Sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi, yang sekarang ini ribut tak berujung, sebetulnya punya tujuan mulia: pemerataan akses dan meningkatnya kualitas pendidikan. Tidak ada lagi segregasi antara unggulan vs non-unggulan, sekolah elit vs kaum miskin, dan lain-lain.
Sayangnya, ketimpangan infrastruktur dan kualitas pendidikan sudah terlanjur sangat lebar, sehingga implementasi program ini tertatih-tatih di lapangan. Pada praktiknya, PPDB zonasi dicemari oleh banyak kecurangan, mulai dari pemalsuan kartu keluarga di jalur zonasi, praktik jual-beli kursi, dan titipan orang besar.
Untuk diketahui, konsep sekolah berbasis zonasi demi pemerataan akses dan kualitas pendidikan, pernah juga dilakukan di Chile pada 1970-an. Tepatnya di bawah pemerintahan Salvador Allende, seorang dokter kiri yang terpilih menjadi presiden Chile melalui jalur pemilu yang demokratis.
Sebelum Allende berkuasa, sekolah-sekolah di Chile sangat timpang dan segregatif. Sekolah elit, dengan fasilitas modern dan serba lengkap, hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya dan anak pejabat. Sementara orang-orang miskin harus bersekolah di sekolah yang minim fasilitas. Tak sedikit yang menyerupai gubuk kumuh, yang hanya punya meja lapuk, bangku, dan papan tulis sebagai sarana pembelajaran.
Tahun 1971, Salvador Allende memenangi pemilu. Visi besarnya adalah mewujudkan sosialisme dengan jalan demokratis. Termasuk membenahi sektor pendidikan agar senapas dan seiring-sejalan dengan cita-cita sosialisme.
Hal pertama yang dilakukan Allende untuk merevolusi sektor pendidikan Chile adalah pemerataan akses. Dia langsung membuat kebijakan untuk menerebos beragam segregasi itu. Maka diluncurkanlah program yang disebut Escuela Nacional Unificada (ENU) atau Sekolah Terintegrasi Nasional.
Esensi dari program ENU ini adalah menghapuskan segregasi dan diskriminasi dalam sistem pendidikan Chile. Pada praktiknya, penerimaan siswa atau murid dilakukan berdasarkan zonasi. Jadi, setiap sekolah, baik sekolah elit maupun kere, wajib menerima semua calon siswa di daerah (zonasinya).
Dengan penerimaan siswa jalur zonasi, anak-anak orang miskin boleh mendaftar di sekolah-sekolah yang dulunya disebut “sekolah elit”. Akhirnya, pertama kalinya dalam sejarah Chile, orang miskin dan kaya bisa duduk satu bangku sekolah. Mereka bisa belajar dalam ruang belajar yang sama, bermain di tempat bermain yang sama, serta menikmati kualitas pendidikan yang sama.
Selain itu, lewat program ENU, sekolah-sekolah hendak diintegrasikan dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Jadi, teori-teori yang dipelajari di dalam dinding sekolah, dalam bayangan program ini, bisa diterapkan di lingkungan luar sekolah. Harapannya, sekolah tak lagi elitis, tak menjadi menara gading di atas renda-renda pengetahuan.
Dalam sistem ini, siswa-siswa diajak berkenalan dengan realitas sosial. Hasilnya, anak-anak orang kaya bisa mengenal Chile lebih lengkap: tak hanya pemukiman elit, tetapi juga ada pemukiman kumuh. Tak hanya bangunan rumah mewah, tetapi juga rumah-rumah yang mirip kandang ternak.
Lebih mulia lagi, konsep ini hendak mengintegrasikan antara teori dan praktik, agar apa yang dipelajari di sekolah tak berjarak jauh dengan kenyataan hidup masyarakat. Bahwa ilmu-ilmu yang dipelajari di lembaga pendidikan, entah dari Barat maupun Timur, dari Utara maupun Selatan, bisa dibumikan di Chile.
Ada film garapan sutradara Chile, Andrés Wood, judulnya “Machuca (2004)”, yang menggambarkan ide besar program ini dan kompleksitas penerapannya.
Tentu saja, ENU ditolak orang kaya dan kaum konservatif. Kelompok agamawan, dari sekolah Katolik hingga Partai Kristen Demokratik, menolak program ini. Mereka berdalih, program ini hanya kedok untuk mencangkokkan pikiran komunis di dalam tempurung otak anak-anak sekolah.
Sementara orang-orang kaya, yang mengidap penyakit “rasa jijik” dalam perspektif Martha Nussbaum, tidak rela anak-anaknya duduk berdampingan dengan anak-anak yang tinggal di rumah kumuh dan bersanitasi buruk. Bagi mereka, sudah menjadi takdir sejarah, bahwa orang kaya berhak menikmati kualitas dan fasilitas pendidikan terbaik. Sebaliknya, orang miskin cukup menerima pendidikan yang disediakan oleh negara.
Singkat cerita, program ENU ini menemui ajalnya seiring dengan kudeta militer terhadap pemerintahan Allende pada 1973.
Di bawah rezim Pinochet, murid-murid mulai dipaksa memangkas pendek rambutnya ala tentara, seperti praktik umum anak-anak sekolah di zaman Orde Baru. Selain itu, sekolah-sekolah elit mulai dibersihkan dari kaum miskin. Diskriminasi dan segregasi dalam pendidikan dikembalikan dan dipersubur di bawah sistem neoliberalisme pendidikan di Chile