“Koperasi tak butuh komando, tapi keberdayaan. Selama ia masih dibentuk dari atas dan dipaksa jadi proyek, bukan gerakan, maka ia cuma akan jadi replika kegagalan masa lalu. Jika koperasi ingin jadi sokoguru ekonomi rakyat, ia harus lahir dari musyawarah, bukan perintah; tumbuh dari kebutuhan, bukan narasi negara. Bukan seragam, tapi beragam—karena yang sejati tak dibentuk lewat aturan, tapi lewat kepercayaan dan solidaritas akar rumput.”
Di sebuah desa beberapa warga berkumpul dalam musyawarah desa dengan ekspresi campur aduk: ada harapan, tapi lebih banyak keraguan. Tampak raut wajah penuh dilema, sebagian warga menarik napas panjang. Ide membentuk koperasi muncul lagi, tapi pertemuan ini bukan soal semangat gotong royong yang hangat— ini adalah memori ketika program baru datang, lelah dengan janji program sebagai pengentasan kemiskinan masyarakat desa yang selalu diulang. Siklus yang terus terekam dari kegagalan top-down yang kentara: keputusan datang dari atas, hasilnya tak pernah dirasakan di bawah.
Saat proyek Koperasi Unit Desa (KUD) berdiri pada 1970-an, harapan digantungkan pada slogan negara: “KUD akan menjemput kesejahteraan petani.” Kenyataannya, banyak KUD berubah jadi mesin korupsi lokal—dana pupuk diundur, simpan pinjam macet, rapat anggota jadi panggung sandiwara. Menurut studi Rahardjo (2002), 60 persen KUD tutup sebelum berumur 10 tahun, sebagian karena konflik internal, sebagian lagi karena dana tersedot birokrasi.
Transisi ini membuka ruang keretakan: dari mimpi kolektif menjadi beban administrasi. Jumlah koperasi di Indonesia melonjak dari 20.000 pada 1990 menjadi lebih dari 150.000 pada tahun 2000. Dan terus meningkat hingga angka 183.000 unit pada 2023; lebih dari 40 persen di antaranya tercatat mati suri—yang aktif hanya 110.000 unit dengan total anggota resmi 23,5 juta jiwa (Kementerian Koperasi RI, 2023).
Namun, angka-angka itu tak lebih dari pulp dalam kertas. Seorang petani pernah bercerita. Namanya tercantum 500 kali sebagai anggota KUD, tapi pinjaman tak pernah turun. Ia hanya melihat selembar daftar hadir yang ditandatangani namanya tanpa pernah melakukan rapat.
Melangkah dari tragedi KUD, pemerintah kini merancang ulang Koperasi “Komando” Merah Putih—sebuah proyek ambisius yang menempatkan mekanisme layaknya komando militer dalam struktur demokrasi koperasi. “Komando” dalam artian bahwa koperasi kembali diciptakan negara, baik anggaran, prinsip serta tujuannya juga telah ditetapkan negara. Nampak jauh dari komitmen kolektif, di mana koperasi dibangun atas azas kolektif masyarakat.
Meninjau lagi sejarah
Sejarah koperasi di Indonesia dimulai dari masa kolonial Belanda. Pada 1896, R. Aria Wiria Atmadja mendirikan Hulp en Spaar Bank di Purwokerto untuk membantu rakyat kecil lepas dari jeratan rentenir. Inisiatif ini menjadi embrio koperasi modern di Tanah Air. Setelah kemerdekaan, Mohammad Hatta, mendorong koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat yang demokratis.
Ide Mohammad Hatta selalu penting disinggung di saat pembahasan mengenai koperasi muncul. Hatta melihat koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat yang tumbuh dari kebutuhan masyarakat, bukan paksaan birokrasi.
Hatta (1950) melihat koperasi menawarkan alternatif terhadap kapitalisme murni yang sering tak ramah bagi rakyat kecil. Koperasi, kata Hatta, bukan hanya soal profit, tapi people based association, di mana titik tekan yang memiliki peran penting atas berjalannya organisasi koperasi adalah manusia, bukan kapital seperti yang berjalan dalam korporasi.
