Jokowi dan Warisan Ketimpangan Ekonomi

Pada 20 Oktober nanti, Presiden Joko Widodo akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden RI. Setelah dua periode (satu dekade) memerintah negeri ini, apa yang diwariskannya?

Bukan cuma politik dinasti. Bukan hanya KPK yang sudah lumpuh karena tiang-tiang penopang independensinya sudah ditebang. Tak hanya tumpukan utang yang nilainya lebih dari Rp 8000 triliun. Satu yang terpenting dan bersifat struktural: ketimpangan ekonomi.

Laporan terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) yang diberi tajuk “Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Miskin”, makin membuat kita mengelus dada.

Laporan itu menyuguhkan fakta pahit: kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia. Dalam kurun waktu enam tahun ke depan, Indonesia akan memiliki kuadriliuner pertama dalam sejarah. Ingat, 1 kuadriliun berarti 1.000 triliun.

Jadi, sebentar lagi Indonesia akan punya orang kaya dengan nilai kekayaan ribuan triliun, sementara pada Maret 2024 masih ada 25,2 juta orang Indonesia hidup dengan pengeluaran Rp 582.932 per bulan.

“Sementara, pada saat yang sama, butuh waktu 133 tahun untuk menghilangkan kemiskinan di Indonesia,” tulis laporan itu.

Temuan Celios juga menyingkap betapa Indonesia sebetulnya belum keluar dari jebakan ekonomi ekstraktif. Padahal, sejak awal periode kedua lalu, Presiden Jokowi resmi mengusung narasi besar: hilirisasi SDA.

Dalam laporan ini, Celios mengungkapkan bahwa separuh dari 50 orang terkaya di Indonesia terafiliasi dengan bisnis industri ekstraktif. Sekalipun industri raksasa ini merupakan kontributor utama pendapatan pemerintah melalui pajak dan royalti, hasil dari aktivitas industri ini acap kali hanya mengalir pada segelintir elite negeri ini.

Uniknya, pemain-pemain sektor ekstraktif tak jauh-jauh dari lingkaran Presiden Jokowi sendiri. Laporan Celios menyebutkan, empat menteri dalam deretan menteri dengan kekayaan di atas Rp 1 miliar menikmati keuntungan dari industri pertambangan. Hal ini menunjukkan adanya akses monopoli yang memuluskan akumulasi pendapatan bagi pejabat publik.

Mirisnya lagi, di tengah kabar media soal ambruknya kehidupan kelas menengah Indonesia, kehidupan para pejabat di lingkaran kekuasaan justru makin meningkat.

Menurut laporan Celios, tidak sedikit triliuner di Indonesia yang bertengger dalam kabinet pemerintahan Jokowi periode kedua ini. Setidaknya ada 17 persen atau tujuh menteri Joko Widodo yang tercatat memiliki kekayaan di atas Rp 1 triliun.

Selama periode 2019 sampai 2023, rerata kekayaan menteri dalam Kabinet Presiden Jokowi periode kedua mencapai Rp 478,17 miliar per orang.

“Akumulasi kekayaan para menteri tersebut jika dialokasikan untuk program makan bergizi gratis dapat terdistribusi kepada 32,85 juta anak di seluruh Indonesia,” demikian tertulis dalam laporan Celios.

Tak hanya di dunia pemerintahan, ketimpangan juga hadir melilit dunia kerja. Dari laporan Celios disebutkan, di banyak perusahaan besar, paket kompensasi untuk para eksekutif seringkali jauh melebihi gaji para pekerja biasa dan berkontribusi pada akumulasi kekayaan yang besar.

“Sebaliknya, para pekerjanya justru mendapatkan gaji yang tidak dibarengi dengan tambahan insentif yang signifikan,” lanjut laporan tersebut.

Sejak bulan lalu hingga hari-hari ini, kita mendapat cerita tentang menyusutnya kelas menengah di tengah impitan ekonomi. Pada 2019, jumlah kelas menengah masih 21,45 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, tahun ini jumlahnya tinggal 17,44 persen atau 47,85 juta jiwa.

Sebagian besar mereka jatuh menjadi calon kelas menengah atau aspiring middle class. Pada 2019, jumlah calon kelas menengah ini mencapai 128,85 juta. Sekarang jumlahnya bertambah menjadi 137,5 juta jiwa.

Jumlah kelompok rentan (vulnerable), yang sedang bergantung di ranting kayu dan sangat rapuh untuk jatuh ke lubang kemiskinan, justru ikut meningkat. Pada 2019, jumlahnya mencapai 54,97 juta. Namun, pada 2024, jumlahnya meningkat menjadi 67,69 juta jiwa.

Scene tentang ketimpangan lebar ini tertangkap kamera dari kehidupan keluarga presiden. Pada 20 Agustus lalu, anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, bersama istrinya menggunakan pesawat jet pribadi saat bepergian ke AS.

Di media sosial, Erina Gudono, istri Kaesang, menantu Presiden Jokowi, memposting foto sedang menikmati roti harga Rp 400 ribu. Harga sepotong roti itu setara gaji puluhan ribu honorer di daerah yang hanya berkisar Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Miris.

Di Indonesia, berdasarkan survei IDEAS, ada 13 persen guru honorer digaji di bawah Rp 500 per bulan. Dan, 74 persen digaji di bawah Rp 2 juta per bulan. Sementara itu, beredar video seorang menteri yang juga ketua partai memamerkan pemberian segepok uang kertas seratus ribuan untuk cucunya yang berulang tahun.

Cerita ketimpangan ini hadir di negeri yang ideologi negaranya mencantumkan keadilan sosial sebagai nilai tertinggi. Miris.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Bung Hatta dan Pemikirannya tentang Demokrasi

Bung Hatta dan Pemikirannya tentang Demokrasi

Muhammad Hatta atau Bung Hatta merupakan tokoh yang mendedikasikan hidupnya

Next
Kacamata Tokoh Pergerakan Indonesia

Kacamata Tokoh Pergerakan Indonesia

Kacamata menjadi bagian dari identitas kaum pergerakan Indonesia

You May Also Like
Total
0
Share