Nasionalisme Siauw Giok Tjhan

Namanya nyaris tidak ditulis dalam sejarah resmi. Bahkan, di era rezim Orde Baru, ia hendak dihapus sama sekali dari sejarah bangsanya. Pahitnya, pejuang Republik Indonesia keturunan Tionghoa ini justru menjadi “pengungsi politik” di negeri lain hingga akhir hayatnya.

Dia adalah Siauw Giok Tjhan. Salah seorang wartawan senior Indonesia, Yoesoef Isak, menyebut Siauw Giok Tjhan sebagai pejuang yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya bagi bangsanya: Indonesia. Ia tak henti-hentinya berseru tentang nasionalisme Indonesia.

Siauw Giok Tjhan juga konsisten berjuang untuk keadilan dan kesetaraan. Ia juga selalu berada di garis depan menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan manusia atas manusia.

Penentang diskriminasi

Siauw lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur. Nama tempat kelahirannya adalah Kapasan, sebuah kelurahan di Simokerto, yang dihuni oleh banyak keturunan Tionghoa.

Ayahnya, Siauw Gwan Swie, adalah seorang nasionalis Tionghoa. Sedangkan ibunya, Kwan Tjian Nio, adalah seorang Tionghoa totok yang menghargai adat-istiadat rakyat setempat. Ia tidak memaksa anaknya berbahasa Tionghoa. Jadinya, Siauw Giok Tjhan bisa berbahasa Melayu-Tionghoa dan Jawa.

Pada usia 4 tahun, Siauw sudah dibawa kakeknya bersekolah di THHK (Tiong Hoa Hwee Koan). Kakek Siauw Giok Tjhan, Kwan Sie Liep, adalah seorang fanatik dengan kebudayaan Tionghoa. Tetapi Siauw Giok Tjhan tidak lama bersekolah di sana. Maklum, ayahnya sangat menginginkannya masuk sekolah Belanda.

Akhirnya, Siauw pindah ke sekolah Belanda-Institut Buys. Lalu, ia dipindahkan lagi ke Europese Lagere School (ELS). Di sekolah inilah Siauw sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia sering dihina sebagai “Cina Loleng”. Tentu saja, ia tak menerima perlakuan itu. Karenanya, ia kerap berkelahi dengan anak-anak Belanda.

Siauw melanjutkan sekolahnya di Hogere Burger School (HBS). Sayang, belum tamat HBS, kedua orangtuanya meninggal. Sedangkan kakeknya sudah pulang ke Tiongkok. Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk membiayai dirinya dan adiknya. Sebagai solusinya ia jual semua harta orangtuanya dan kemudian membeli tiga kendaraan roda tiga. Ia kemudian menjalankan semacam usaha taksi. Dari situlah ia membiayi hidup dan pendidikannya.

Pengalaman itu sangat berpengaruh bagi Siauw. Ia bergabung dengan perhimpunan Pemuda Tionghoa (Hua Chiao Tsing Niem Hui). Organisasi ini banyak membantu rakyat yang dalam kesulitan.

Gerakan nasionalis

Sejak belia, Siauw sudah memihak nasionalisme Indonesia yang baru saja mekar. Buktinya, dia memilih bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini, yang resminya berdiri September 1932, secara tegas memperjuangkan Indonesia merdeka.

PTI juga banyak berhubungan dengan pergerakan nasional Indonesia lainnya, seperti PBI (Dr Sutomo), PNI-Partindo, PNI baru (Hatta-Sjahrir), dan lain-lain. PTI juga aktif mendukung Ki Hajar Dewantara menentang undang-undang sekolah liar. Bahkan, ketika Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) berdiri, PTI aktif mendukung. Sebagian anggotanya masuk ke organisas tersebut.

Semangat nasionalisme Siauw juga nampak dalam olahraga. Ia pernah terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola yang didominasi Belanda, yakni Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB). Ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya, dia menggalang aksi untuk mengalihkan penonton ke Pasar Turi, yang saat itu menggelar pertandingan yang dihelat oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Siauw Giok Tjhan dalam acara Baperki di Makassar. Kredit: https://sylvietanaga.wordpress.com/

Pemikiran politik Siauw makin berkembang tatkala bertemu dengan dua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Kedua orang inilah yang memperkenalkan marxisme kepada Siauw. Konon, pada 1938, Siauw menerjemahkan buku Edgar Snow, Red Star Over China.

