Bill Shankly, yang lahir pada 2 September 1913, adalah founding father Liverpool. Jasanya bukan hanya mengangkat Liverpool dari klub Divisi Dua yang menghuni papan bawah menjadi salah satu klub terbesar di Eropa. Tetapi juga meletakkan basis ideologis Liverpool yang cenderung kiri.
Nama Shankly menjulang tinggi dalam sejarah Liverpool. Sebagai manajer antara 1959-1974, dia berhasil mengangkat Liverpool dari klub papan bawah di Divisi Dua menjadi klub terhormat di Eropa.
Bayangkan, hanya dalam 15 tahun, dia berhasil mempersembahkan banyak penghargaan bagi Liverpool: tiga piala Divisi Utama, dua piala FA, dan 1 piala UEFA (1972/1973).
Lebih dari itu, Shankly juga seorang arsitek. Dia yang meletakkan filosofi sepakbola Liverpool: kolektivisme dan kerjasama. Bahwa persatuan adalah kekuatan. Dialah peletak dasar permainan Liverpool Way: yaitu teknik pass and move (oper dan bergeraklah), menyerang dan bertahan secara kolektif, penghargaan dan kesetaraan antar semua pemain dan staf; dan loyalitas pada tim.
“Kami punya legenda yang luar biasa. Bill Shankly, manusia sosialis dari Skotlandia yang membangun fondasi klub ini,” kata Peter Moore, CEO Liverpool 2017-2020.
Keluarga kelas pekerja
Shankly lahir dari keluarga kelas pekerja di Glenbuck. Tak hanya terkenal dengan pertambangan batu bara, kota ini juga punya tradisi gerakan buruh yang kuat. Termasuk tradisi gerakan sosialisnya.
Masa kecil Shankly cukup pahit. Di usia 14 tahun, dia terpaksa meninggalkan sekolah karena kemiskinan. Lalu, di usia yang masih belia, dia bekerja di lubang tambang.
Sejak kecil, Shankly suka membaca biografi Robbie Burns, seorang penyair ternama Skotlandia. Dia terinspirasi oleh perjalanan hidup Burns, yang dianggapnya seorang sosialis. Dia berharap, jalan hidupnya kelak bisa berujung baik seperti kisang sang penyair.
Shankly beruntung dianugerahi kepiawaian memainkan si kulit bundar. Dan seperti kisah Maradona, anak-anak miskin seperti Shankly menemukan sepak bola sebagai jalan untuk mengubah nasibnya.
Tahun 1932, dia bergabung dengan klub sepak bola profesional. Awalnya di Carlisle United, lalu pindah ke Preston North End. Sejak itu karier sepak bolanya mulai berkibar.
Shankly juga pernah memperkuat Timnas Skotlandia. Sayang, saat itu Skotlandia lagi “ribut” dengan FIFA, sehingga tidak mengikuti Piala Dunia.
Tahun 1949, Shankly gantung sepatu, lalu beralih menjadi manajer. Klub pertama yang ditangani adalah mantan klub pertamanya: Carlisle United. Dia berhasil mengangkat klub ini dari papan ke urutan ketiga di Divisi III Utara.
Setelah mengurus Carlisle, Shankly berpindah-pindah, dari Grimsby Town ke Workington. Lalu berlabuh di Huddersfield Town A.F.C, sebuah klub asal Kota Huddersfield yang berlaga di Divisi II.
Tak ada prestasi luar biasa Shankly selama mengasuh Huddersfield, kecuali satu peristiwa tak terlupakan: klub Divisi II ini menghajar Liverpool dengan skor telak, 5-0. Padahal, Huddersfield saat itu hanya bermain dengan 10 pemain.
“Manajer Liverpool meninggalkan lapangan seperti orang dalam prosesi pemakaman,” kenang Shankly atas kejadian itu.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak lama setelah laga itu, Shankly mulai didekati Liverpool. Kemudian, pada 14 Desember 1959, hari bersejarah itu, Shankly resmi menjadi manajer klub kebanggan warga Liverpool tersebut.
