10 Aksi Protes Mahasiswa Pembawa Perubahan Sosial

“Masih usia muda tapi tidak revolusioner, itu kontradiksi biologis,” kata Salvador Allende, seorang dokter kiri yang terpilih sebagai presiden Chile pada 1971.

Allende tidak berlebihan. Dalam banyak persimpangan sejarah, anak-anak muda kerap menjadi sekrup yang penting untuk menggerakkan roda sejarah. Revolusi Prancis, yang menjadi pembuka pintu ke dunia modern, digerakkan oleh anak muda usia 30-an tahun bernama Maximilien de Robespierre.

Sejak itu, sejarah mencatat letupan-letupan sejarah yang dipicu oleh kaum muda, terutama mahasiswa. Biasanya, mereka menggelar protes di jalanan, mogok makan, pendudukan (sit in), mogok kuliah, mimbar bebas, teatrikal, hingga mendatangi kantor-kantor pemerintah.

Tak jarang terjadi, ketika berhadapan dengan rezim otoriter, aksi tersebut mendapat represi brutal. Namun, represi itu justru menjadi titik ledak yang memicu aksi protes berskala luas, menyeret sektor sosial lain, hingga menggulingkan kekuasaan otoriter.

Berikut ini 10 aksi protes yang digerakkan oleh mahasiswa dan berhasil memicu perubahan sosial.

Angela Davis di tengah aksi gerakan hak-hak sipil di AS. Kredit: Getty Images

1. Gerakan hak sipil di AS

Empat orang mahasiswa North Carolina Agricultural and Technical State University, Ezell Blair Jr. (18), Franklin McCain (19), Joseph McNeil (17), dan David Richmond (18), masuk ke FW Woolworths. Mereka duduk di sebuah meja dan menolak untuk pergi.

Untuk diketahui, di masa itu, praktik segregasi di restoran, rumah makan, dan kafe di AS sangat kuat. Orang kulit hitam dipisahkan dengan mereka yang berkulit putih. Mirip dengan praktik diskriminasi zaman Hindia-Belanda: pribumi dilarang masuk ke restoran orang Eropa.

Rupanya, aksi empat mahasiswa keren itu berdampak. Dalam tiga hari, ratusan mahasiswa ikut bergabung. Dalam sekejap, aksi ini menyebar ke 50 kota di AS. Walhasil, demi mencegah kerugian, banyak restoran di AS mengakhiri kebijakan segregasi.

Namun, dampak aksi itu tak berhenti. Ketika semakin banyak mahasiswa yang bergabung, muncul inisiatif untuk melahirkan wadah perlawanan. Di sinilah lahir organisasi mahasiswa kiri: Student Nonviolent Coordinating Committee (SNCC).

Organisasi ini yang mengorganisir aksi Freedom Rides (aksi mengakhiri segregasi di atas bus) dan registrasi pemilu (memperjuangkan hak pilih warga kulit hitam) untuk menghapus segregasi sekaligus mewujudkan kesetaraan hak.

Tak bisa dipungkiri, SNCC merupakan pilar penting gerakan hak-hak sipil di AS selama 1954-1968. Gerakan ini, dengan tokohnya W.E.B. Du Bois, Malcolm X, Rosa Parks, Martin Luther King, Jr., merupakan salah satu gerakan protes sosial paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia.

Demonstrasi anti perang Vietnam di Washington, 1967. Kredit: The Newyork Times

2. Gerakan anti-perang Vietnam

Lagi-lagi bermula dari kampus. Jadi, demi memuaskan ambisinya menaklukkan komunis Vietnam, AS memobilisi tentara dalam skala besar. Bahkan merekrut paksa 2 juta anak muda untuk dikirim ke perang.

Anak-anak muda tidak terima dengan hal itu. Selain menganggap perang itu tak penting bagi AS, kekejaman perang juga bertentangan dengan prinsip Konstitusi AS: setiap orang dilahirkan setara.

Pada 1968, saat kampanye, Richard Nixon menjanjikan penghentian perang. Namun, saat terpilih, ia malah menginvasi Kamboja. Ini yang membuat kampus-kampus di AS langsung bergerak dan melawan.

Salah satunya Kent State University. Saat itu, mahasiswa hendak menggelar aksi protes. Namun, pihak kampus justru mengeluarkan larangan. Tetapi protes tetap berlangsung dengan melibatkan 3.000-an mahasiswa.

