Kongres Pancasila XII bertema “Pancasila Nyawa Bangsa: Menghalau Kemerosotan Moral dalam Praktik Penyelenggaraan Berbangsa dan Bernegara” digelar pada 26-27 September 2024 di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Acara ini menjadi wadah bagi para pemikir dan pegiat Pancasila dari seluruh Indonesia untuk bertukar ide, pemikiran, dan gagasan.
Kongres ini dihadiri berbagai kalangan, termasuk sejumlah akademisi terkemuka. Mereka bertukar gagasan, memberikan kontribusi dalam diskusi mengenai nilai-nilai Pancasila dan tantangan yang dihadapi bangsa. Hadir dalam acara ini Prof. Mahfud Md, Rocky Gerung, Dr. Airlangga Pribadi, Dr. Sukidi, hingga Prof. Agus Wahyudi.
Kongres ini setidaknya dilatarbelakangi realita bahwa penyelenggaraan negara akhir-akhir ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila seringkali didengungkan sebagai fondasi moral yang harus menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan bernegara. Namun, praktik penyelenggaraan negara menunjukkan adanya paradoks. Meski Pancasila diposisikan sebagai sumber nilai yang seharusnya menjadi penjaga moralitas bangsa, tapi krisis moral dalam politik dan birokrasi semakin sering terlihat.
Kongres Pancasila XII menggugah pertanyaan mendasar: apakah nilai-nilai Pancasila benar-benar terinternalisasi dalam struktur kekuasaan, ataukah hanya menjadi alat retoris tanpa makna dalam kehidupan bernegara?
Dalam hal ini, kritik terhadap moralitas dan praktik penyelenggaraan negara menjadi penting untuk menakar kembali relevansi Pancasila dalam menghadapi kemerosotan moral yang mengancam keberlangsungan nilai-nilai kebangsaan.
Konsepsi republik sebagai gagasan negara ideal
Dalam konteks Pancasila, khususnya sila kelima, keadilan sosial menjadi prinsip yang krusial. Namun, realitas penyelenggaraan negara sering menunjukkan bahwa idealisme ini justru tergeser oleh kepentingan pragmatis yang menghasilkan ketimpangan struktural. Hal ini tampak jelas dalam berbagai kebijakan yang semakin menjauh dari cita-cita keadilan substantif yang diamanatkan Pancasila.
Dalam diskusi panel 1 Kongres Pancasila XII, Rocky Gerung secara kritis menggeser posisi Pancasila dari sekadar konstruksi filosofis menuju alat evaluasi etika politik yang lebih pragmatis. Menurutnya, Pancasila awalnya dirancang sebagai landasan filosofis bagi bangsa, tetapi kini perlu diredefinisi menjadi instrumen untuk menilai dan memperbaiki perilaku politik di Indonesia. Ia menyoroti ketegangan antara idealisme filosofis dan realitas politik, di mana Pancasila seharusnya tidak hanya menjadi simbol, tetapi berfungsi sebagai tolok ukur moral dalam praktik politik sehari-hari.
“Dalam wilayah filosofi, tadinya Pancasila itu semacam konstruksi filosofi, sekarang menjadi kebutuhan untuk mengevaluasi etika politik. Jadi fungsi Pancasila untuk mengevaluasi etika politik,” kata Rocky Gerung.
Pada sesi yang sama, Airlangga Pribadi menambahkan penekanan pada perlunya Pancasila berfungsi sebagai kritik terhadap ideologi yang ada, bukan hanya sebagai ideologi itu sendiri. Analisis ini menunjukkan bahwa Pancasila seharusnya menjadi alat untuk menganalisis dan menilai berbagai ideologi yang mendominasi kehidupan politik dan sosial di Indonesia, agar mampu menghadirkan nilai-nilai yang lebih baik dan inklusif.
“Bagi saya yang paling penting untuk saat ini adalah bukan menempatkan Pancasila sebagai ideologi, tapi menempatkan Pancasila sebagai kritik ideologi,” tegas Airlangga.
