Sekolah Thawalib, Islam Progresif, dan Ilmu Kuminih

Kisah ini bermula di dataran tinggi Minangkabau yang sejuk, ketika abad ke-20 baru saja menampakkan fajar. Di Kota Padang Panjang, denyut baru mulai terasa. Ini adalah denyut pembaruan Islam, sebuah gerakan yang dipelopori oleh “kaum muda” yang gelisah melihat tradisi telah bercampur dengan ajaran murni. Mereka ingin mendirikan pilar-pilar pendidikan Islam yang modern, yang mampu menjawab tantangan zaman.

Di jantung gerakan itu, berdiri sebuah surau tua bernama Surau Djembatan Besi. Namun, surau ini tak lama lagi akan berganti rupa. Dua tokoh reformis terkemuka, Haji Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amarullah (lebih dikenal sebagai Haji Rasul), menjadi motor penggeraknya. Mereka tak lagi puas dengan sistem pengajaran tradisional. Terinspirasi oleh semangat zaman, mereka memperkenalkan sistem kelas, mengatur pelajaran secara berjenjang, dan meletakkan fondasi bagi sebuah sekolah modern.

Seperti yang dicatat oleh sejarawan Audrey Kahin dalam bukunya, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, “perguruan Thawalib merupakan penerus dari perguruan agama tradisional bernama Surau Djembatan Besi.” Transformasi ini mencapai puncaknya sekitar tahun 1918, setelah Haji Rasul pulang dari kunjungannya ke Yogyakarta untuk bertemu Haji Ahmad Dahlan. Sebuah gedung baru didirikan, lengkap dengan kelas-kelas berisi bangku dan meja. Lahirlah Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di wilayah itu.

Di tengah gelombang pembaruan yang dipimpin oleh para ulama terpandang itu, sosok figur unik turut bergabung menjadi pengajar sekitar tahun 1913. Namanya Zainuddin Labay El Junusy. Ia bukan ulama lulusan Makkah atau Kairo. Masa mudanya bahkan sempat ia habiskan sebagai seorang Parewa—sebutan bagi anak muda petualang yang melanglang buana dan menguasai ilmu silat. Ia pernah bersekolah di sekolah pemerintah, namun dikeluarkan karena wataknya yang kritis dan gemar bersilang pendapat dengan guru. Pengetahuannya ditempa oleh ayahnya sendiri dan oleh rasa ingin tahu yang menyala-nyala.

Meski begitu, keyakinan beragamanya kokoh dan pemikirannya jauh melampaui zamannya. Zainuddin sangat terpengaruh oleh gagasan nasionalis Turki, Mustafa Kamal Attaturk. Bahkan ia sendiri yang menerjemahkan dan menyebarkan biografi Attaturk di kalangan pemuda Minang.

Sumatera Thawalib. Kredit: facebook/Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi

Di Thawalib, Zainuddin menjadi magnet. Ia mendirikan sekolahnya sendiri, Diniyah School, yang menitikberatkan pada pelajaran umum seperti matematika, ilmu bumi, hingga kesehatan. Pikirannya radikal. Ia menolak mentah-mentah tawaran subsidi dari Asisten Residen Belanda. Selain itu, ia membuka pintu seluas-luasnya bagi para murid untuk menghirup pemikiran apa pun, termasuk yang paling “terlarang” saat itu: ajaran Marxisme, atau yang populer disebut sebagai “Ilmu Kuminih”.

Zainuddin tak hanya mengajar, ia menciptakan sebuah ekosistem intelektual. Pada 1918, ia mendorong murid-muridnya mendirikan majalah Islam, Munirul Manar. Kantor redaksi majalah itu seketika menjadi ruang diskusi yang hidup, tempat para pelajar membaca koran, memperluas wawasan, dan menggelar “debating club” yang selalu ramai.

Dari rahim kreativitas itu, para pelajar juga mendirikan koperasi untuk menjual alat belajar. Namun, bagian paling fenomenal dari koperasi itu adalah kantinnya, yang kemudian dikenal dengan nama “Kantin Merah” atau “Bofet Merah”.

Di kantin sederhana inilah, di antara kepulan asap kopi dan perdebatan sengit, bibit-bibit radikalisme kiri menemukan tanahnya yang subur. Djamaludin Tamin, salah seorang guru di Thawalib, mengisahkan betapa pentingnya kantin itu dalam memoarnya, “Sedjarah PKI”:

Di Padang Pandjang, sebuah kota ketjil di Sumatera Tengah tempat berkumpul dan pusatnja pesantren Agama/Mahasiswa Ilmu Gaib dari seluruh Sumatera, sudah sedjak awal tahun 1920 di sana pun sudah mulai menjebut2 tentang Sosialisme-Komunisme Sarikat Merah, walaupun pada permulaannja makanja Padang Pandjang menjadi pusat kaum merah, menjadi kota merah di Sumatera, hanjalah mendirikan Bopet Merah sebagai tjabangnja Koperasi Kaum Merah di sana, jakni lima enam bulan sebelumnja lahir PKI di Semarang tahun 1920.