Akhirnya, tentara dari Garda Nasional dikerahkan untuk menghentikan aksi itu. Mahasiswa melawan dengan lemparan batu, sementara tentara melepaskan tembakan peluru tajam. Empat mahasiswa tewas seketika. Kejadian itu diabadikan oleh John Filo dan meraih penghargaan Pulitzer.

Pasca kejadian itu, kampus sempat ditutup. Namun, hari-hari berikutnya 4 juta mahasiswa seantero AS melakukan mogok kuliah sebagai bentuk solidaritas. Kejadian itu juga mengobarkan sentimen anti-perang Vietnam.

Salah satu motor dari gerakan anti perang Vietnam, yaitu Students for a Democratic Society (SDS). Berdiri pada 1960, SDS dipengaruhi ide-ide kiri, terutama kiri baru. Kelak, bersama SNCC, SDS ini yang memainkan peran penting dalam menggabungkan protes hak-hak sipil dengan anti-perang Vietnam.

Aksi demonstrasi di Paris, Mei 1968. Kredit: Wikipedia Commons

3. Revolusi Mei 1968 di Prancis

Tahun 1959, Charles de Gaulle, tentara yang memimpin Prancis dalam melawan Nazi, terpilih sebagai presiden. Ia seorang konservatif dan agak otoriter.

Sewaktu berkuasa, ia menjadikan stabilitas sebagai kunci. Tidak boleh ada gangguan. Dan, demi stabilitas, segala aspek kehidupan rakyat Prancis hendak dikontrol, termasuk pakaian dan urusan privat.

Bagi warga Prancis, yang dibesarkan oleh ide-ide revolusi 1789 dengan liberte, egalite, dan fraternite, tentu ide-ide de Gaulle terlalu kolot dan konservatif. Terlebih lagi, Prancis kala itu lagi mengalami ledakan populasi anak muda, yang sedang dibuai oleh teori-teori kiri baru.

Mereka pun melawan. Dimulai dari University of Paris (sekarang Paris Nanterre University), di Kota Nanterre, pada 22 Maret 1968, ketika 150-an mahasiswa kiri bersama beberapa seniman menduduki gedung universitas.

Mereka memprotes birokratisme dan pengekangan dalam kehidupan kampus, termasuk kebijakan pemisahan asrama laki-laki dan perempuan.

Gerakan ini dipimpin oleh Daniel Cohn-Bendit, seorang mahasiswa sosiologi keturunan Jerman. Kelak, anak muda ini yang menjadi icon Revolusi Mei 1968 di Prancis.

Meski berhadapan dengan represi, aksi ini bertahan hingga Mei 1968. Pada 2 Mei 1963, otoritas kampus menutup University of Paris. Keesokan harinya, 3 Mei 1968, mahasiswa di Sorbonne Campus of the University of Paris (sekarang Sorbonne University) menggelar rapat umum. Mereka memprotes penutupan kampus di Nanterre.

Besok malamnya, Polisi mendatangi kampus. Tamu tak diundang ini merangsek ke dalam kampus, lalu memukuli dan menangkapi mahasiswa. Bentrokan tak terhindarkan. Dalam kejadian ini, 100-an mahasiswa terluka dan 596 ditangkap.

Kejadian itulah yang menyulut revolusi. Hampir 100 ribu mahasiswa turun ke jalan untuk solidaritas. Aksi ini pun terus digebuk. Akhirnya, sang tulang punggung revolusi, yaitu kelas pekerja, yang turun ke gelanggang.

Konfederasi Umum Serikat Buruh (CGT), serikat buruh terbesar di Prancis kala itu, memobilisasi 200 ribu massa turun ke jalan pada pertengahan Mei 1968. Hampir ratusan pabrik dan kampus diduduki oleh buruh dan mahasiswa.

Puncaknya, pada 18-20 Mei 1968, jumlah protes mulai mencapai puluhan juta orang. Rezim de Gaulle mengkeret. Nyali veteran perang dunia kedua ini ciut, lalu melarikan diri ke Jerman meminta perlindungan.

Tank di tengah aksi protes mahasiswa di Plaza de las Tres Culturas, Meksiko. Kredit: Wikipedia

4. Pembantaian Tlatelolco (1968)

Claudia Sheinbaum, ilmuwan kiri yang terpilih sebagai presiden Meksiko pada 2024 lalu, akan selalu mengingat tragedi pilu dalam pergerakan mahasiswa Meksiko: pembantaian Tlatelolco.