Dalam pandangan Hatta ini, koperasi bisa menyeimbangkan kepentingan individu dan kelompok, membagi pembagian dividen berbasis kontribusi, rotasi kepengurusan serta musyawarah anggota dalam setiap keputusan.
Gagasan koperasi di Indonesia sebagai people based association pun diyakini penting oleh Aidit (1963). Koperasi menjadi salah satu instrumen penting kemakmuran rakyat. Bagi Aidit, koperasi mempunyai unsur mempersatukan, yaitu mempersatukan rakyat yang lemah ekonominya. Dengan persatuan dan kerja sama rakyat ini yang kemudian dapat mengurangi penghisapan.
Dari gagasan-gagasan inilah ide koperasi memang didasarkan pada azas solidaritas, dan didirikan secara bottom-up. Para anggota adalah pemilik koperasi yang sah yang bisa mengoptimalkan modal bersama-sama untuk investasi membangun usaha.
Anggota koperasi dapat mengelola modal swa-mandiri, baik berupa tanggungan dana, agunan bersama dalam skema koperasi kredit atau yang lainnya. Melalui logika ini, semakin banyak anggota, efisiensi kolektif semakin menguat, modal pun semakin besar
Namun, perjalanan koperasi penuh liku. Pada era Orde Baru, KUD digagas sebagai mesin ekonomi desa. KUD bertugas mendistribusikan pupuk, kredit, dan hasil panen, tapi pendekatannya top-down. KUD jadi “koperasi tembak”, sekadar proyek negara minus keterlibatan anggota, hingga akhirnya dengan sendirinya mereka mandul dan menjadi fakir fasilitas negara.
Kondisi tersebut memperlemah modal sosial karena KUD dalam praktiknya banyak dimainkan oleh para elite desa yang menjadi pengurusnya. KUD lebih mirip alat politik ketimbang organisasi mandiri. Ketika Orde Baru runtuh, banyak KUD ikut ambruk karena ketergantungan pada subsidi.
Imbasnya kini citra koperasi, yang konon sokoguru ekonomi Indonesia itu, menjadi soko pinggiran. Padahal koperasi sebenanya memiliki kekuatan tersendiri dalam menandingi sistem ekonomi yang kapitalistik.
Kegagalan visi entreupeneur koperasi
Dalam menjalankan fungsinya, Koperasi Merah Putih di desa didesain untuk dapat menjalankan unit bisnis dengan skema entreupeneur. Skema ini nampaknya tidak jauh berbeda dengan fungsi koperasi KUD. Di masa lalu unit bisnis yang dijalankan KUD sebagai penyalur pupuk, benih dan mesin pertanian gagal berjalan. Mimpi swasembada pangan tidak pernah terjadi.
Dalam kultur masyarakat agraris, membangun entrepreneur dalam bingkai lembaga koperasi, bagaimanapun, bukan perkara mudah. Masyarakat agraris yang menempatkan on-farm sebagai napas utama, bakal sulit dipaksa untuk “naik kelas” industrial. Kultur dagang tradisional seperti—tengkulak, perantara—menjadi pesaing tak kasat mata. Di sisi lain, mengikuti Geertz (1963) sistem ekonomi rumah tangga masih kolektif, lebih mengutamakan stabilitas daripada inovasi.
Jennifer Alexander dalam Trade, Traders and Trading in Rural Java (1987) mencatat pedagang di Indonesia, terutama di Jawa lebih memilih tidak mengalokasikan untuk membeli mesin produksi yang mampu membuat bisnis berkembang pada skala lebih besar, namun lebih memilih membagi risiko dan keuntungan dengan merekrut anggota keluarga rumah tangga (household) sebagai bagian dari pekerja (labor).
Banerjee dan Duflo (2011) juga mencatat hal lain, bahwa hanya dua pertiga dari entreupeneur di Indonesia bertahan sampai lima tahun, yang bertahan lebih dari itu, hanya mempunyai satu karyawan.
Alasan mendasar mengapa hal ini terjadi adalah akses kredit yang sangat minim. Jikalau mendapat kredit, entreupeneur seringkali terjerat mikroredit dan bunga yang ujungnya tidak pernah bisa mentransformasi skala bisnisnya secara radikal meski telah berjalan belasan tahun. Jeratan mikrokredit ini menyebabkan banyak entreupeneur gagal dan berujung pailit.
