Beragam persoalan, yang berkaitan dengan faktor historis, kultural, dan politik, tak bisa dipadamkan senjata. Pendekatan militer hanya meredam konflik, tapi tak memadamkan bara apinya. Ia hanya memelihara dendam dan siklus kekerasan yang berkepanjangan.
Beberapa hari lalu, di media sosial beredar surat elektronik yang ditulis oleh Antonia Hilaria Wandagau. Antonia mengaku sebagai anak Hetina Mirip. Antonia bercerita, ibu kandungnya, Hetina Mirip, ditembak dan dibakar di depan rumahnya.
“Ibu saya, Hetina Mirip, bukan kombatan. Ia bukan bagian dari kelompok bersenjata, bukan pula musuh negara. Ia hanya seorang perempuan Papua, ibu rumah tangga yang setia pada dapur dan doa,” tulis Antonia.
Menurut Antonia, peristiwa menyedihkan dan memukul naluri kemanusiaan itu terjadi di kampung Jindapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, beberapa hari lalu. Saat itu, terjadi kontak senjata antara TNI dengan milisi TPNPB.
Dalam suratnya, Antonia berharap kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan konflik kekerasan di Papua dengan membuka ruang dialog.
Komnas HAM sudah mengonfirmasi bahwa Hetina Mirip menjadi korban dalam operasi militer Satuan Tugas Habema di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya pada Rabu, 14 Mei 2025 dini hari. Jenazahnya ditemukan dalam kondisi tak manusiawi.

Namun, Komnas HAM belum bisa mengonfirmasi siapa pelaku pembunuhan Hetina Mirip, apakah prajurit TNI atau milisi TPNPB. Komnas HAM masih memverifikasi pelbagai laporan mengenai kasus ini.
Papua memang terus didera konflik, terutama sejak pemerintah pusat mengedepankan senjata untuk memadamkan persoalan separatisme dan ketidakpuasan masyarakat lokal di Papua. Pada 2024, berdasarkan catatan Komnas HAM, konflik di Papua menyebabkan 71 orang meninggal. Sebanyak 48 di antaranya warga sipil.
Penyelesaian persoalan Papua dengan senjata hanya menggiring rakyat Papua tak berdosa dalam siklus kekerasan tanpa ujung. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, sudah seharusnya kita mencari jalan penyelesaian lain yang tak menumpahkan darah.
Persoalan Papua
Ada banyak persoalan di Papua, seperti kemiskinan, pelanggaran HAM, ketimpangan infrastruktur, perampasan lahan masyarakat adat, diskriminasi, dan lain-lain. Namun, kita bisa menelisik akar dari masalah itu.
Pertama, persoalan cara pandang yang menggunakan sudut pandang nasionalisme teritorial. Di sini, nasionalisme teritorial merujuk pada sentimen nasionalisme yang hanya menekankan penyatuan teritorial, tetapi mengabaikan nasib manusia dan alamnya.
Sejak penyatuan 1963, Papua hanya dipersatukan secara teritorial, tetapi manusianya tidak. Tanahnya masuk ke NKRI, tetapi manusianya ditaruh di teras. Tanahnya dikeruk dan dieksploitasi, tapi manusianya tak dibangun.
Apa buktinya? Mari kita tengok Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator resmi. Berdasarkan data BPS, dalam IMP 2024, seluruh provinsi di Papua menghuni urutan paling buncit. Empat provinsi masuk kategori IPM menengah, sementara Papua Pegunungan masih kategori IPM rendah.
Mari kita tengok soal pendidikan. Masalah buta huruf, ada tiga provinsi di Papua yang melebihi rata-rata nasional (3,05 persen) dan merupakan yang tertinggi di Indonesia: Papua Selatan (5,92 persen), Papua Tengah (14,97 persen), dan Papua Pegunungan (27,47 persen).

Selain itu, berdasarkan temuan Universitas Negeri Papua (Unipa), ada 693.000 orang Papua yang masuk kategori penduduk usia sekolah tetapi tidak bersekolah. Sebagian tinggal di Papua bagian pegunungan: Papua Tengah (205 ribu), Papua Pegunungan (148 ribu), Papua (152 ribu), dan Papua Selatan (103 ribu).
Mari kita potret lagi. Sepertiga atau 34,38 persen penduduk Papua usia 15 tahun ke atas tidak punya ijazah pendidikan atau surat tanda tamat belajar (STTB). Jumlah mereka yang punya ijazah perguruan tinggi tidak sampai 10 persen.
Meskipun bumi Papua sangat kaya raya, sehingga dijuluki “potongan surga yang jatuh ke bumi”, angka kemiskinannya justru yang tertinggi di Indonesia. Pada September 2024, empat dari lima provinsi termiskin di Indonesia berada di Pulau Papua: Papua Barat (21,09 persen), Papua Selatan (19,35 persen), Papua Tengah (27,60 persen), dan Papua Pegunungan (29,66 persen).
Cara pandang nasionalisme teritorial, yang kadang diekspresikan dengan slogan “NKRI harga mati”, selalu menolak berdialog tentang sejarah dan eksistensi orang-orang Papua. Bagi mereka, Papua itu bagian dari NKRI. Titik.
Sebagai misal, Jakarta sangat takut mendiskusikan Pepera, yang dalam anggapan mereka sudah selesai. Sementara, bagi orang Papua, Pepera masih bermasalah karena tidak diselenggarakan sesuai mandat perjanjian New York. Dan bagi orang Papua, Pepera ini pangkal dari segala masalah di Papua.
Situasi itu diperkeruh dengan kurikulum yang kurang mengakomodasi sejarah, cerita, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat Papua. Dalam pelajaran sejarah nasional, hampir tak ada tempat bagi pejuang kemerdekaan dari Papua. Di luar Papua, sangat sedikit orang yang mengenal Frans Kaisiepo, JA Dimara, Marthen Indey, dan Silas Papare.
Cara pandang kolonial ini juga membuat Jakarta atau orang-orang di luar Papua melihat Papua dalam “tatapan kolonial”. Terminologi ini diperkenalkan oleh Frantz Fanon tentang bagaimana dominasi kolonial membentuk persepsi, identitas, dan realitas orang yang terjajah. Dalam konteks Papua, tatapan kolonial itu hadir dalam persepsi atau identifikasi Papua sebagai “terbelakang”, “koteka”, “pemabuk”, “kulit hitam”, dan lain-lain.
Tatapan kolonial itu bekerja ketika anak-anak Papua hendak menyuarakan protes, tetapi mereka diteriaki “monyet”; jenis makian yang sama juga digunakan oleh Belanda terhadap bumiputera di zaman Hindia-Belanda. Tatapan kolonial itu yang menjadi basis diskriminasi dan rasialisme terhadap orang-orang Papua.
Kedua, ada rentetan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang mempertebal memoria passionis—ingatan akan penderitaan—orang-orang Papua. Ini tidak lepas dari pendekatan negara yang selalu mendahulukan pendekatan militeristik dalam menangani gejolak keamanan di Papua.
Memoria passionis menjadi ganjalan psikologis bagi orang Papua untuk merasa benar-benar sebagai bagian utuh dari negara bernama Republik Indonesia.

