Di balik ingar bingar pemilu dan pilkada, ada satu elemen yang masih dipercaya para kontestan untuk meningkatkan peluang menang, yakni faktor mistis. Klenik, meski terkesan tak masuk akal bagi sebagian orang, tapi kerap dianggap sebagai “jurus rahasia” untuk meraih dukungan atau mengalahkan lawan.
Tidak hanya di desa-desa terpencil, beberapa kandidat dari kota besar pun kerap menyisipkan ritual-ritual khusus dalam rangkaian persiapan untuk memenangkan proses demokrasi itu. Itu, mulai dari mencari restu dari “orang pintar” hingga ritual pengasihan untuk memikat hati pemilih.
Beberapa praktik mistis yang populer di kalangan kontestan, antara lain “pasang susuk” untuk menambah kharisma atau pesona saat kampanye. Ini dianggap mampu membantu para kandidat tampil lebih berwibawa dan mudah diingat oleh masyarakat.
Selain itu, ada pula yang mempercayai jimat khusus untuk keberuntungan atau menyingkirkan energi negatif dari lawan. Benda-benda seperti keris kecil, minyak wangi tertentu, atau batu-batu akik kerap dibawa atau dikenakan dalam setiap pertemuan besar. Meski tak terlihat, benda-benda tersebut dipercaya bisa memberikan “perlindungan” dan menambah daya pikat di mata calon pemilih.
Selain jimat dan susuk, beberapa kontestan juga melakukan tirakat atau semedi di tempat-tempat yang dianggap memiliki energi spiritual tinggi, seperti Gunung Lawu atau Pantai Parangtritis. Aktivitas seperti ini biasanya dilakukan menjelang hari-hari penting, dengan harapan mendapat “berkah” dari leluhur atau kekuatan alam. Praktik tirakat ini memiliki unsur simbolis, bahwa kandidat tidak hanya mengandalkan kekuatan politik atau materi, tetapi juga memohon bimbingan spiritual agar tetap berada di jalur benar.
Lalu, seberapa efektifkah praktik-praktik ini dalam membantu kemenangan kandidat? Secara empiris, memang sulit diukur, karena kemenangan dalam pemilu atau pilkada lebih banyak dipengaruhi oleh strategi kampanye, jaringan politik, dan visi yang kuat.
Namun, bagi para kandidat yang mempercayainya, ritual-ritual ini memberi ketenangan dan kepercayaan diri. Kepercayaan pada hal mistis seringkali memperkuat mental, hingga pada akhirnya berdampak positif pada performa di lapangan. sebagainya.
Bagi mereka, efek sugesti dari jimat atau ritual ini adalah bentuk “ikhtiar batin”. Laku ini dianggap tak kalah penting dari proses politik yang harus mereka hadapi, seperti kampanye terbuka, debat kandidat dan lain sebagainya.
Selain itu, praktik mistis dalam pemilu sering memunculkan kisah-kisah unik. Misalnya, cerita tentang kandidat yang “terhalang” saat akan mendekati massa tertentu karena disinyalir “dijauhkan” oleh kekuatan gaib dari kubu lawan.
Bahkan, ada juga kisah tentang saling menyerang secara mistis hingga tim sukses harus membawa “penjaga” spiritual ke acara-acara besar. Meskipun kisah ini terkesan konyol, tapi nyatanya tetap diyakini sebagai bagian dari strategi “perlindungan” dari serangan mistis lawan.
Faktor mistis ini adalah cermin dari budaya dan kepercayaan yang masih lekat dengan keseharian kita. Meski bukan jaminan pasti kemenangan, bagi mereka yang percaya, aspek mistis ini dianggap sebagai pelengkap ikhtiar. Bagi sebagian orang, kemenangan atau kekalahan mungkin tetap dianggap tak lepas dari takdir. Maka, antara mistis, doa, dan strategi, semua berpadu dalam cara yang unik di setiap pemilu.
Boleh dibilang, praktik ini menghadirkan sisi tak kasat mata yang tak kalah menarik dari persaingan politik itu sendiri.