Bapak-ibunya adalah aktivis mahasiswa yang terlibat dalam tragedi itu. Selain itu, sebagai alumni National Autonomous University of Mexico (UNAM), tragedi Tlatelolco adalah lubang hitam dalam sejarah kampus yang melahirkan banyak orang kiri itu.

Jadi, saat itu Presiden Meksiko Gustavo Díaz Ordaz sedang dipusingkan oleh gerakan buruh dan petani. Ia hanya memakai jalan pintas: represi dan bungkam. Alih-alih mau berdialog, dia menegakkan ketertiban umum dengan laras senapan.

Gerakan mahasiswa tak terima. Sebagai kaum terdidik, mereka paham bahwa politik harusnya ruang dialog, bukan pamer senjata dan represi. Kebetulan, tahun itu Meksiko juga akan jadi tuan rumah perhelatan olahraga terakbar di dunia: Olimpiade 1968.

Merespons itu, dua kampus paling kiri di Meksiko, Universitas Otonom Nasional Meksiko (UNAM) dan Institut Politeknik Nasional (IPN), membentuk komite perlawanan: Dewan Pemogokan Nasional (CNH).

Pada 2 Oktober 1968, lebih dari 10 ribu mahasiswa berkumpul di Plaza de las Tres Culturas. Mereka menggelar mimbas bebas dan teatrikal. Mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan: ¡No queremos olimpiadas, queremos revolución! (Kami tak butuh olimpiade, kami butuh revolusi).

Rupanya, Presiden Gustavo Díaz Ordaz dan Mendagri Luis Echeverría sudah menyiapkan 5.000 tentara, ratusan tankette (tank berukuran kecil), dan penembak jitu. Seluruh jalan menuju lokasi aksi ditutup. Batalion Olympia, pasukan khusus pemerintah, ditempatkan di gedung-gedung dan apartemen dengan senjata mesin.

Hari itu, Plaza de las Tres Culturas jadi ladang pembantaian mahasiswa tak bersenjata. Tak terhitung jumlah orang tewas dan terluka dalam kejadian itu.

Esoknya, media melaporkan 20-28 orang tewas dalam kejadian itu. Ratusan orang lainnya terluka. Namun, banyak yang meragukan laporan media itu. Investigasi terhadap kejadian itu menduga jumlah korban mencapai ratusan orang. Selama puluhan dekade, tragedi pembantaian Tlatelolco tertutup rapat dan tak terungkap. Meski begitu, tragedi itu menginspirasi pergerakan mahasiswa Meksiko di masa-masa berikutnya hingga kini.

Hector yang sekarat dalam gendongan Mbuyisa Makhubo, diiringi tangisan kakaknya, Antoinette Pieterson, dalam tragedi pembantaian Saweto, 1976. Kredit: Wikipedia

5. Pemberontakan Soweto 1976 di Afrika Selatan

Pada 1974, rezim apartheid di Afrika Selatan mengeluarkan kebijakan Afrikaans Medium Decree, yang mewajibkan sekolah-sekolah menggunakan bahasa Afrikaans sebagai bahasa pengantar untuk pelajaran tertentu.

Bagi warga Afrika berkulit hitam, Afrikaans adalah bahasa kaum penindas. Sementara bahasa asli orang-orang Afrika semakin terpinggirkan. Pelajar dan siswa pun menggelar aksi protes.

Dimulai dari aksi mogok belajar oleh siswa-siswa di Orlando West Junior School pada 30 April 1976. Aksi protes meluas ke berbagai kampus dan sekolah. Para pelajar kemudian membentuk Dewan Perwakilan Siswa Soweto (SSRC).

Mereka memutuskan menggelar aksi berskala besar pada 16 Juni 1976. Pada hari itu, puluhan ribu pelajar berkumpul di Orlando Stadium. Ketika massa mulai bergerak, polisi memasang barikade.

Jahatnya, institusi yang digelari “ACAB” ini melepaskan anjing untuk membubarkan aksi pelajar. Tak terima, pelajar membunuh anjing-anjing tersebut. Polisi kemudian menembaki para pelajar yang masih SMP dan SMA itu.

Dua korban pertama adalah astings Ndlovu (15 tahun) dan Hector Pieterson (12 tahun). Foto Hector yang sekarat dalam gendongan Mbuyisa Makhubo, diiringi tangisan kakaknya, Antoinette Pieterson, menjadi ikon tragedi ini dan simbol perjuangan anti-apartheid.