Koperasi Merah Putih yang modal bisnisnya dicanangkan lewat pinjaman dari negara melalui bank BUMN dapat diduga bisa menjadi cerita kegagalan model entreupeneur yang sama. Tuntutan untuk melakukan monopoli dan cashback cepat dalam satu tahun menjelaskan bahwa rantai persoalan ini belum beranjak.
Tuntutan unit bisnis koperasi dengan pendekatan “gebyah uyah”—semua fungsi koperasi yang baru didirikan diperlakukan sama rata—justru semakin berpotensi mematikan inisiatif individu. Artian ini menjelaskan seharusnya koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat, unit bisnis tumbuh dari kebutuhan masyarakat, bukan paksaan birokrasi.
Dalam konteks ini daripada menjadi bisnis monopoli yang bersaing dengan anggotanya, koperasi idealnya memfasilitasi sinergi on-farm dan off-farm. Alih-alih sekadar menyediakan kredit pupuk, koperasi dapat mengorganisir pembelian bersama alat pertanian (on-farm) dan membuka peluang usaha sampingan seperti pengolahan hasil panen, kerajinan lokal atau membangun usaha pupuk mandiri (off-farm). Lewat skema bagi hasil dan modal bergulir, petani tak lagi bekerja terpisah: mereka menjadi bagian rantai nilai yang terkoordinasi.
Konsep yang digagas Chayanov (1986) ini juga menyoroti bahwa fluktuasi pendapatan on-farm menimbulkan kegiatan off-farm sebagai bantalan ekonomi. Aktivitas on-farm—mengolah lahan untuk kebutuhan konsumsi—dan off-farm—mencari penghidupan tambahan serta meningkatkan input pada on-farm—berlaku sebagai dua sisi mata uang kesejahteraan petani.
Gagasan Chayanov ini menjelaskan fungsi penting koperasi yang dapat berperan sebagai agregator: keterbatasan modal skala rumah tangga tani membatasi akses ke teknologi dan pasar. Koperasi dapat mengagregasi produk on-farm—padi, jagung, kelapa atau garam—dalam volume yang cukup serta berperan sebagai akselerator untuk memacu investasi di tingkat industri skala menengah (processing plant).
Dengan demikian, koperasi bukan hanya memotong tengkulak, tetapi juga menaikkan nilai produk petani melalui biaya input yang lebih murah serta dapat menjadi pengelola untuk meningkatkan nilai tambah suatu barang. Data FAO (2020) menggambarkan bahwa koperasi pertanian yang menerapkan model ini mampu meningkatkan nilai ekspor rata-rata 25 persen per tahun.
Koperasi model Chayanov ini juga telah menjadi konsep di banyak negara. Di India, koperasi IFFCO memiliki unit pabrik pembuatan dan pengelolaan pupuk secara mandiri yang dimiliki petani sebagai anggota koperasi. Konfedari koperasi di Tiongkok bernama ACFSMC menghimpun 22.537 koperasi, dengan anggota perorangan mencapai 160 juta memiliki unit bisnis alat dan teknologi pertanian yang dikembangkan mandiri.
Di Spanyol, Mondragon membuktikan koperasi multi-industrial mampu mengelola 100 lebih perusahaan dan menyerap puluhan ribu tenaga kerja. Fairtrade Coffee Cooperatives di Amerika Latin pun menegaskan pentingnya sertifikasi independen.
Keberhasilan koperasi seperti model Chayanov ini tidak lepas dari manajemen profesional koperasi: pembagian dividen berbasis kontribusi, rotasi kepengurusan, dan penggunaan teknologi informasi untuk memantau stok dan keuangan. Prinsip Chayanovian—menciptakan buffer ekonomi antar aktivitas rumah tangga tani—terwujud dalam mekanisme modal bersama dan diversifikasi usaha koperasi.
