Surat Seorang Ibu untuk Puan Maharani

Salam kenal, Ibu Puan Maharani. Saya seorang ibu rumah tangga biasa, bukan politikus, bukan pula akademisi. Saya hanya seorang warga negara yang masih percaya bahwa demokrasi adalah jalan terbaik bagi bangsa ini, yang sudah dipilih dan diwariskan oleh para pendiri bangsa, untuk mengantarkan masyarakat adil dan makmur.

Beberapa hari lalu, saya membaca pernyataan ibu di sebuah media online. Intinya, ibu berpesan kepada mereka yang menolak revisi Undang-Undang TNI agar membaca dulu undang-undang (UU), baru melakukan protes.

“Kalau kemudian belum baca, tolong baca dahulu. Jadi, tolong kita sama-sama menahan diri, dan tolong baca, kan, sudah ada di website DPR dan sudah bisa dibaca di publik,” begitu kata Ibu Puan yang terhormat.

Di media lain, ibu juga menyelipkan pesan: negara harus hadir sebelum sebuah persoalan diviralkan. “Negara harus hadir tanpa harus menunggu rakyat memviralkan dan menuntut kehadiran negara,” begitu kira-kira pernyataan Ibu Puan.

Saya membaca komentar itu sambil ngakak. Lucu sekali. Mungkin Ibu Puan mengidap amnesia, sehingga lupa apa saja yang baru dilakukan. Saya melihat komentar itu seperti “meludah ke langit, terpercik muka sendiri”.

Soal revisi UU TNI, Ibu Puan menyuruh publik membaca UU itu setelah ketok palu. Selama proses legislasi, dari proses penyusunan rancangan, pembahasan di komisi/badan, hingga dibawa ke proses paripurna untuk disahkan, publik tak pernah diberi akses terhadap dokumen resmi RUU TNI.

Itikad DPR untuk membuat proses legislasi revisi UU TNI memang sudah buruk. Tiba-tiba saja revisi UU TNI masuk prolegnas prioritas, dengan menepikan RUU lain yang lebih urgen, lalu dikebut ke pembahasan, dan disahkan. Prosesnya tak lebih dari sebulan. Bayangkan, revisi UU TNI dikebut dalam situasi negara tak mengalami ancaman perang yang nyata.

Proses legislasi dadakan ini pun tidak akan diketahui publik jika Koalisi Masyarakat Sipil tidak menggeruduk hotel mewah tempat anggota ibu membahas revisi UU TNI. Ibu Puan, saat negara sedang melakukan efisiensi, yang memaksa pegawai kecil dan rakyat mengencangkan ikat pinggang, kenapa DPR justru membuat rapat penting di hotel mewah? Lalu, apa gunanya gedung DPR itu kalau tak dipakai untuk rapat?

Ibu Puan, sudahilah berbasa-basi seolah mendengar suara rakyat, dosamu untuk negeri ini sudah terlampau besar. Ketukan palumu punya andil terhadap kerusakan ekonomi dan politik di negeri ini. Jika hari ini kualitas demokrasi menurun, bahkan sedang mengarah pada otoritarianisme, ketukan palu Ibu Puan dan paduan suara partai ibu punya andil besar.

Tak bisa dihapus dari catatan sejarah bahwa ketukan palu Ibu Puan Maharani dan dukungan partai ibu punya andil besar dalam pengesahan revisi UU KPK. Padahal, saat itu, ada demo besar bernama #ReformasiDikorupsi yang menolak revisi itu. Namun, sepertinya Ibu Puan dan PDIP tutup telinga. Hari ini, buah dari dosa itu terpaksa harus ditelan sendiri oleh PDIP, ketika pemberantasan korupsi bernuansa politik tebang-pilih, yang hanya menyasar tokoh-tokoh oposisi, ikut menghantam Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.

Rasanya, mau bilang, “rasain, lu.” Namun, dampak merusak dari revisi KPK itu jauh dari sekeping debu kasus Hasto. Pascarevisi, KPK seperti masuk angin. Integritasnya memudar. Dan, sejak itu, indeks persepsi korupsi Indonesia konsisten memburuk.

Pidato Sukarno: Angkatan Perang tidak boleh berpolitik.

Belum selesai, sejarah juga akan mencatat bahwa ketukan palu Ibu Puan Maharani dan dukungan PDIP juga berjasa dalam melahirkan UU Cipta Kerja, yang mengorbankan nasib buruh, mendegradasi lingkungan, menepikan hak petani, masyarakat adat, nelayan dan kaum marginal lainnya. Bayangkan, partai yang katanya pembela wong cilik, yang mengaku penerus ajaran Sukarno, malah mendukung UU yang mendorong deregulasi ugal-ugalan dan super kapitalistik.

Ini belum memasukkan lusinan UU bermasalah lainnya, seperti revisi UU Minerba, UU IKN, revisi UU MK, UU Kesehatan, revisi UU BUMN, dan lain-lain.

Ibu bilang, DPR sudah berusaha mendengar dan responsif. Ah, itu seperti kentut yang berbau busuk. DPR Indonesia adalah salah satu DPR terburuk di dunia: paling elitis, eksklusif, dan korup.

DPR mana di dunia yang dipagar begitu tinggi, sehingga rakyat biasa tak mudah untuk masuk dan mengadu. Kalau ada rencana demonstrasi, sekeliling DPR dipasangi kawat berduri, gerbang DPR dipasangi beton tinggi, dan tak ketinggalan ribuan aparat kepolisian dan TNI bersiap dengan persenjataan lengkap. Serius, ini gaya DPR yang mau dialog?

