Tahun 1998, setelah tumbangnya rezim Orde Baru, terbitlah sistem multipartai. Ada 184 partai yang berdiri: 141 mendapat badan hukum, tetapi hanya 48 yang memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 1999.
Akhirnya, setelah tiga dekade lebih, politik Indonesia kembali berwarna-warni. Berbagai ekspresi politik rakyat bisa terwadahi dalam ruang politik formal. Hampir tak ada lagi ekspresi politik yang dibungkam.
Namun, seiring perjalanan waktu, muncul persoalan baru. Sistem multipartai dirasa kurang langgeng dengan sistem presidensialisme. Banyak partai yang berlaga di setiap pemilu, lalu semua punya kursi di DPR, membuat proses politik DPR lebih lama, tawar-menawar, dan dan sadera-menyandera.
Dalam sistem presidensialisme, meski Presiden dan DPR lembaga terpisah, kemudian Presiden tidak bertanggung-jawab ke DPR, tetapi ada tugas yang mengharuskan mereka bekerjasama. Sebut saja, misalnya, pembuatan UU dan APBN.
Karena itu, Presiden tetap membutuhkan DPR. Masalahnya, kalau partai pengusung Presiden atau koalisinya tidak mayoritas, tentu dukungan itu tidak gampang. Apalagi jika jumlah partai di parlemen cukup banyak.
Dari situlah muncul berbagai tudingan. Banyaknya partai di parlemen dituding sebagai biang kerok pemerintahan tidak bisa bekerja efektif. Terlalu banyak negosiasi dan kompromi politik. Bahkan, kalau parlemen dikuasai oposisi, bisa terjadi pemerintahan yang terbelah (divided government).
Karena itu, bagi para penuding itu, jumlah partai harus disederhanakan. Meminjam sistem partainya Giovanni Sartori, sistem kepartaian Indonesia hari ini tergolong multipartai ekstrem: ada 6 atau lebih partai relevan.
Idealnya, jika meminjam kategori Sartori itu, jumlah partai relevan di parlemen tidak boleh lebih dari 3–5 partai (multipartai moderat). Karena itu, agar sistem kepartaian kita mengarah pada multipartai moderat, jumlah partai harus disederhanakan.
Bagaimana memaknai penyederhanaan ini? Bagaimana memastikan agar penyederhanaan ini tidak merenggut hak-hak politik rakyat dan membungkam beragam ekspresi politiknya? Lalu apa dampaknya bagi perkembangan demokrasi kita?
Memaknai Penyederhanaan Parpol
Terlebih dahulu, mari kita mencocokkan isi kepala dalam memahami penyederhanaan ini. Mari kita sepakati prinsip-prinsipnya.
Pertama, penyederhanaan parpol tak boleh merenggut hak-hak politik dan berbagai ekspresi politik rakyat. Dari hak mendirikan partai politik hingga berpartisipasi dalam pemerintahan.
Penyederhanaan tak boleh menutup ruang bagi beragam ekspresi politik rakyat. Dari agama, aliran kepercayaan, hingga aliran ideologi.
Kedua, penyederhanaan harusnya hanya diperuntukkan untuk partai-partai di parlemen. Sebab, hanya partai-partai di parlemenlah yang terlibat proses politik secara langsung dengan Presiden/Eksekutif.
Partai-partai peserta pemilu semestinya dikecualikan. Boleh saja pemilu diikuti banyak partai, tetapi yang masuk dan efektif di parlemen hanya 3–5 partai.
Ketiga, sistem multipartai yang sederhana bukan berarti hanya dua, tiga, empat, atau lima partai di parlemen. Tapi soal jumlah partai yang efektif, yaitu partai-partai yang punya perolehan kursi yang banyak dan berpengaruh dalam proses-proses politik di parlemen.
Mari melihat Inggris, negeri yang disebut menganut sistem tiga partai (sering juga disebut dua setengah) karena di sana hanya ada tiga partai dominan: Konservatif, Buruh, dan Liberal-Demokrat. Pada kenyataannya, di parlemen Inggris ada partai-partai kecil seperti partai Hijau, Kemerdekaan (UKIP), Change UK, Reform UK, dan lain-lain.
Oh, Inggris menganut parlementarisme. Baik, mari kita tengok negeri yang menganut Presidensialisme: Amerika Serikat. Paman Sam dikenal dengan sistem dua partai-nya. Sebab, hanya ada dua partai dominan di Senat dan DPR: Demokrat dan Republik. Kenyataannya, di luar itu ada yang disebut partai ketiga atau partai-partai menengah dan kecil seperti Libertarian, Hijau, Sosialis, dan lain-lain.
Keempat, demokrasi mensyaratkan adanya kontestasi politik yang terbuka. Mengingat pemilu sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi, maka sudah sepatutnya setiap pemilu ditandai dengan hadirnya kontestan-kontestan baru untuk menantang yang lama-lama.
Praktek Rezim Penyederhanaan
Sekarang, mari kita lihat praktek rezim penyederhanaan di Indonesia. Sudahkah penyederhanaan berjalan di atas prinsip-prinsip itu?
Ternyata, praktek penyederhanaan di Indonesia bekerja di dua sisi sekaligus: mengurangi jumlah partai peserta pemilu dan jumlah partai di parlemen.
Pertama, ada persyaratan yang sangat berat teruntuk partai politik agar bisa mendapat status badan hukum dan menjadi peserta pemilu.