Kejadian itu memantik kerusuhan. Malam harinya, rakyat menyerbu toko dan kantor-kantor pemerintah. Pemerintah meresponsnya dengan mengerahkan tentara menggunakan kendaraan lapis baja dan helikopter.

Pada akhir 1976, diperkirakan lebih dari 600 orang tewas dalam tragedi pilu itu. Namun, pemberontakan itu telah menjadi pemicu kebangkitan gerakan anti-apartheid. Kongres Nasional Afrika (ANC), yang kelak melahirkan sosok Nelson Mandela, terinspirasi oleh pemberontakan ini.

Demonstrasi mahasiswa di Gwangju, Mei 1980. Kredit: im Chon-Kil/Associated Press.

6. Pemberontakan Gwangju di Korea Selatan

Sejak merdeka dan menjadi negara sendiri pada 1948, Korea Selatan selalu dibayangi junta militer dan rezim bertangan besi. Syngman Rhee, presiden pertama dari 1948-1960, juga bertangan besi.

Tahun 1960, ada harapan. Rezim sipil demokratis terpilih dan berkuasa. Sayang, baru setahun menjabat, militer di bawah pimpinan Park Chung-hee melakukan kudeta. Ia berkuasa hingga 1979 atau hampir dua dekade.

Di ujung kekuasaannya, gerakan mahasiswa dan gerakan pro-demokrasi membesar. Tiba-tiba intrik politik terjadi: Park Chung-hee ditembak mati oleh Direktur Intelijen Korea (KCIA), Kim Jae-gyu. Krisis politik ini yang menjadi pintu bagi militer untuk melakukan kudeta lagi.

Terbitlah rezim militer di bawah Chun Doo-hwan. Di bawah kekuasaanya, jam malam diberlakukan, pers dibredel, dan kampus ditutup. Pergerakan mahasiswa dan buruh langsung direpresi. Korsel langsung di bawah darurat militer.

Aksi protes bermunculan. Salah satunya di Kota Gwangju. Pada pagi hari, 18 Mei 1980, mahasiswa berkumpul di depan pintu gerbang Universitas Nasional Chonnam, kampus terbesar di kota itu. Mereka berniat menggelar demonstrasi.

Namun, belum juga melakukan apa-apa, tentara sudah datang dan membubarkan aksi. Tak dinyana, aksi protes membesar ke berbagai penjuru Kota Gwangju. Puncaknya, seorang anak muda, Kim Gyeong-cheol, diketahui meninggal dunia setelah disiksa oleh tentara.

Amarah rakyat dan mahasiswa Gwangju meledak. Pada 19-20 Mei 1980, protes berskala besar meledak di Kota Gwangju. Rupanya, aksi ini kembali direspons dengan cara represif: tembakan peluru tajam.

Akhirnya, pada 21 Mei 1980, rakyat dan mahasiswa menyerbu kantor-kantor polisi dan merebut senjata. Kali ini aksi protes berubah menjadi pemberontakan bersenjata. Rezim Chun Doo-hwan berpura-pura menarik mundur aparat keamanannya demi mendeskalasi situasi.

Namun, pada 27 Mei 1980, militer kembali dalam jumlah dan kekuatan lebih besar. Pertempuran kota pun terjadi: rakyat vs tentara. Setelah pertempuran selama 90 menit, perang tak berimbang itu berakhir.

Ratusan warga sipil meninggal dalam kejadian itu. Versi lain menyebut jumlahnya mencapai ribuan. Namun, peristiwa Gwangju menjadi salah satu momen bersejarah yang membangkitkan gerakan pro-demokrasi di Korsel.

Tujuh tahun kemudian, gerakan pro-demokrasi yang dimotori mahasiswa, akademisi, pengacara, dan gerakan buruh kembali pasang. Kali ini, kediktatoran tak sanggup bertahan. Rezim militer pun tumbang.

Seorang demonstran di lapangan Tiananmen, Beijing, Tiongkok. Kredit: Stuart Franklin | Magnum Photos

7. Pemberontakan Tiananmen di Tiongkok

Pada pertengahan 1980-an, hampir satu dekade setelah kepergian Mao Tse Tung, Tiongkok dibayangi ketidakpuasan terhadap meningkatnya korupsi, menyempitnya ruang demokrasi dan kebebasan, dan dampak ekonomi akibat reformasi ekonomi yang didorong oleh Deng Xiao Pin.

