Banyak yang bertanya-tanya, kenapa warna merah selalu nempel dengan hal-hal berbau kiri. Dari bendera demonstrasi buruh, logo partai sosialis, sampai mawar merah di dada para aktivis, nyaris semuanya berwarna merah.
Tapi sejak kapan warna ini jadi identik dengan gerakan kiri? Yuk, kita bedah kisahnya.
Ternyata, merah bukan sekadar pilihan warna. Ia adalah warisan sejarah yang sangat tua—dan sangat politis.
Warna tertua dalam sejarah manusia
Berdasarkan riset arkeologis yang dikutip The Guardian, warna merah adalah pigmen pertama yang digunakan manusia. Di Gua Blombos, Afrika Selatan, ditemukan oker merah yang digunakan 100 ribu tahun lalu, jauh sebelum kita mengenal tulisan atau pertanian. Manusia purba menggambar simbol di dinding gua, mengecat tubuh mereka, dan bahkan menggunakan merah dalam penguburan.
Kenapa merah? Secara biologis, warna ini paling mudah dilihat mata manusia. Merah adalah warna darah, api, dan bahaya—yang langsung memicu reaksi emosional. Dalam banyak kebudayaan kuno, merah melambangkan hidup dan mati sekaligus: kehidupan yang mengalir lewat darah, dan ancaman yang datang lewat luka.

Dalam buku “Red: The History of a Color” karya Michel Pastoureau, dijelaskan bahwa merah adalah warna kekuasaan, hasrat, dan kekerasan. Ia digunakan raja dan imam, tapi juga algojo dan pemberontak.
Pada zaman kuno dan abad Pertengahan, merah dipakai kaisar Romawi, raja-raja Eropa, sampai Paus sebagai lambang otoritas dan kuasa. Federasi suku-suku di Arab juga banyak yang memakai merah sebagai bendera.
Kapan merah Jadi simbol politik?
Perjalanan merah sebagai simbol politik dimulai dari Revolusi Prancis. Pada 1358, pemberontakan petani Jacquerie sudah memakai simbol kain penutup kepala merah sebagai simbol perlawanan.
Jelang Revolusi Prancis 1789, warna merah mulai muncul sebagai simbol revolusi, selain biru. Pita tiga warna Prancis, biru, putih, merah, dianggap mewakili tiga kelas dalam masyarakat Prancis: pendeta (biru), bangsawan (putih), dan rakyat jelata (merah). Saat itu, kaum revolusioner juga memperkenalkan penutup kepala merah, yang disebut Phrygian, sebagai simbol kaum revolusioner.
Pada Juli 1791, Garda Nasional mengibarkan bendera merah sebagai simbol situasi darurat dan menyuruh massa rakyat untuk bubar. Namun, rakyat menolak bubar. Sekitar 50-an rakyat jelata gugur sebagai martir. Kaum Jacobin kemudian mengibarkan bendera merah sebagai penghormatan kepada para martir sekaligus simbol pemberontakan. Sejak itulah kain merah polos identik dengan revolusi.

Saat revolusi anti-feodal mengguncang seantero Eropa pada 1848, bendera merah mulai identik dengan kaum sosialis dan revolusioner. Di Prancis, bendera merah diusulkan sebagai bendera resmi, tetapi ditolak. Sebagai gantinya, kaum sosialis dan radikal mulai menggunakan hiasan kain berbentuk mawar berwarna merah yang ditempel di dada atau jas.
Pada revolusi 1871, yang melahirkan Komune Paris, kaum sosialis makin lekat dengan bendera merah. Sejak itulah bendera merah tersebar sebagai simbol sosialis.
Di Jerman, pada 1878, demi menangkal menguatnya pengaruh sosialis, Bismarck mengeluarkan undang-undang anti-sosialis. Simbol-simbol sosialis dilarang, termasuk bendera merah. Sebagai gantinya mereka memakai mawar merah.
Para sosialis pelarian dari Jerman kemudian menyebarkan simbol mawar merah ke berbagai penjuru Eropa dan Amerika.
Johann Most, seorang sosialis Jerman, mengenakan mawar merah saat berorasi mendukung para aktivis yang ditangkap karena terkait peristiwa kerusuhan Haymarket 1886.

Merah dan sosialisme
Simbolisme merah terus berkembang. Di akhir abad ke-19, gerakan buruh mulai mengadopsi warna merah sebagai lambang perjuangan yang lebih manusiawi.
Di Rusia, kaum Bolshevik menggunakan merah sebagai simbol, yang dipadukan dengan simbol bintang berwarna merah dan palu-arit. Setelah kemenangan Revolusi Rusia 1917, bendera merah dengan logo palu arit menjadi bendera resmi Uni Soviet.
Sejak itulah bendera itu resmi diadopsi oleh gerakan kiri di berbagai belahan dunia. Apalagi setelah bendera merah dengan simbol palu arit juga diadopsi sebagai simbol resmi oleh Komunis Internasional (Komintern) pada 1919-1943.
Partai-partai komunis di seantero di dunia, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), menggunakan bendera merah dengan logo palu arit. Dalam perjuangan kemerdekaan, partai-partai berorientasi kiri, dari nasionalis seperti PNI, sosialis, hingga komunis, juga menggunakan warna merah, dari bendera hingga logo bintang merah.
Dunia berganti rupa
Kini, banyak gerakan kiri tak lagi terpaku pada warna merah. Di Amerika Latin, misalnya, banyak partai kiri justru menggunakan warna cerah dan simbol rakyat lokal.
Movimiento al Socialismo (MAS), partai yang didirikan oleh Evo Morales bersama petani dan masyarakat adat di Bolivia, memakai warna biru langit. Frente Amplio, koalisi kiri di Uruguay, juga tak menggunakan warna dominan merah. Frente Amplio, koalisi kiri yang dibentuk mantan aktivis mahasiswa di Chile dan mengantarkan Gabriel Boric sebagai presiden, justru dominan biru. Humana Colombia, koalisi kiri yang mengantarkan Gustavo Petro sebagai presiden, justru memakai warna-warni. Gerakan feminis kiri di Argentina melambai-lambaikan kain hijau.

Di Spanyol, partai kiri progresif Podemos menggunakan warna ungu sebagai simbol perlawanan terhadap monarki dan patriarki. Ungu di sini juga punya sejarah panjang—warna gerakan republik Spanyol tahun 1930-an yang anti-kerajaan.
Fenomena ini menandakan transformasi: kiri masa kini tak lagi satu warna. Ia bukan hanya merah darah, tapi juga ungu solidaritas, hijau lingkungan, bahkan pelangi inklusif. Estetikanya berkembang seiring konteks sosial, budaya, dan isu-isu yang diangkat.
Merah adalah warna dengan sejarah panjang—dari dinding gua purba sampai revolusi jalanan, dari simbol rakyat sampai lambang negara. Ia menyimpan semangat perjuangan, keberanian, dan solidaritas.
Tapi dunia terus bergerak. Kini, kiri tidak lagi identik dengan merah saja. Warna lain ikut bicara: ungu, hijau, biru, bahkan bendera warna-warni queer dan feminis. Yang penting bukan hanya simbolnya, tapi nilai yang dibawa: keadilan sosial, kesetaraan, dan dunia yang lebih manusiawi.
Merah mungkin bukan satu-satunya warna perjuangan. Tapi selama masih ada yang tertindas, merah akan tetap hidup—di dada mereka yang melawan, di suara mereka yang berseru: dunia bisa lebih adil dari ini.