Memaknai Keterwakilan Perempuan di Panggung Politik

Tak ada kemajuan sejati tanpa kesetaraan gender. Tidak ada masyarakat yang beradab jika perempuan masih dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai warga kelas dua. Tidak ada kemerdekaan bangsa jika masih ada anggota bangsa yang menjadi korban pelecehan, femicide, mengalami diskriminasi upah, dan dikekang kemerdekaannya dalam ruang rumah tangga yang sempit.

Ketidakadilan ini bukan sekadar bayang-bayang masa lalu, tapi kenyataan hidup hari ini—yang mengakar dalam ekonomi, budaya, dan politik kita. Di Indonesia, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih tertahan di 54,41 persen, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 83,87 persen (BPS, 2023). Ini bukan karena perempuan tak mau bekerja, tapi karena mereka dibebani pekerjaan domestik yang tak pernah diakui negara.

Dalam ranah privat, luka itu makin nyata. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2025 mencatat, ada 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) pada 2024, meningkat 9,77 persen dari tahun sebelumnya. Itu berarti ada 51 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan setiap jamnya.

Namun di ruang pengambilan keputusan, suara perempuan masih kurang terdengar. Dengan hanya 22,06 persen kursi DPR ditempati perempuan, pengalaman hidup mereka belum cukup hadir dalam kebijakan publik.

Untuk menghadapi kekerasan terhadap perempuan, Indonesia sudah punya dua undang-undang (UU), yakni UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Faktanya, kedua payung hukum itu tak mampu menghalau laju kekerasan terhadap perempuan. Mengapa payung hukum itu terlihat tidak efektif? Apa yang sudah dilakukan anggota DPR perempuan di parlemen untuk mengawal UU tersebut?

Rententan pertanyaan itu membawa kita pada pertanyaan yang lebih urgen: mengapa suara perempuan di parlemen belum menggema dalam menyuarakan berbagai isu perempuan? Bahkan, yang ironis, suara politisi perempuan kerap ikut dalam berbagai kebijakan yang merugikan publik dan merusak demokrasi?

Keterwakilan perempuan di parlemen dari pemilu 1999 sampai 2024. Kredit: Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Apa sebenarnya arti keterwakilan?

Ketika kita bicara tentang “keterwakilan politik perempuan”, apa yang sebenarnya kita maksud? Pemikir politik Hanna Pitkin (1967) dalam karya klasiknya, The Concept of Representation, memberikan sebuah standar ideal.
Representasi, menurutnya, adalah sebuah aktivitas untuk membuat suara, perspektif, dan kepentingan warga negara benar-benar “hadir” dalam proses pengambilan kebijakan. Seorang wakil rakyat tidak hanya duduk di sana, tetapi ia harus berbicara, mengadvokasi, dan bertindak atas nama orang lain yang diwakilinya.

Dengan demikian, keterwakilan politik perempuan adalah sebuah perjuangan untuk menghadirkan kepentingan perempuan di meja perumusan kebijakan. Mengapa ini begitu penting?

Pertama, ini adalah soal keadilan dan kesetaraan yang paling mendasar. Tidak adil jika sebuah keputusan yang berdampak pada semua orang hanya didominasi oleh suara laki-laki (over-representation), sementara suara perempuan nyaris tak terdengar (under-representation).

Kedua, ada yang disebut “kepentingan perempuan” (women’s interest). Pengalaman biologis, sosial, dan kultural perempuan melahirkan kebutuhan dan perspektif yang khas—terkait isu kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga beban ganda—yang tidak bisa serta-merta kita harapkan akan diperjuangkan oleh laki-laki.

Dalam praktiknya, karena posisi perempuan yang secara historis terpinggirkan, dibutuhkan sebuah “tangga darurat” berupa tindakan afirmasi (affirmative action), yang sering diwujudkan dalam bentuk kuota 30 persen. Indonesia pun mengadopsinya, mencantumkannya dalam Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik.

Perempuan dalam keanggotaan K.N.I.P, cikal bakal parlemen Indonesia, pada 1947. Kredit: Cas Oorthuys/Fotoleren

Ironi di balik angka: Sebuah refleksi pasca-pemilu 2024

Sejak kebijakan kuota diberlakukan, kita memang melihat ada kemajuan numerik. Namun, di sinilah refleksi yang lebih dalam perlu kita lakukan. Apakah kenaikan angka ini sudah cukup untuk menjawab harapan besar di awal?

Hasil pemilu 2024 menunjukkan angka keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024-2029 mencapai 22,06 persen (128 dari 580 kursi). Angka ini memang sedikit naik dari 20,8 persen pada pemilu 2019. Namun, kenaikan ini terasa getir. Setelah lebih dari dua dekade reformasi, kemajuan ini terasa begitu lambat, seolah berjalan di tempat, dan masih sangat jauh dari “angka kritis” 30 persen yang menurut PBB dibutuhkan untuk bisa membawa perubahan signifikan.

Getirnya lagi, meski ada kenaikan, tapi kehadiran politisi perempuan belum banyak mendorong agenda-agenda kesetaraan gender maupun perlindungan hak-hak perempuan. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) baru disahkan setelah diperjuangkan selama 10 tahun, itu pun didorong sekuat tenaga dari gerakan perempuan dan masyarakat sipil di luar parlemen. Namun, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), yang perlu untuk melindungi 4 juta lebih perempuan yang bekerja sebagai PRT, tak kunjung disahkan meski sudah diperjuangkan sejak 2004.

Di sinilah letak ironinya. Kebijakan afirmasi seolah berhasil mendorong angka, tetapi gagal menyentuh substansi. Mengapa?

