Kartini adalah manusia multitalenta. Bukan hanya pemikir yang cemerlang, penggerak emansipasi, seorang pendidik, penulis yang tajam, dan memiliki jiwa seni yang kuat, Kartini juga dikenal sebagai ahli batik.
Nah, memperingati Hari Batik Nasional, tak elok rasanya jika tidak menelusuri kiprah Kartini dalam memperkaya seni batik Indonesia, sekaligus menjadi duta batik pertama di panggung internasional.
Dalam bukunya, Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer menceritakan, Kartini sudah mulai mengenal seni batik pada usia 12 tahun. Konon, ia belajar membatik pada seorang pekerja tetap di lingkungan kadipaten. Namanya Mbok Dullah.
Saat itu, karena desakan tradisi feodal, Kartini harus meninggalkan bangku sekolah dan memulai hidup dalam pingitan. Namun, dalam penjara feodalisme itu, daya kreasinya tak mati. Ia menghasilkan batik buah tangan sendiri.
Kartini dan saudaranya selalu mengenakan batik hasil karya sendiri saat berkunjung ke suatu tempat atau menghadiri acara penting.
Nicolaus Adriani, ahli bahasa yang pada 1884 dikirim Perkumpulan Kitab Injil Belanda untuk mempelajari bahasa Toraja, bertemu dengan Kartini dan dua saudaranya, Roekmini dan Kardinah di Batavia.
Kisah pertemuan itu ditulis dalam sebuah buku harian berjudul “Depok, September 1900”. Di momen pertemuan itu, Kartini dan dua saudaranya mengenakan kebaya putih dan sarung batik buatan sendiri.
“Ketiga-tiganya memakai sarung batik indah, buatan sendiri, berwarna cokelat memikat,” tulis Adriani, seperti dikutip Pramoedya Ananta Toer dalam “Panggil Aku Kartini”.
Menurut Pram, Kartini juga sering menjadikan batik sebagai hadiah istimewa. Misalnya, ia pernah menghadiahkan sarung batik kepada Nyonya Abendanon, istri Direktur Departemen Pengajaran Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda pada tahun 1900-1905.
Pada 1898, di Den Haag, Belanda, diadakan Pameran Nasional Karya Perempuan. Ratu Wilhelmina, yang datang mengunjungi pameran itu, tertarik pada sebuah stan bertuliskan “Java”. Di stan itu dipamerkan berbagai karya perempuan-perempuan Hindia-Belanda, termasuk dari Jawa.
Rupanya, Ratu Belanda itu tertarik pada batik. Saking tertariknya, dia membolak-balik dan membaca naskah yang menulis tentang kisah batik dan teknik pembuatannya.
Di stan itu, ada naskah berjudul “Handschrift Japara”, yang ditulis dengan bahasa Belanda oleh perempuan Jawa. Naskah itu telah memperkenalkan karya tangan atau kerajinan rakyat Nusantara, termasuk batik, kepada dunia luar.
Dan menariknya, naskah itu adalah hasil karya tulis Kartini. Berkat naskah Handschrift Japara, perhatian orang Belanda dan dunia terhadap karya seni Nusantara, termasuk batik, semakin besar.
Kartini tentu bangga tulisannya telah mengangkat derajat karya seni rakyat Hindia-Belanda. Seperti ditulis dalam surat kepada teman Belandanya, Estelle Zeehandelaar, berikut:
“Sebuah karangan tentang batik, yang tahun lalu kutulis buat pameran karya wanita, dan sejak itu tak terdengar kabar beritanya, akan diterbitkan karya-standar tentang batik, yang segera akan terbit.” (Jepara, 6 November 1899, Panggil Aku Kartini Saja, 2003:183).
Boleh dikatakan, Kartini adalah orang pertama yang memperkenalkan batik ke dunia internasional. Maka sepatutnya ia diberi penghargaan sebagai Duta Batik pertama.
Warisan Kartini dalam teknik dan seni batik masih lestari. Kita tentu mengenal Batik Kartini. Kain batik ini merupakan batik tulis yang dibuat oleh Raden Adjeng Kartini (1879-1904). Motif kain dipenuhi dengan rangkaian bunga kecil-kecil (buketan) dan kupu-kupu dalam gaya Hindu-Jawa.
Selamat Hari Batik Nasional