Sutan Sjahrir dijuluki “Bung Kecil” karena posturnya yang kecil. Namun, jangan salah, di balik tubuh kecilnya, Sjahrir memiliki pemikiran dan wawasan yang sangat besar.
Tulisan-tulisan maupun pidatonya selalu kuat. Sampai-sampai ia mendapat julukan “Bom Atom Asia”. Apa kisah yang terselip di balik julukan itu?
Tahun 1947, India menjadi tuan rumah Konferensi Hubungan Antar Asia (Inter-Asia Relation Conference). Acara yang dihadiri 28 negara ini digelar pada 23 Maret-2 April 1947.
Delegasi Indonesia, yang berjumlah 30 orang, dipimpin Dr. Abu Hanifa. Juga ada Haji Agus Salim dan Ali Sastroamidjojo.
Sjahrir sendiri terlambat menghadiri konferensi itu karena harus menunggu penandatanganan kesepakatan Perjanjian Linggarjati.
Sjahrir, bersama sekretaris pribadinya, Poppy, juga Soedjatmoko, menyusul dengan menumpang pesawat yang dicarter oleh Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru.
Sjahrir baru tiba di India pada 1 April 1947 dan dijemput langsung oleh Nehru di bandara.
Pada hari penutupan, Sjahrir didaulat untuk menyampaikan pidato.
Pidatonya meledak. Ketika negara-negara di dunia beringsut ke dalam blok yang bertentangan, Sjahrir justru menyuarakan non-blok.
Ia mengajak negara-negara Asia yang baru merdeka untuk tidak masuk dalam blok-blok itu. Sebaliknya, negara baru merdeka harusnya menjadi jembatan untuk perdamaian dunia.
Dia juga menegaskan, perjuangan bangsa Asia seharusnya tak hanya bermuara pada kemerdekaan, melainkan pada sebuah masyarakat yang humanis dan demokratis.
Siapa sangka, pidato Sjahrir itu memikat Sarojini Naidu, seorang penyair dan aktivis kemerdekaan India, yang saat itu ditunjuk sebagai Presiden Panitia Pelaksana Konferensi.
Ia menjuluki Sjahrir sebagai “Atomic Prime Minister” atau “Perdana Menteri Atom”. Kurang lebih maksudnya, meskipun berbadan kecil, tetapi kekuatan pikiran dan gagasan Sjahrir sangat besar, bahkan menggemparkan tatanan kolonial.
Media-media India yang meliput kegiatan itu mengutip pernyataan Sarojini Naidu dan ikut-ikutan menyebut Sjahrir sebagai “bom atom Asia”.
Ini bukan kali pertama pidato Sjahrir dianggap memukau di panggung internasional. Sebelumnya, pada Sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, 14 Agustus 1947, Sjahrir juga menyampaikan pidato yang sangat menggetarkan.
Koran ternama di New York kala itu, New York Herald Tribune, menyebut pidato Sjahrir sebagai “salah satu yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan.”
“Buku sejarah kami dan relief-relief yang tercecer di berbagai pulau menjadi bukti dari peradaban dan budaya yang kami miliki di masa silam. Namun, di bawah Belanda dan kekuasaan kolonial, sejarah kami berubah secara tragis,” kata Sjahrir dalam pidatonya.
Begitulah Sjahrir, politisi muda dengan pengetahuan yang luas, piawai bernegosiasi, lincah bermanuver, punya idealisme yang kokoh, dan nyali tak pernah ciut.