki harapan hidup yang lebih rendah. Ini bukan takdir, melainkan cerminan dari ketimpangan akses terhadap gizi, sanitasi, dan fasilitas kesehatan.
Therborn mencontohkan bahwa jutaan anak dari keluarga miskin meninggal sebelum ulang tahun kelima mereka akibat penyakit yang sebenarnya bisa dicegah, sebuah tragedi yang merupakan buah dari ketimpangan vital.
Dimensi kedua adalah ketimpangan eksistensial, yang menyangkut penolakan atau pengakuan yang tidak setara terhadap martabat dan otonomi individu. Ini adalah tentang perlakuan berbeda yang menghalangi seseorang untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial sebagai manusia yang dihargai. Bentuknya sangat beragam, mulai dari diskriminasi subtil hingga penindasan sistematis.
Contoh nyata dari ketimpangan ini adalah rasisme, seksisme, diskriminasi berdasarkan orientasi seksual, agama, atau status sebagai imigran dan kelompok minoritas lainnya. Lebih jauh, ketimpangan eksistensial juga terwujud dalam bentuk pengekangan kebebasan fundamental, seperti hak untuk berekspresi, berserikat, dan menyuarakan pendapat.
Ketika warga negara merasa takut untuk mengkritik pemerintah atau memperjuangkan haknya, di situlah ketimpangan eksistensial sedang bekerja. Sistem sosial yang secara kaku mengelompokkan masyarakat berdasarkan hierarki, seperti sistem kasta, feodalisme, atau rezim apartheid, adalah bentuk ekstrem dari pelembagaan ketimpangan ini.
Ketiga adalah ketimpangan sumber daya, yang berkaitan dengan perbedaan akses terhadap sarana yang diperlukan untuk pengembangan dan realisasi potensi diri secara efektif. Ia membaginya menjadi dua kategori:
Satu, ketimpangan kesempatan. Ini bukan sekadar soal uang, tetapi akses terhadap pendidikan berkualitas, pekerjaan yang layak, peluang pengembangan karier, serta jejaring sosial (social networks) yang dapat membuka pintu kesempatan. Ketika anak dari keluarga miskin tidak bisa mengakses universitas unggulan karena biaya atau kurangnya bimbingan, itu adalah wujud dari ketimpangan kesempatan.
Dua, ketimpangan hasil atau kekayaan. Ini adalah bentuk ketimpangan yang paling kasat mata, yaitu perbedaan dalam distribusi pendapatan dan akumulasi kekayaan. Data dari lembaga seperti Oxfam secara rutin menunjukkan bagaimana segelintir orang terkaya di dunia memiliki kekayaan setara dengan miliaran orang termiskin. Ketimpangan inilah yang sering menjadi fokus utama, meski sesungguhnya ia sering kali merupakan hasil akhir dari dua ketimpangan lainnya.
Mekanisme pelanggeng ketimpangan
Therborn tidak berhenti pada identifikasi jenis-jenis ketimpangan. Ia juga menguraikan mekanisme sosial yang menyebabkannya:
Yang pertama, eksklusi. Ini adalah praktik yang secara aktif menghalangi kelompok tertentu untuk mengakses sumber daya. Contohnya adalah kebijakan rekrutmen yang bias gender atau tes masuk sekolah yang tidak adil bagi siswa dari latar belakang ekonomi lemah.
Yang kedua, hierarki sosial, yaitu pengorganisasian masyarakat secara bertingkat yang melegitimasi superioritas satu kelompok atas kelompok lain, seperti dalam sistem apartheid atau feodalisme.
Yang ketiga, eksploitasi. Ini bermakna pengambilan keuntungan atau nilai lebih dari hasil kerja orang lain secara tidak adil. Ini adalah inti dari kritik kapitalisme, di mana pemilik modal dianggap mengambil porsi keuntungan yang tidak proporsional dari kerja para buruh.
Keempat adalah distansi (distanciation), yaitu proses di mana sistem sosial dan ekonomi menciptakan “pemenang” dan “pecundang” sejak awal. Globalisasi, misalnya, menciptakan peluang besar bagi mereka yang memiliki modal dan pendidikan tinggi, tetapi pada saat yang sama meminggirkan pekerja tidak terampil yang industrinya tergeser. Setiap orang tidak memulai dari garis awal yang sama.
Dengan memahami ketiga dimensi dan mekanisme ini, kita dapat melihat bahwa mengatasi ketimpangan membutuhkan solusi yang jauh lebih luas daripada sekadar program bantuan sosial atau reformasi pajak. Ia menuntut intervensi di bidang kesehatan, penegakan hukum anti-diskriminasi, reformasi pendidikan, dan perlindungan hak-hak sipil.
Kerangka kerja Therborn mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan ketimpangan adalah perjuangan untuk kehidupan yang lebih sehat, kebebasan yang lebih utuh, dan martabat yang setara bagi semua manusia.