Selain itu, Siauw juga aktif sebagai wartawan di harian Matahari. Koran berhaluan nasionalis ini banyak meliput kegiatan Taman Siswa. Pada 1939, Siauw menjadi pemimpin redaksi koran ini. Di tangannya, koran ini menjadi sangat pro-kemerdekaan dan anti-fasisme Jepang.

Jadinya, ketika Jepang masuk, nama Siauw masuk daftar pencarian orang (DPO) Jepang. Namun, ia berhasil melarikan diri dari Semarang, lalu menjadi pemilik toko eceran di Malang, Jawa Timur. Namun, di Malang, Siauw sempat menjadi pemimpin organisasi bentukan Jepang bernama Kakyo Shokai. Ia juga mendirikan organisasi keamanan bernama Kebotai.

Hingga, pada 17 Agustus 1945, terdengar kabar Indonesia merdeka. Siauw sangat bergembira. Ia mendukung penuh kemerdekaan itu. Bahkan, sebagai sokongan terhadap kemerdekaan, ia mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru di Malang. Kedua organisasi ini sangat membantu rakyat di saat revolusi. Bahkan, organisasi ini turut berada di medan pertempuran bersama rakyat Surabaya pada 10 November 1945.

Tahun 1946, Siauw masuk ke Partai Sosialis. Di dalamnya, ada Amir Sjarifuddin, Sjahrir, dan Tan Ling Djie. Bagi Siauw, tak perlu lagi ada partai khusus Tionghoa. Ia menganjurkan agar orang Tionghoa melebur langsung dalam revolusi nasional rakyat Indonesia.

Tahun 1946, Siauw ditunjuk sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di sini, Siauw makin condong ke gerakan kiri. Ia juga makin meleburkan diri dalam revolusi Indonesia.

Salah satu hasil kerja Siauw adalah Undang-Undang Kewarganegaraan RI tahun 1946, yang inklusif: “…di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Eropa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!”

Siauw makin dekat kiri, khususnya PKI, yang dianggapnya paling konsisten menentang segala bentuk rasialisme dan penindasan. Akhirnya, ketika terjadi “peristiwa Madiun” 1948, Siauw juga sempat ditangkap. Lalu, ketika terjadi agresi militer Belanda akhir 1948, Siauw sempat lolos dari penjara. Sayang, ia tetap berhasil ditangkap Belanda.

Memperjuangkan kewarganegaraan yang setara

Meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi persoalan kewarganegaraan belum juga tuntas. Sentimen anti-Tionghoa seringkali muncul. Merespons persoalan ini, sejumlah tokoh Tionghoa mendirikan organisasi: Badan Permusyawaratan Warga Turunan Tionghoa (Baperwatt).

Siauw tak setuju dengan nama organisasi itu. Baginya, penyelesaian masalah minoritas Tionghoa merupakan bagian dari proyek nation Indonesia. Menurutnya, di Indonesia ini hanya ada satu bangsa, yaitu bangsa (nation) Indonesia. Karena itu, ia mengusulkan nama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Baperki, pada 1955, menegaskan diri sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia untuk mempercepat terbentuknya nation Indonesia yang tidak mengenal diskriminasi rasial. Baperki memperjuangkan nation Indonesia sesuai dengan prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”.

Karena itu, dalam penyelesaian soal minoritas Tionghoa, Siauw dan Baperki punya konsep yang disebut “integrasi wajar” (integrasi revolusioner). Konsep ini memperjuangkan orang Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia tanpa harus mempersoalkan “ke-Tionghoan-nya”-sama halnya dengan tidak mempersoalkan orang Jawa, Bugis, Melayu, dan lain-lain. Proses ini tidak perlu menghilangkan identitas dan kebudayaan orang Tionghoa. Dengan demikian, terciptalah nation Indonesia yang berbhinneka tunggal ika.

Bagi Siauw, siapa pun yang lahir dan besar di Indonesia, tanpa melihat suku dan rasnya, tetapi merasa senasib, se-ikatan batin, setujuan sebagai “bangsa Indonesia”, maka mereka berhak diakui haknya sebagai WNI.