Pertama, jebakan identitas: benarkah “berdiri untuk” sama dengan “bertindak untuk”?

Di sinilah kita perlu kembali pada pemikiran Hanna Pitkin. Ia menekankan bahwa representasi memiliki dua wajah: standing for (mewakili karena kesamaan identitas) dan acting for (bertindak untuk memperjuangkan kepentingan). Adanya 128 perempuan di parlemen adalah wujud dari standing for. Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah apakah mereka acting for kepentingan perempuan secara luas?

Patut kita renungkan, siapa profil perempuan yang berhasil menembus panggung politik kita? Sebuah studi dari Puskapol UI (2019) menunjukkan gambaran yang muram: 41 persen anggota legislatif perempuan berasal dari kalangan elite (dinasti politik, pebisnis), dan hanya 4 persen yang berlatar belakang aktivis atau gerakan perempuan. Jika lorong kekuasaan lebih mudah diakses oleh mereka yang sudah memiliki privilese, suara siapakah yang sebenarnya mereka bawa ke meja perundingan?

Kedua, mesin partai politik yang sakit: tidak demokratis, tidak punya basis ideologi yang jelas, dan tak lebih dari kendaraan politik elit.

Kita tidak bisa menafikan peran partai politik sebagai “penjaga gerbang” utama. Sayangnya, partai kita hari ini menghadapi penyakit kronis: gejala partai personal yang dikendalikan oleh segelintir elite dan cengkeraman oligarki. Dalam sistem yang tidak sehat ini, rekrutmen politik tidak didasarkan pada kapasitas atau rekam jejak, melainkan pada kekayaan, popularitas, dan loyalitas pada sang ketua. Demokratisasi internal partai menjadi macet. Akibatnya, perempuan (dan juga laki-laki) yang potensial namun tidak memiliki modal besar atau koneksi elite, akan tersingkir bahkan sebelum pertarungan dimulai.

Aksi Hari Perempuan Internasional di Jakarta, Jumat, 8 Maret 2024. (AP/Dita Alangkara)

Menyalakan kembali percikan harapan

Di tengah refleksi yang cenderung pesimistis ini, bukan berarti harapan telah padam. Percikan harapan justru datang dari berbagai penjuru, menawarkan jalan ke depan.

Pertama, memperkuat representasi formal perempuan di parlemen. Bagaimanapun, batas paling minimum dari memperkuat politik representasi adalah menambah jumlah perempuan di parlemen. Belajar dari negara Amerika Latin, yang tingkat representasi perempuan di parlemennya 34,9 persen (2023), ada tiga hal yang perlu diperjuangkan: UU Pemilu yang ketat mengatur kesetaraan gender; peran lembaga yang aktif menegakkan aturan (seperti kuota gender), dan kolaborasi tekanan politik dari gerakan perempuan dan politisi perempuan. Misalnya, sistem proporsional tertutup, dengan menempatkan kandidat perempuan di nomor urut strategis (winnable position) melalui zipper system, terbukti jauh lebih efektif.

Kedua, memperkuat keragaman representasi politik perempuan. Ada kebutuhan untuk memastikan perempuan dari berbagai latar belakang, terutama dari kalangan aktivis, jurnalis, profesional, buruh, petani, dan kelompok marginal, bisa mewarnai parlemen. Dengan demikian, representasi politik perempuan tak lagi didominasi perempuan dari keturunan dinasti politik maupun keluarga kaya (pengusaha).

Dalam konteks ini, ada kebutuhan untuk memperkuat organisasi perempuan dan gerakan masyarakat sipil yang merupakan sekolah politik perempuan; tempat calon pemimpin perempuan ditempa. Di sanalah mereka belajar mengidentifikasi masalah, membangun argumen, dan mengorganisir aksi kolektif. Organisasi-organisasi inilah yang bisa menjadi tulang punggung untuk mendukung kandidat perempuan yang berkualitas dan sekaligus menjadi pengawas kritis bagi mereka yang sudah duduk di parlemen.

Ketiga, memastikan perempuan yang mengisi representasi politik perempuan di parlemen membawa agenda politik perempuan. Pada tahap paling maju, ada blok politik atau bahkan partai yang fokus membawa agenda politik perempuan. Paling minimum adalah sebuah kaukus politik lintas-partai di parlemen yang mengusung agenda politik perempuan. Strategi ini memungkinkan perempuan membawa isu-isu perempuan ke dalam ruang politik, bernegosiasi dengan partai atau kekuatan politik, bahkan mendorong agenda politik perempuan diakomodasi dalam koalisi partai parlemen.

Keempat, menghadirkan semakin banyak tokoh dan pemimpin politik perempuan, yang punya komitmen untuk memperjuangkan agenda politik perempuan.

Ketidakadilan memang berakar kuat, tapi tidak abadi. Sejarah bisa diubah. Yang perlu kita lakukan adalah terus menumbuhkan optimisme sembari tak berhenti berjuang di setiap lini. Jika demikian, kita boleh berharap alur sejarah akan berbelok, menuju sebuah tatanan baru yang lebih adil, setara, dan demokratis bagi semua.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Ojol, Konvensi ILO, dan Tantangan Koperasi

Ojol, Konvensi ILO, dan Tantangan Koperasi

Meski diapresiasi, namun, pendekatan ILO yang mengategorikan pengemudi sebagai

Next
Tiga Dimensi Ketimpangan

Tiga Dimensi Ketimpangan

Selama ini, diskursus publik dan perdebatan kebijakan mengenai ketimpangan

You May Also Like
Total
0
Share