Di bawah Deng, Tiongkok mendorong liberalisasi secara pelan-pelan. Bahkan ekspresi seni pelan-pelan diberi tempat. Pada 1978-1979, majalah independen mulai muncul. Bahkan ada tembok demokrasi (democracy wall), yang memungkinkan warga menyampaikan kritik, opini, maupun masukan untuk pemerintah.

Awalnya Deng mendukung reformasi ekonomi berjalan beriringan dengan politik. Namun, ketika demonstrasi mahasiswa meningkat, ia mulai berbalik arah: memukul aksi mahasiswa. Deng mendukung liberalisasi ekonomi, tetapi tetap membatasi kehidupan politik. Pandangan Deng berseberangan dengan kameradnya sesama pimpinan PKT, Hu Yaobang.

Hu, yang menjadi Sekjen PKT dari 1981-1987, cenderung menyetujui reformasi politik beriringan dengan reformasi ekonomi. Gagasannya mendukung demokratisasi: politibiro harus dipilih langsung oleh rakyat, semakin sering pemilu dan lebih banyak kandidat, dan partisipasi publik sebelum kebijakan diputuskan.

Karena pandangannya, Hu dianggap berpikiran “kanan”. Ia juga dianggap lunak terhadap gerakan mahasiswa. Pada awal 1987, Deng memaksa Hu mengundurkan diri dari Sekjen PKT. Ia juga dipaksa melakukan “kritik otokritik” atas kesalahan pandangan dan tindakannya.

Pada 15 April 1989, Hu meninggal. Kematiannya menarik simpati pergerakan mahasiswa. Dia salah satu pemimpin PKT, selain Zhou Enlai, yang dianggap bersih. Pikiran Hu juga sejalan dengan tuntutan anak muda akan kebebasan politik.

Pasca kematian Hu, gerakan mahasiswa semakin membesar. Tuntutan reformasi politik dan demokratisasi semakin menggema. Deng sangat tidak senang. Pada 26 April 1989, harian resmi Partai Komunis, Harian Rakyat (People’s Daily), mengeluarkan editorial yang menuding aksi mahasiswa sebagai sebagai dongluan (kerusuhan).

Tudingan itu membuat mahasiswa marah. Bagi mereka, aksi demonstrasi adalah tindakan revolusioner untuk mengoreksi kesalahan. Pada awal Mei, ada ratusan ribu mahasiswa yang turun ke jalan. Puncaknya, pada 13 Mei 1989, mahasiswa tak hanya menggelar demonstrasi, tetapi juga mogok makan. Serikat buruh dan masyarakat umum juga mulai berpartisipasi.

Pada 20 Mei 1989, pemerintah mencoba membungkam protes itu dengan pemberlakuan undang-undang darurat. Namun, aksi protes jalan terus, bahkan semakin membesar dan meluas. Mereka berkumpul di Lapangan Tiananmen.

Pada 2 Juni 1989, pemerintah dan seluruh pimpinan PKT sepakat mengerahkan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) untuk membersihkan mahasiswa dan demonstran lainnya dari Lapangan Tiananmen.

Pada 3 Juni 1989, pukul 08.00 pagi, tentara dari Divisi ke-27 dan ke-28 TPR bergerak ke Lapangan Tiananmen. Mereka berbaris diiringi dengan tank.

Awalnya, mereka hanya menggunakan gas air mata karena dilarang menggunakan peluru tajam. Namun, massa yang terdiri dari mahasiswa, buruh, dan rakyat jelata itu melawan. Mereka memblokade jalan, membakar bus, menyerang dengan molotov, bahkan merebut dan membakar tank.

Malam harinya, tentara datang lagi. Mereka kembali dihadang oleh mahasiswa. Menjelang dini hari, tentara mulai bertindak keras. Mereka membersihkan paksa Lapangan Tiananmen dari mahasiswa.

Esok harinya, 4 Juni 1989, lapangan itu sudah bersih. Tetapi bentrokan-bentrokan kecil masih terjadi. Langit dipenuhi kepulan asap, sementara jalanan dipenuhi rongsokan mobil yang habis terbakar.

Pada 5 Juni 1989, saat iring-iringan tank melintas di jalan raya, seorang pemuda berkemeja putih dan menenteng dua tas belanjaan tiba-tiba berdiri menghadang. Ia tak bergeser sedikit pun di depan tank-tank itu. Kejadian itu tertangkap kamera dan menjadi salah satu foto paling berpengaruh sepanjang sejarah. Ia pun dijuluki: tank man.