Siauw menginginkan nation Indonesia yang inklusif, multi-kultur, sesuai dengan semboyan: Bhineka Tunggal Ika. Baginya, nasionalisme Indonesia tidak mengenal istilah “pribumi” dan “non-pribumi” atau “asli versus non-asli”.

Siauw Giok Tjhan dan istri Tan Gien Hwa di Jakarta pada tahun 1979. Kredit: BBC Indonesia

Gagasan ini ditentang oleh kelompok Tionghoa lainnya, yaitu Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa atau LPKB. Organisasi ini memperjuangkan konsep yang disebut asimilasi. Kubu asimilasi menghendaki agar orang-orang Tionghoa menghilangkan identitas budayanya dan melebur ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Yang terjadi, orang-ornag Tionghoa dipaksa mengganti namanya sesuai nama Indonesia. Kasus lainnya, banyak orang Tionghoa dipaksa mengikuti agama yang diakui di Indonesia. berbagai bentuk ekspresi budaya Tionghoa juga dilarang: huruf Tionghoa, perayaan tradisional seperti tahun baru, pertunjukan barongsai, dan lain-lain. Ini terjadi pada era Orde baru.

Siauw juga punya pemikiran di bidang pendidikan yang cemerlang. Baginya, pendidikan merupakan sarana nation-building. Akhirnya, sebagai bentuk konkret idenya itu, dia lewat Baperki mendirikan Universitas Res Publica (Ureca). Kampus ini dibangun secara gotong-royong. Menariknya, Baperki punya motto: “pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup rakyat banyak.”

Di bidang ekonomi, Siauw juga punya pikiran cemerlang. Katanya, kapital domestik, terutama dari orang Tionghoa, bisa dikembangkan untuk memperkuat ekonomi nasional. Artinya, tidak perlu mempertentangkan antara kapital pribumi dan Tionghoa. Esensinya, semua kapital bangsa Indonesia harus dipergunakan untuk kepentingan ekonomi nasional.

Penyerbuan dan penghancuran kampus Universitas Res Publica (Ureca) pada 1965. Kredit: Bettmann / Corbis

Dengan begitu, Siauw menentang konsep Sumitro, tokoh PSI yang sempat jadi menteri, yang kebijakan Bantengnya dianggap diskriminatif di lapangan ekonomi. Siauw juga keberatan dengan PNI karena membiarkan salah seorang kadernya, Iskaq, yang menjabat Menko Perekonomian, menerapkan diskriminasi di bidang ekonomi.

Korban rezim Orde Baru

Segalanya berubah total tatkala rezim Orde Baru naik kekuasaan. Tak hanya melengserkan Sukarno, Orde Baru juga menghabisi orang-orang kiri. Termasuk Siauw Giok Tjhan.

Pada 4 Nopember 1965, Siauw ditangkap dan meringkuk di dalam tahanan selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Baperki dibubarkan. Berbagai kontribusi perjuangan dan pemikirannya dihapuskan dalam sejarah.

Baru pada Mei 1978, Siauw dibebaskan. Tahun itu juga ia ke Belanda untuk berobat. Represi Orde Baru berdampak sangat buruk pada kesehatan Siauw Giok Tjhan: satu matanya buta, satunya lagi tidak terlalu baik. Ia juga menderita penyakit jantung.

Tak lama kemudian, tepatnya 20 November 1981, Siauw Giok Tjhan meninggal dunia. Ia meninggal dunia di negeri orang; Belanda.

Siauw Giok Tjhan adalah pejuang kemerdekaan nasional Indonesia. Dia adalah seorang nasionalis. Tak heran, pada Kongres ke-8 Baperki, Sukarno menyampaikan pujian: “.. Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya kembalikan itu kepada revolusi. Yang dicintai itu adalah revolusi Indonesia. Yang dicintai itu adalah perjoangan untuk menyelesaikan revolusi Indonesia.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Seabad Pramoedya Ananta Toer: Karya, Cinta dan Harapan pada Kaum Muda

Seabad Pramoedya Ananta Toer: Karya, Cinta dan Harapan pada Kaum Muda

Hai, pembaca Merdika

Next
10 Aksi Protes Mahasiswa Pembawa Perubahan Sosial

10 Aksi Protes Mahasiswa Pembawa Perubahan Sosial

“Masih usia muda tapi tidak revolusioner, itu kontradiksi biologis,” kata

You May Also Like
Total
0
Share