Kutipan Tamin menegaskan bahwa radikalisme di Padang Panjang bukanlah barang impor, melainkan tumbuh organik dari jantung pendidikan Islam modern itu sendiri.

Salah satu produk paling cemerlang dari ekosistem Thawalib ini adalah Haji Datuk Batuah. Takdir kemudian mempermainkan sebuah ironi. Pada tahun 1920-an, Datuk Batuah ditugasi oleh Haji Rasul—seorang penentang keras komunisme—untuk meninjau keadaan sekolah Thawalib di Aceh. Di sanalah, tak disangka, ia bertemu dengan Natar Zainuddin, seorang propagandis VSTP, serikat buruh kiri yang kuat dari Semarang. Keduanya cepat menjadi kawan akrab.

Haji Datuk Batuah (tanda X), salah satu toko penting penyebaran ide-ide marxisme di Sumatera Barat.

Persahabatan itu menjadi jembatan ideologis. Pada 1923, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin berangkat bersama ke tanah Jawa, bukan untuk menuntut ilmu agama, melainkan untuk menghadiri Kongres PKI/SI Merah di Bandung. Di sanalah Datuk Batuah bertemu dengan seorang haji dari Surakarta yang berhaluan kiri, Haji Misbach. Ia terpukau oleh pidato Misbach yang dengan fasih menjelaskan bahwa prinsip anti-penindasan dalam komunisme sejatinya adalah inti dari ajaran Islam.

Pidato itu membakar semangatnya. Sekembalinya ke Padang Panjang, Datuk Batuah telah menjadi seorang propagandis baru. Ia menyebarkan pemahaman Misbach kepada murid-murid Thawalib dan menerbitkan korannya sendiri, “Pemandangan Islam”. “Ilmu Kuminih” pun menyebar laksana api di rumput kering. Puncaknya, pada 20 November 1923, PKI seksi Padang Panjang resmi berdiri dengan Datuk Batuah sebagai ketuanya. Padang Panjang pun masyhur sebagai “Kota Merah”.

Tentu saja, para guru besar seperti Haji Rasul sangat menentang, namun ia tak berdaya membendung arus zaman yang telah ia bantu ciptakan. Kiprah Datuk Batuah tidak berlangsung lama. Pada 11 November 1923, pemerintah kolonial yang mencium bahaya mengirim satu detasemen polisi untuk menangkapnya bersama Natar Zainuddin. Tuduhannya: berkomplot untuk memberontak. Penangkapan demi penangkapan menyusul, termasuk Djamaludin Tamin yang memprotes keras di korannya.

Peristiwa ini meninggalkan luka yang dalam dan perpecahan. Para murid yang marah dan kecewa menumpahkan kesalahan kepada guru besar mereka. “Para siswa Sumatera Thawalib menyalahkan Haji Rasul karena penangkapan guru-guru muda mereka,” tulis Kahin, menangkap tragedi internal yang terjadi di sekolah itu. Tak lama kemudian, Bofet Merah pun dilarang beroperasi.

Seakan langit ikut berduka, pada 28 Juni 1926, sebuah gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang Padang Panjang. Gempa yang menelan korban 300-jiwa itu juga meruntuhkan banyak bangunan sekolah Thawalib.

Haji Rasul akhirnya kembali ke kampung halamannya di Maninjau. Namun, api Thawalib tidak sepenuhnya padam. Di bawah kepemimpinan baru, sekolah ini terus melahirkan murid-murid progresif yang pada tahun 1930-an mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI), sebuah organisasi nasionalis-Islam. Namun, karena sikapnya yang anti-kolonial, PERMI pun akhirnya dibubarkan oleh Belanda pada 1937. Organisasi ini tercatat melanjutkan tradisi perlawanan yang diwariskan oleh sekolah induknya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Gerakan Boikot Israel dan Dampaknya

Gerakan Boikot Israel dan Dampaknya

Konteks saat ini jauh lebih mengerikan dibandingkan peristiwa di Sheikh Jarrah

Next
Jejak Timnas Hindia Belanda di Piala Dunia 1938

Jejak Timnas Hindia Belanda di Piala Dunia 1938

Tahun 1938, ketika dunia diambang Perang Dunia ke-II, Piala Dunia dihelat di

You May Also Like
Total
0
Share