Ketiga, tidak ada ruang partisipasi bagi orang asli Papua untuk mengekspresikan suaranya dan menentukan kebijakan yang terkait kehidupannya.
Otonomi khusus tidak berjalan konsisten. Majelis Rakyat Papua (MPR), yang merupakan mandat Undang-undang Otonomi Khsusus, tak lebih sebagai lembaga kultural dengan wewenang politik yang sangat terbatas. Lembaga ini tidak memiliki hak legislasi dan budgeting.
Padahal, demi melindungi dan memperjuangkan hak-hak orang Papua, legislasi dan budgeting merupakan senjata yang sangat penting.
Banyak kebijakan politik soal Papua diputuskan sepihak oleh Jakarta. Seolah pejabat-pejabat di Jakarta merasa paling mengerti persoalan dan apa yang dibutuhkan orang-orang Papua melebihi orang Papua sendiri.
Sejak menjadi bagian dari Indonesia, Papua juga terus-menerus terabaikan (tereksklusi). Di masa Orde Baru, dari 1973-1982, tiga kali gubernur di Provinsi Papua berasal dari orang luar Papua. Semasa Orde Baru, tidak pernah ada menteri kabinet dari orang Papua.
Tawaran solusi
Beragam persoalan, yang berkaitan dengan faktor historis, kultural, dan politik, tak bisa dipadamkan senjata. Pendekatan militer hanya meredam konflik, tapi tak memadamkan bara apinya. Ia hanya memelihara dendam dan siklus kekerasan yang berkepanjangan.
Pertama, sudah saatnya pemerintah Indonesia membuka ruang dialog seluas-luasnya, dengan melibatkan semua elemen masyarakat Papua, dari suku/marga, gerakan sosial, perwakilan agama, akademisi, gerakan perempuan, dan lain-lain.
Tentu saja, agar dialog itu benar-benar bermakna, maka perlu menciptakan kondisi damai di Tanah Papua. Dan, itu hanya mungkin jika pemerintah mulai mengurangi aktivitas militer di Papua.
Dialog itu untuk mendengar suara orang Papua dari berbagai sisi, termasuk dari mereka yang selama ini menyerukan pemisahan dan hak menentukan nasib sendiri.
Kedua, demi menyembuhkan pelan-pelan luka dan ingatan pahit Papua, maka pemerintah harus mengusut tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua, seperti kasus Biak berdarah (Juli 1998), kasus Wasior (2001), Wamena (2003), dan kasus Paniai (Desember 2014).

Ketiga, menciptakan sebuah wadah politik yang bisa menjadi ruang partisipasi yang lebar dan deliberatif bagi seluruh rakyat Papua.
Kami membayangkan wadah politik itu semacam Dewan Rakyat, yang punya fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan. Dewan Rakyat Papua ini merupakan perwakilan suku/marga, agama, organisasi sosial, dan perempuan.
Setiap anggota Dewan Rakyat merupakan juru bicara dari basis pemilihnya (suku/marga, agama, perempuan, organisasi sosial, dan lain-lain). Mereka bisa diganti kapan saja oleh para pemberi mandat.
Nantinya, semua kebijakan pembangunan di Papua, termasuk soal investasi, harus sesuai dengan suara orang Papua dan mendapat persetujuan Dewan Rakyat Papua. Tidak ada lagi eksploitasi sumber daya alam di Papua yang meminggirkan hak-hak warga asli Papua. Dan jangan lagi pembangunan mengabaikan suara dan aspirasi orang Papua.
Mari ubah cerita tentang Papua. Bukan lagi dentuman meriam, rentetan senjata, dan jerit-tangis keluarga yang kehilangan sanak saudara. Bukan lagi resah dan gelisah masyarakat adat yang tersingkir dari tanahnya. Bukan lagi tangis dan air mata mamak-mamak Papua yang kehilangan suami atau anaknya.
Jika Papua adalah Indonesia, maka perlakukan Papua sebagai saudara anak dari Ibu Pertiwi, yang punyak hak dan martabat sebagai anak bangsa. Buang semua cara pandang, prasangka, streotipe, dan segala yang berbau tatapan kolonial itu, dengan mengakui hak, martabat, tradisi, budaya, dan sejarah orang Papua.
Mari bangun Papua dengan dialog dan partisipasi. Jangan lagi ada yang tertinggal dan terabaikan.