Mungkin, ada orang malas baca yang akan bilang, DPR dipagari kawat berduri, dibentengi beton, dan dilindungi ribuan aparat TNI/Polri dengan kendaraan taktisnya karena demonstran suka membuat rusuh. Perlu diketahui, jika suara rakyat tak pernah didengar, bahkan sudah menggelar demonstrasi pun tak didengar, maka nalar paling sehat pun akan bilang: kita butuh aksi yang punya daya tekan.

Menjadi sebuah ironi termahal di abad ini, seorang ketua DPR bicara “negara hadir untuk rakyat”, sementara tutup mata dan telinga serta mati nurani ketika kaum marginal menuntut payung hukum demi melindungi hak-haknya. Ini seperti masyarakat adat yang menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat, pekerja rumah tangga yang menuntut RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), atau rakyat yang menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset.

Ibu Puan tidakkah sadar, RUU Masyarakat Adat sudah diperjuangkan sejak 2009 dan sudah tiga kali masuk prolegnas, tetapi tak kunjung disahkan hingga sekarang. Bayangkan, Ibu Puan, masyarakat adat sudah menunggu 16 tahun tanpa kepastian. Suara mereka diabaikan oleh DPR yang Anda pimpin.

Nasib RUU PPRT lebih pahit lagi, bu. Sudah diperjuangkan sejak 2004 dan beberapa kali masuk prolegnas, juga tak kunjung disahkan hingga sekarang. Dan, ironi terpahitnya, salah satu partai pengganjalnya adalah partai yang mendaku pembela wong cilik. Ya, PDIP salah satu pengganjal RUU PPRT. Bayangkan, saat 4 juta wong cilik, mayoritas perempuan, bekerja tanpa jam kerja yang jelas, jobdesk yang jelas, diperlakukan secara buruk, bahkan rentan terhadap kekerasan, Anda dan partai Anda justru menentang UU yang bertujuan untuk melindungi mereka. Jahat sekali, bu.

Pidato Sukarno: “Saya tidak mau punya anak yang tidak kiri!”

Kemudian RUU Perampasan Aset, yang menjadi harapan banyak rakyat Indonesia untuk mempertajam pisau pemberantasan korupsi, justru tidak kunjung disahkan meski sudah diajukan sejak 2008 dan sudah pernah masuk prolegnas.

Ibu Puan yang terhormat, saya menulis ini bukan sekadar mengkritik. Saya menulis ini sebagai seorang ibu yang melihat anaknya turun ke jalan demi demokrasi yang lebih baik. Anak-anak muda ikut berdemonstrasi menolak revisi UU TNI yang Anda sahkan secara terburu-buru. Mereka turun ke jalan karena merasa tak lagi punya saluran demokrasi di parlemen. DPR yang seharusnya mewakili justru lebih sibuk mengakomodasi kepentingan elite.

Tapi bagaimana negara merespons protes anak-anak muda ini? Mereka malah mendapatkan gempuran gas air mata, pentungan aparat, dan tuduhan bahwa mereka hanya kelompok yang tidak paham politik. Padahal, yang tidak paham demokrasi justru para politisi yang menganggap protes rakyat sebagai gangguan, bukan sebagai suara yang perlu didengar.

Dan, satu hal lagi, Ibu Puan, langkah politik ibu dan partai ibu adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap ajaran Bung Karno. Bung Karno berjuang untuk rakyat kecil, untuk demokrasi sejati, bukan untuk melanggengkan kekuasaan oligarki. Dulu, Bung Karno berdiri melawan ketidakadilan dan membela wong cilik, sementara ibu dan partai ibu justru sibuk mengetuk palu untuk aturan-aturan yang menindas rakyat.

Ibu Puan, sejarah akan mencatat peran ibu dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Apakah ibu ingin dikenang sebagai ketua DPR yang membawa Indonesia ke arah yang lebih baik atau justru seorang politisi yang turut menggali liang kubur untuk kematian demokrasi dan berkuasanya sang tiran?

Sebagai seorang ibu, saya hanya ingin negara yang lebih baik untuk anak-anak kita. Saya ingin mereka hidup dalam negara yang mendengar suara mereka, bukan negara yang membungkam mereka. Saya ingin mereka percaya bahwa parlemen adalah tempat yang mewakili rakyat, bukan sekadar alat kepentingan segelintir orang.

Jadi, saya harap ibu membaca surat ini bukan sebagai serangan pribadi, tetapi sebagai pengingat bahwa masih ada rakyat yang peduli, masih ada rakyat yang akan terus bersuara. Dan, percayalah, semakin lama suara-suara ini tak didengar, semakin besar gelombang perlawanan yang akan datang.

Baik ibu, saya harus kembali bekerja lagi, melanjutkan hidup sebagai rakyat biasa. Semoga surat saya terbaca oleh ibu dan anggota DPR yang terhormat. Semoga.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Kebangkitan Multifungsi Militer Melalui Revisi UU TNI

Kebangkitan Multifungsi Militer Melalui Revisi UU TNI

Agenda reformasi, selain menumbangkan Orde Baru juga mengembalikan demokrasi ke

Next
Asal Usul THR: Dicetuskan Masyumi, Diperjuangkan PKI

Asal Usul THR: Dicetuskan Masyumi, Diperjuangkan PKI

Namun, THR tak jatuh dari langit

You May Also Like
Total
0
Share