Tepat seabad kelahirannya, Pramoedya Ananta Toer tetap menjadi suara paling berpengaruh dalam sejarah sastra dan pemikiran Indonesia. Namanya mungkin tak selalu disebut dalam perbincangan populer di kalangan milenial dan gen Z, tetapi gagasan dan warisannya lebih relevan dari yang disadari banyak orang.
Dalam dunia yang semakin cepat berubah, dengan algoritma yang menentukan pola pikir dan narasi yang dikuasai oleh kebisingan media sosial, Pram menawarkan sesuatu yang lebih mendalam: kesadaran historis, keberanian melawan ketidakadilan, dan tekad untuk terus membaca serta menulis sebagai bentuk perlawanan.
Generasi milenial dan gen Z hidup dalam era serba instan, di mana informasi mengalir tanpa henti dan sering kali kehilangan konteks sejarah. Dalam situasi ini, membaca karya-karya Pram seperti Bumi Manusia atau tetralogi Pulau Buru bukan sekadar aktivitas literasi, tetapi juga upaya menemukan kembali jati diri bangsa. Lewat karakter Minke, misalnya, Pram mengajarkan pentingnya pendidikan dan kesadaran sosial, dua hal yang seharusnya menjadi senjata utama anak muda dalam menghadapi tantangan zaman.
Membaca Pram bukan perkara mudah. Ia menuntut kesabaran dan pemahaman, sesuatu yang berlawanan dengan budaya scroll dan konsumsi konten instan yang mendominasi hari ini. Tapi justru di sinilah tantangannya: apakah generasi muda bersedia keluar dari arus distraksi dan kembali menyelami pemikiran yang mendalam? Dalam dunia yang dipenuhi dengan opini cepat saji, Pram mengajarkan bahwa perubahan sejati membutuhkan refleksi yang panjang dan perjuangan yang tidak instan.

Salah satu warisan terbesar Pram adalah kritiknya terhadap ketidakadilan dan represi. Ia tahu betul bagaimana rasanya dibungkam dan dipenjara karena kata-katanya. Di era digital saat ini, di mana kebebasan berekspresi sering kali berbenturan dengan sensor, hoaks, dan manipulasi informasi, keberanian Pram menjadi inspirasi. Generasi muda yang tumbuh dengan media sosial perlu belajar darinya bahwa kata-kata memiliki kekuatan besar—bisa menjadi alat perlawanan, tapi juga bisa menjadi senjata yang disalahgunakan.
Lebih dari itu, Pram adalah pengingat bahwa sejarah sering kali ditulis oleh para pemenang, dan tugas anak muda adalah mempertanyakan versi resmi yang diwariskan. Dalam berbagai isu sosial dan politik yang dihadapi Indonesia hari ini—dari ketimpangan ekonomi hingga kebebasan sipil—cara berpikir kritis ala Pram tetap relevan. Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia merdeka berarti tidak hanya menerima informasi, tetapi juga memahami dan mempertanyakannya.
Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana membuat Pram tetap dekat dengan generasi muda. Adaptasi film Bumi Manusia beberapa tahun lalu membuka pintu bagi banyak orang untuk mengenal karyanya. Tetapi apakah itu cukup? Mungkin sudah saatnya kita memikirkan cara baru: menghadirkan Pram dalam format yang lebih dekat dengan anak muda—melalui podcast, komik digital, atau diskusi-diskusi ringan di media sosial.
Peringatan satu abad Pram seharusnya tidak hanya menjadi acara seremonial, tetapi juga momentum untuk merevitalisasi gagasan-gagasannya. Perpustakaan, sekolah, dan komunitas sastra perlu lebih aktif mengenalkan Pram dalam konteks yang relevan dengan hari ini. Jangan sampai Pram hanya menjadi nama besar yang sekadar dihormati, tapi pemikirannya tidak lagi diperbincangkan.

Generasi milenial dan gen Z sering disebut sebagai generasi yang “woke,” yang sadar akan isu-isu sosial dan politik. Jika benar demikian, maka membaca Pram adalah langkah logis berikutnya. Sebab, ia tidak hanya berbicara tentang sejarah masa lalu, tetapi juga tentang perlawanan terhadap ketidakadilan yang terus berulang.
Dalam salah satu wawancaranya, Pram pernah berkata: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Generasi muda hari ini memiliki banyak alat untuk menulis, dari media sosial hingga blog pribadi. Pertanyaannya, apakah mereka akan menggunakan suaranya seperti yang dilakukan Pram—dengan keberanian, keteguhan, dan integritas.
Seratus tahun kelahirannya, Pram tetap menjadi cermin bagi kita semua. Bagi generasi milenial dan gen Z, ia adalah pengingat bahwa dunia tidak hanya soal tren sesaat, tetapi juga tentang memahami sejarah, melawan ketidakadilan, dan memastikan suara yang benar tidak pernah padam. Sebab, sebagaimana yang telah Pram buktikan, kata-kata yang jujur dan berani akan selalu menemukan jalannya, bahkan setelah seratus tahun berlalu.
Dirgahayu, bung Pram. Terima kasih!