Membangun Liverpool
Saat Shankly bergabung, Liverpool belum direken. Hanya bermain di Divisi II, itu pun sempat di papan bawah. Meragam persoalan membelitnya, dari persoalan teknis hingga kultur. Dari urusan infrastruktur, kualitas pemain, hingga budaya internal yang kurang kondusif.
Namun, sebagai revolusioner, Shankly tak mau mengutuki nasib. Ia berjuang mengubah keadaan. Tidak sendirian, melainkan bersama staf-stafnya, pemain, dan pendukung Liverpool.
Shankly mulai melakukan perombakan. Infrastruktur dibenahi pelan-pelan. Hampir semua pemain diganti, kecuali pemain yang masih punya optimisme besar bersama klub. Dan, yang terpenting, dia menanamkan kebanggaan, loyalitas, disiplin, dan kepercayaan diri kepada semua staf dan pemain Liverpool.
Ide-ide sosialisnya, bahwa kerjasama lebih baik dari bersaing, bahwa kesetaraan lebih baik dari hirarki, bahwa persatuan lebih baik ketimbang individualistik, dipasokkan ke dalam jiwa Liverpool.
Di Boot Room, sebuah ruang kecil tempat menyimpan sepatu pemain Liverpool, Shankly dan staf-stafnya, seperti Paisley, Joe Fagan dan Reuben Bennett, kerap menghabiskan waktu untuk berdiskusi. Dari mengevaluasi permainan hingga persoalan-persoalan yang melingkupi Liverpool.
Di masa Shankly, pendukung Liverpool tak lagi sebatas tukang sorak di atas tribun. Tak sebatas penonton sebuah pertandingan. Seakan mendengar petuah Mao Zedong, “tentara tanpa rakyat, ibarat ikan tanpa air.” Pemain tanpa suporter, ibarat ikan tanpa air.
Banyak kisah, demi mendekatkan klub dengan pendukungnya, Shankly kerap memberi kejutan. Kadang memberi tiket gratis untuk pendukung Liverpool. Memberi kejutan kepada pendukung yang berulang tahun atau menikah dengan mendatangi acaranya. Dia juga membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk pendukung Liverpool yang mau bertamu.
Seorang sosialis
Yang menarik, Shankly tak pernah menyembunyikan pandangan politiknya. Dalam banyak kesempatan, dia selalu mengaku sebagai sosialis.
Memang, sosialisme yang dianut Shankly lebih ke nilai-nilai, seperti kerjasama, tolong-menolong, menjadikan hidup bisa bermanfaat bagi orang lain, dan lain sebagainya.
“Sosialisme yang saya yakini adalah setiap orang bekerja untuk tujuan yang sama, dan setiap orang mendapat bagian dari hasil yang didapatkan. Begitulah saya melihat sepak bola, dan begitu pula saya melihat kehidupan,” kata Shankly.
Dalam hal ini, Shankly mencoba menciptakan demarkasi antara sosialisme sebagai nilai dengan sosialisme sebagai praktek politik.
Tentu saja, hal itu bisa dimaklumi, mengingat Shankly hidup di saat sosialisme ala Uni Soviet sedang dikritik karena praktik birokratismenya. Di Eropa sendiri, tak terkecuali di Inggris, berkembang varian sosialisme yang secara peyoratif disebut “sosialisme etik”. Penekanannya pada etika dan moral sosialis untuk menentang moral dan etika yang kapitalistik.
Di tangan Shankly, pada 1964, Liverpool juga beralih ke kostum merah-merah. Awalnya, ketika klub ini berdiri 1892, mereka menggunakan kostum bergaris biru dan putih.
Shankly berpikir, warna merah-merah akan membawa dampak psikologis bagi Liverpool dan lawan-lawannya. Sebab, merah berarti pertanda bahaya. Merah juga berarti kekuatan.
Begitulah, sejak 1964 hingga sekarang, Liverpool dikenal sebagai “The Reds”.