Ratusan ribu mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada 20 Mei 1998, menyerukan Reformasi. Kredit: KEMAL JUFRI/AFP via Getty Images

8. Reformasi 1998 di Indonesia

Setelah berkuasa selama hampir tiga dekade, dari pertengahan 1960-an hingga pertengahan 1990-an, rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto mulai goyah. Rezim ini mulai terjepit dalam krisis politik, sementata oposisi juga mulai menguat.

Pada 1996, oposisi mulai muncul di tubuh PDI maupun PPP. Selain itu, konsolidasi gerakan mahasiswa dan rakyat juga melahirkan alat politik baru: Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang dideklarasikan pada 22 Juli 1996.

Orde Baru segera merespons benih-benih oposisi ini dengan represi, yang justru memicu tragedi 27 Juli 1996, yaitu penyerbuan kantor PDI yang diduduki massa pendukung Megawati Soekarnoputri oleh massa pro-Suryadi yang didukung oleh penguasa dan aparat keamanan.

Tahun 1997, situasi ekonomi semakin memburuk setelah krisis moneter merambat luas. Nilai tukar rupiah atas dollar meroket dari Rp 2.380 per USD pada Juni 1997 menjadi Rp 14.150 per USD pada Desember 1998.

Namun, meski terjepit krisis ekonomi dan politik, dengan ketidakpuasan terhadap Soeharto yang semakin meningkat, pada 11 Maret 1998, ia tetap dilantik menjadi presiden dengan didampingi BJ Habibie sebagai wakil presiden.

Pada April 1998, desakan untuk reformasi politik semakin menguat. Tuntutan agar Soeharto segera mengundurkan diri juga semakin meluas. Soeharto sendiri meminta agar mahasiswa menghentikan protes dan kembali ke kampus.

Pada 4 Mei 1998, Soeharto mengumumkan kenaikan BBM dan TDL. Hari itu, harga BBM naik 70 persen, yang memicu kemarahan di berbagai kota. Ketidakpuasan politik bertemu dengan ketidakpuasan ekonomi.

Hari-hari selanjutnya, mahasiswa di berbagai kota mulai turun ke jalan untuk menuntut Soeharto segera mengundurkan diri. Aksi terjadi di Medan, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar.

Di Jakarta, pada 12 Mei 1998, aksi mahasiswa Universitas Trisakti memprotes kenaikan harga, PHK massal, dan menuntut pengunduran diri Soeharto. Namun, aksi ini mendapat represi brutal. Polisi dan tentara melepaskan tembakan peluru tajam ke arah mahasiswa. Empat mahasiswa gugur sebagai martir perjuangan demokrasi.

Kematian mahasiswa memicu kemarahan massal. Jakarta dan sejumlah kota dilanda kerusuhan. Dalam situasi yang tak terkendali, Soeharto mulai kehilangan kendali politik. Pada 18 Mei, loyalis Soeharto yang menjabat Ketua MPR, Harmoko, meminta agar Soeharto mundur dari kursi kepresidenan.

Puncaknya, ketika protes semakin meluas dan terkendali, 14 menteri yang baru dua bulan dilantik oleh Soeharto menyatakan pengunduran diri. Akhirnya, pada 21 Mei 1999, diktator yang berkuasa selama 32 tahun itu menyatakan pengunduran diri.

Demonstrasi mahasiswa di kota Santiago, Chile, 2011. Kredit: AP Photo/Aliosha Marquez

9. Protes mahasiswa Chile (2011-2013)

Pada 2011, melihat angka-angka makro, Chile terlihat sehat-sehat saja. PDB per kapitanya USD 14 ribu, salah satu yang tertinggi di Amerika Latin. Indeks pembangunan manusia (HDI) tembus 0,8 (sangat tinggi) dan peringkat 47 dunia. Sementara indeks demokrasinya baik (masuk kategori full-democracy) dan tingkat korupsinya rendah.

Namun, pada 2011 itu ada lebih dari setengah juta mahasiswa turun ke jalan. Mereka memprotes privatisasi pendidikan yang menyebabkan kenaikan biaya pendidikan dan segregasi. Di sisi lain, tak ubahnya fenomena gunung es, ketimpangan ekonomi melebar di Chile.

