Kawan-kawan politisi, izinkan saya menyampaikan pesan klasik namun relevan dari Haji Agus Salim, sosok yang dijuluki Bung Karno sebagai “The Grand Old Man”. Ia pernah menyampaikan sebuah pepatah kuno dari Belanda: Een Leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden. Artinya, Jalan memimpin itu jalan menderita. Sebuah pesan yang sederhana tapi sarat makna.
Bayangkan, Haji Agus Salim, seorang politisi besar yang pernah empat kali menjabat Menteri Luar Negeri, hidupnya jauh dari glamor. Hingga akhir hayat, ia dan keluarganya tetap menjadi penyewa rumah, dan jas yang dikenakannya penuh tambalan hasil jahitan sang istri. Tapi inilah pelajaran penting: menjadi pemimpin itu bukan tentang kekayaan atau kemewahan, melainkan pengabdian.
Namun, lihatlah kondisi kita sekarang. Politik telah berubah menjadi jalan pintas menuju kekayaan dan kekuasaan. Pemimpin bukan lagi pelayan rakyat, tapi malah menikmati pelayanan rakyat. Apa kita lupa bahwa memimpin adalah sebuah tanggung jawab besar, bukan peluang emas untuk memperkaya diri?
Jalan pintas dan politik dinasti
Hari ini, politik sering kali diwarnai oleh mereka yang memiliki sumber daya melimpah. Dengan kekayaan, mereka bisa membeli posisi, nomor urut terbaik, hingga peluang emas di pemilu. Tidak heran, 55 persen anggota DPR kita berlatar belakang pengusaha. Ketua-ketua partai besar bahkan memiliki kekayaan triliunan rupiah.
Kalau bukan karena kekayaan, jalan pintas lain adalah politik dinasti. Kita melihat banyak kepala daerah yang keluarganya mendominasi struktur pemerintahan lokal. Suami jadi bupati, istri jadi ketua DPRD, anak jadi anggota DPRD atau ketua partai. Politik dinasti ini jelas-jelas menciptakan ketidakadilan dan membuka jalan korupsi.
Bagi mereka yang bukan dari kalangan kaya atau keluarga politisi, politik benar-benar menjadi jalan penderitaan yang sesungguhnya. Mereka harus meniti karier dari bawah, menghadapi berbagai rintangan, dan sering kali kalah sebelum bertanding.
Politik oligarkis: memimpin untuk kaya
Kenyataan pahitnya, politik di Indonesia telah menjadi alat segelintir elite untuk menguasai sumber daya negara. Fenomena state capture semakin marak, di mana kebijakan negara dikendalikan oleh segelintir orang untuk melayani kepentingan pribadi mereka.
Hasilnya? Bukannya meniru kesederhanaan tokoh seperti Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, atau Mohammad Natsir, banyak pejabat kita malah menumpuk kekayaan selama menjabat. Bahkan, tidak sedikit yang masuk daftar orang terkaya di negeri ini. Rangkap jabatan dan konflik kepentingan sudah dianggap hal biasa.
Pejabat dan arogansi di jalan raya
Baru-baru ini, video viral di media sosial menunjukkan mobil dinas pejabat RI berpelat 36 yang melaju di jalan raya dengan patroli pengawal (patwal) yang bertindak arogan. Merasa yang paling sibuk, paling kerja, dan mengganggu pengguna lalu-lintas yang lain. Memang kerja apa, sih? Hari-hari ini kita tetap merasakan layanan publik yang kurang memadai.
Pertanyaannya, apa urgensi penggunaan mobil dinas dan patwal untuk pejabat seperti ini? Selain menunjukkan pola pikir yang feodalistik, tindakan ini juga memboroskan anggaran negara. Padahal, di negara-negara maju, banyak pejabat publik justru menggunakan transportasi umum. Mengapa? Karena itu adalah bentuk nyata dari kesetaraan dan kedekatan dengan rakyat.
Haji Agus Salim dan para tokoh sederhana lainnya mungkin akan geleng-geleng kepala melihat betapa jauh sikap ini dari esensi kepemimpinan sejati. Memimpin bukan soal siapa yang paling berkuasa di jalan raya, tapi siapa yang paling bisa menunjukkan keteladanan.
Kawan-kawan politisi, tindakan seperti ini hanya menambah jurang antara pejabat dan rakyat. Padahal, seharusnya, seorang pemimpin hadir di tengah masyarakat dengan rendah hati, memberikan rasa hormat, dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Pesan untuk politisi muda
Kawan-kawan muda yang punya niat terjun ke dunia politik, ingatlah pesan ini: memimpin itu menderita. Kalau niatmu hanya untuk mencari keuntungan, lebih baik tinggalkan politik. Negeri ini butuh pemimpin yang berjiwa pelayan, yang rela berkorban untuk rakyatnya.
Jangan takut menjadi sederhana seperti Haji Agus Salim. Jadilah pemimpin yang bekerja untuk kepentingan bersama, bukan demi mempertebal kantong pribadi. Kalau kita mau mengembalikan politik ke jalur yang benar, maka kita harus berani memimpin dengan hati, bukan dengan kalkulator.
Mari, buktikan bahwa politik bisa menjadi jalan mulia. Sebab, kalau hanya mencari kekayaan, sebaiknya kalian jadi pengusaha saja. Kalau kalian bisa menjadi pengusaha, itu setidaknya membuka lapangan kerja, pajakmu menambah kas negara, dan ekonomi nasional bisa bergerak lebih baik.