Di sini negara punya peran krusial, tapi bukan sebagai pengendali. Dukungan seperti kerangka hukum yang jelas, akses modal, dan pendidikan bagi anggota jauh lebih dibutuhkan ketimbang intervensi langsung. Model multi-pihak—melibatkan anggota, pekerja, dan komunitas lokal—dapat menjadi solusi. Gibson-Graham (2006) dalam studinya menunjukkan pendekatan inklusif ini menciptakan ekonomi yang lebih tangguh dan adil.
Koperasi multipihak
Daripada terus menambah jumlah koperasi, ada yang jauh lebih penting untuk dikembangkan pemerintah yaitu memikirkan agar jumlah keanggotaan koperasi dapat terus meningkat. Sebagai people based association, berbeda dengan Indonesia, banyak negara tengah merampingkan jumlah koperasi untuk meningkatkan keanggotaan suatu koperasi sehingga unit bisnis yang dijalankan mendapatkan lebih banyak modal.
Dalam upaya merampingkan banyaknya koperasi yang hanya “papan nama” kemudian digagas model koperasi multipihak yang dapat menampung tidak hanya perorangan, namun juga institusi hingga lembaga pemerintah. Tidak seperti koperasi tradisional yang sering terpusat, koperasi multipihak memberikan keleluasaan bagi setiap anggota untuk berpartisipasi aktif.
Koperasi model multistakeholder juga dapat lebih heterogen: petani, pelaku UMKM, distributor, dan pemerintah daerah dapat duduk satu meja. Dewan Pengurus melibatkan semua aktor rantai nilai, sehingga kebijakan mencerminkan kepentingan on-farm, off-farm, dan skala besar.
Dalam sistem koperasi multipihak, keputusan diambil secara kolektif, baik antara on-farm (produksi), off-farm (distribusi dan input usaha) bahkan konsumen dan keuntungan dibagi berdasarkan kontribusi masing-masing pihak.
Dengan model ini, rantai pasokan akan didorong menjadi tanggung jawab bersama dan memastikan bahwa koperasi tidak dikuasai oleh segelintir orang. Model ini juga lebih responsif terhadap kebutuhan lokal, karena melibatkan komunitas dalam prosesnya. Pentingnya model ini terletak pada kemampuannya mengatasi tantangan ekonomi seperti kemiskinan dan ketidaksetaraan harga yang seringkali terjadi baik pada on-farm maupun konsumen, sekaligus menjaga kemandirian dari intervensi politik yang berlebihan.
Sebagai contoh, model ini dapat memberikan keringanan petani kopi on-farm dengan menjual hasil panen mereka ke koperasi, yang kemudian oleh koperasi diolah menjadi produk bernilai tambah seperti kopi bubuk atau kopi kemasan. Langkah ini mampu meningkatkan pendapatan mereka dibandingkan menjual mentah ke tengkulak.
Sistem ini juga sekaligus menjadi integrasi yang menciptakan rantai nilai yang lebih inklusif—semua pihak bekerja bersama dan berbagi hasil. Dalam lingkup desa, BUMDES yang banyak menemui kegagalan serta kelompok tani secara lembaga juga dapat mendaftarkan keanggotaan.
Model koperasi multipihak juga memberikan keleluasaan bagi anggota untuk tidak sekadar menjadi entrepreneur individu yang terisolasi. Mereka adalah bagian dari jaringan yang saling mendukung, di mana tanggung jawab individu seimbang dengan dukungan kolektif. Ini menciptakan keseimbangan antara semangat entrepreneur dan solidaritas sosial.
Kembali ke Balai Desa itu, pertemuan penuh keraguan tadi adalah cermin realitas. Jika Hatta bermimpi koperasi memerdekakan ekonomi rakyat, dan Chayanov mengingatkan kompleksitas rumah tangga tani, maka Koperasi “Komando” Merah Putih mungkin akan menjadi harapan, hanya jika dapat menjadi laboratorium nyata: memadukan on-farm, off-farm, dan industri skala besar dalam sistem ekonomi yang semakin tidak pasti.
Jika koperasi tak menumbuhkan ekonomi rakyat, gagal bukan pada akar rumput, tetapi di kepala yang terperangkap doktrin usang—doktrin yang harus dilucuti untuk masa depan koperasi yang benar-benar milik rakyat.