Aksi mahasiswa ini merupakan salah satu yang terbesar sejak berakhirnya rezim militer pada 1990. Ini juga salah satu aksi mahasiswa terbesar di dunia, berlangsung lama, dan membawa dampak perubahan politik.

Aksi ini menarik perhatian dunia. Selain karena mobilisasinya yang besar, model aksinya juga menarik dan kreatif. Tak hanya demonstrasi jalanan, ada aksi pendudukan sekolah, flashmob, dan parodi massal (semua demonstran berdandan goblin dan vampire serta menirukan video thriller Michael Jackson).

Aksi ini juga melahirkan tiga wajah anak muda yang kelak menjadi pemimpin politik baru Chile: Gabriel Boric, Camila Vallejo, dan Giorgio Jackson.

Mahasiswa dengan salam “tiga jari” dari film “The Hunger Games” sebagai simbol anti-monarki. Kredit: Asian Times

10. Gerakan pro-demokrasi Thailand (2020-2021)

Sejak revolusi Siam 1932 mengubah Thailand dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional, sejarah politik negeri ini hanya berpusat pada tiga kutub yang silih berganti untuk berkuasa: monarki, militer, dan oligarki.

Terbaru, pada 2014, militer melancarkan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan sipil, Yingluck Shinawatra, yang dipilih lewat pemilu. Tentara kemudian membentuk Dewan Penjaga Ketertiban dan Perdamaian Nasional (NCPO), yang mengambil kendali politik Thailand.

Lalu, sejak 2014 itu pimpinan kudeta militer, Prayut Chan-o-cha, ditunjuk sebagai perdana menteri tanpa melalui proses pemilu. Ia memegang jabatan itu atas restu Raja Bhumibol Adulyadej hingga 2019.

Namun, tata kelola politik semacam ini sudah tidak relevan dengan perubahan generasi Thailand, yang mulai didominasi oleh milenial dan Z. Generasi ini tumbuh-besar dalam buaian teknologi digital, yang mendorong imajinasi dan ekspektasi mereka berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka tak suka otoritas kaku, feodalistik, dan politik yang monolitik.

Pada Maret 2018, puluhan anak muda dari lintas kelas, mulai pengusaha, akademisi, hingga aktivis, mendirikan partai politik baru: Partai Masa Depan Maju atau Future Forward Party (FFP).

Pada 2019, Thailand menggelar pemilu pertama pasca kudeta militer 2014. Di luar dugaan, meski baru berumur setahun, FFP muncul sebagai kekuatan politik ketiga.

FFP menghadirkan apa yang mereka sebut sebagai politik jalan ketiga (third way). Mereka mencoba membawa rakyat Thailand keluar dari jebakan politik pertarungan antara Thaksin Shinawatra dengan kaos merah versus kaum royalis (pendukung Monarki) dan militer dengan gerakan kaos kuningnya. Mereka menghadirkan warna baru: oranye.

FFP membawa aspirasi anak muda yang resah dengan menawarkan demokrasi, kesetaraan, dan demokrasi ekonomi. Mereka jelas anti-monarki dan anti-militer.

Ketakutan dengan pasang politik progresif anak muda, monarki dan militer lewat tangan Mahkamah Konstitusi membubarkan FFP tanpa alasan yang kuat.

Di sisi lain, junta militer dengan partai bentukannya, Palang Pracharath, justru diduga melakukan kecurangan elektoral.

Semua persoalan itu terakumulasi membentuk gunung es yang pecah dan meledakkan kemarahan kaum muda Thailand pada 2020. Protes yang berlangsung selama dua tahun menarik ratusan anak muda, dengan mengadopsi salam “Three Finger Salute” dari film “The Hunger Games”, menarik ratusan ribu anak muda untuk turun ke jalan.

Aksi protes ini berdampak secara politik. Kekuatan politik baru penerus FFP, Partai Bergerak Maju (Move Forward Party/MFP), muncul dengan dipimpin anak muda jebolan Harvard University, Pita Limjaroenrat.

Di luar dugaan, pada pemilu 2023, MFP berhasil meraih suara terbanyak dan memenangi pemilu. Sayang sekali, manuver triumvirat kegelapan di Thailand (monarki, militer, dan oligarki) berhasil mencegah Pita menjadi perdana menteri.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Nasionalisme Siauw Giok Tjhan

Nasionalisme Siauw Giok Tjhan

Dia adalah Siauw Giok Tjhan

You May Also Like
Total
0
Share