Refleksi moral aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman moral bangsa, kini kerap dijadikan sekadar jargon politik tanpa substansi yang jelas dalam praktiknya. Kerapuhan ini tercermin dalam banyaknya pelanggaran etika yang dilakukan oleh aparatur negara, mulai dari korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan sosial.
Dalam diskusi panel 2 Kongres Pancasila XII, Prof. Mahfud Md secara kritis menyoroti kemerosotan moral dan etika di Indonesia dengan mengaitkannya pada pemahaman yang sempit terhadap Pancasila.
Menurutnya, Pancasila hanya diperlakukan sebagai dasar negara yang harus ditakuti, tanpa dihayati sebagai falsafah bangsa dan sumber nilai yang membimbing perilaku sehari-hari. Kritik ini menekankan bahwa aktualisasi Pancasila hanya bersifat formalistik, tanpa diinternalisasi secara substansial dalam kehidupan berbangsa.
“Penyebab dari terjadinya ini (kemerosotan sikap moral dan etika) karena Pancasila hanya ditakuti sebagai dasar negara. Tapi tidak ditakuti dan dihayati selain fungsinya yang bukan dasar negara (falsafah bangsa dan sumber nilai),” terangnya.
Hal ini menciptakan kesenjangan antara nilai-nilai ideal Pancasila dan realitas sosial-politik yang diwarnai oleh krisis moral. Dalam situasi ini, kerapuhan etika moral Pancasila menjadi sinyal bahwa bangsa ini harus segera memperkuat komitmen untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam wacana.
Praktik etika dalam penyelenggaraan negara
Praktik etika dalam penyelenggaraan negara saat ini menghadapi tantangan serius, di mana pelanggaran moral dan ketidakadilan kian marak terjadi di berbagai lini pemerintahan. Etika yang seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugas negara kerap kali diabaikan demi kepentingan pragmatisme politik dan ekonomi.
Dalam diskusi panel 3 Kongres Pancasila XII, Garin Nugroho, seniman dan aktivis sosial, mengkritik keras kondisi politik dan ruang publik Indonesia yang dinilai kehilangan etika berbangsa.
Dalam presentasinya, Garin menyoroti hilangnya nilai-nilai warga negara dan panduan moral berbasis Pancasila yang berujung pada politik dan ekonomi dangkal serta pendidikan yang minim kreativitas dan inovasi. Ia juga menyinggung riuhnya politik massa yang menurutnya hanya menghasilkan kebisingan tanpa substansi.
Garin menekankan pentingnya mengembalikan etika berbasis Pancasila dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara itu, Ani Purwanti, pakar hukum tata negara, menyoroti pentingnya penguatan etika bernegara yang berlandaskan Pancasila. Ia mengkritik hilangnya panduan etika dalam ruang publik, yang berdampak pada dangkalnya politik, ekonomi tanpa moral, dan rendahnya kualitas pendidikan.
Ani menawarkan tiga solusi: internalisasi Pancasila dalam kesadaran penyelenggara negara (in the mind), penerapannya dalam perundang-undangan (in the book), dan aktualisasi dalam tindakan sehari-hari (in action). Menurutnya, Pancasila harus menjadi etika berbangsa yang diterapkan secara nyata, bukan sekadar simbol.
Dalam kongres Pancasila XII ini jelas terlihat urgensi untuk mengembalikan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman moral bangsa. Dalam diskusi yang berlangsung, satu poin utama muncul: bahwa kerapuhan etika dalam penyelenggaraan negara, praktik moral yang jauh dari ideal, dan kegagalan dalam mengaktualisasikan Pancasila menunjukkan perlunya revitalisasi nilai-nilai tersebut.
Pancasila bukan sekadar simbol, melainkan harus menjadi pedoman nyata yang mengatur setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, untuk menghalau kemerosotan moral, semua pihak—baik pemerintah maupun masyarakat—harus bersatu untuk mengembalikan Pancasila ke posisinya sebagai fondasi etika yang kuat dalam penyelenggaraan negara.