Demi mendapat status berbadan hukum, parpol harus memiliki kepengurusan di seluruh (100 persen) provinsi, 75 persen kabupaten/kota di provinsi, dan 50 persen kecamatan di kabupaten/kota. Disamping syarat administratif seperti akta notaris dan rekening atas nama parpol.
Kemudian, agar bisa berlaga di Pemilu, ada verifikasi KPU yang mensyaratkan: kepengurusan 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota di provinsi, dan 50 persen kecamatan di kabupaten/kota; punya anggota minimal 1000 orang atau 1/1000 penduduk dari jumlah penduduk setiap kabupaten/kota.
Itu belum persyaratan administratif yang tak kalah ribetnya, seperti surat keterangan domisili kantor dan alamat partai di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, kemudian salinan bukti kepemilikan/sewa/pinjam kantor di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, dan lain-lain.
Dan perlu diingat, dari semua proses itu, parpol harus menyiapkan anggaran yang tidak sedikit. Mulai dari urusan tetek-bengek yang memerlukan bensin, biaya transportasi, biaya pengurusan dokumen, hingga sewa/beli kantor beserta perlengkapannya.
Kedua, ada penerapan ambang batas (threshold), yaitu ambang batas pemilu (electoral threshold) dan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Rezim ambang batas ini sudah berlaku sejak pemilu 1999.
Di tahun 1999, ada UU nomor 3 tahun 1999 yang mensyaratkan Parpol harus punya suara 2 persen dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya 3 persen jumlah kursi DPRD I atau DPRD II untuk bisa ikut serta di pemilu 2004. Akibat ketentuan ini, hanya 6 dari 48 parpol peserta pemilu 1999 yang bisa ikut pemilu 2004.
Kemudian, di pemilu 2004, ambang batas itu dinaikkan menjadi 3 persen untuk DPR dan 4 persen untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Kemudian, sejak pemilu 2009, kita diperkenalkan dengan rezim ambang batas yang baru: parliamentary threshold. Di pemilu 2009, ambang batasnya 2,5 persen perolehan suara nasional agar Parpol boleh menempatkan wakil di DPR dan mengikuti pemilu berikutnya.
Pada pemilu 2014, ambang batasnya naik lagi jadi 3,5 persen. Kemudian, di pemilu 2019, ambang batas bertambah menjadi 4 persen.
Sejak itu, konfigurasi politik Indonesia tak banyak berubah. Bendera partainya itu-itu saja. Wajah politisinya tidak jauh dari lingkaran politik lama.
Sejumlah Persoalan
Pada prakteknya, rezim penyederhanaan ini menghadirkan banyak masalah. Setidaknya, ada empat masalah besarnya.
Pertama, persyaratan parpol untuk mendapat badan hukum maupun menjadi peserta pemilu, yang mensyaratkan kepengurusan di 100 persen Provinsi, menutup pintu bagi ekspresi politik yang sifatnya lokalis dan sektoral.
Tak bisa diabaikan, ada partai yang memang basis politiknya hanya di daerah tertentu. Partai yang memperjuangkan masyarakat adat, misalnya. Boleh jadi, partai bersangkutan hanya kuat di daerah dengan basis populasi masyarakat adat yang besar.
Kedua, persyaratan pemilu yang sangat berat menyulitkan partai-partai kecil dan baru. Persyaratan itu membutuhkan jaringan politik dan modal yang besar.
Punya jaringan dan basis pendukung saja tidak cukup. Sebab, persyaratan UU pemilu mensyaratkan kantor dan kelengkapannya. Demi mengadakan kantor itu dari pusat hingga Kabupaten/Kota, entah dibeli, dipinjam, atau disewa/kontrak, tentu membutuhkan anggaran yang tak sedikit.
Jadi, wajar kalau politik kita berbiaya sangat tinggi, semenjak dari persyaratan saja sudah mengisyaratkan mobilisasi biaya yang besar. Sehingga parpol selalu membutuhkan dukungan cukong atau pemilik modal.
Lalu, bagaimana peluang partai yang diusung oleh rakyat biasa, seperti kaum buruh, petani, masyarakat adat, dan lain-lain?
Ketiga, ambang batas parlemen yang sangat tinggi berdampak pada jumlah suara yang tidak terkonversi menjadi kursi. Suara yang tidak terkonversi inilah yang disebut suara terbuang (wasted vote).
Sejak ambang batas parlemen berlaku, jumlah suara terbuang cukup signifikan: 19 juta (pemilu 2009), 2,9 juta (2014), dan 13,5 juta (pemilu 2019).
Sebagai gambaran, jumlah suara terbuang di pemilu 2019 melebihi perolehan suara partai urutan ke-4. Seandainya, partai-partai tak lolos PT dibiarkan membentuk koalisi/blok politik dan mengonversi suaranya jadi kursi, mereka menjadi kekuatan politik keempat di parlemen.
Keempat, ambang batas PT yang terlalu tinggi berpotensi membunuh keterwakilan ekspresi politik yang beragam di masyarakat.
Sebagai misal, kalau PT benar-benar dinaikkan 7 persen, maka partai seperti PAN akan kesulitan lolos. Di pemilu lalu, PAN hanya mendapat 6,84 persen. Padahal, PAN mewakili banyak pemilih Muhammadiyah.
Kelima, rezim penyederhanaan hanya berhasil mengurangi jumlah partai di parlemen, tetapi gagal mewujudkan multipartai sederhana.
Biasanya, untuk melihat sistem kepartaian, tolak ukurnya adalah konsentrasi penguasaan kursi parlemen oleh partai politik. Para ahli pemilu punya teknik hitung yang disebut: indeks effective number parliamentary parties (Indeks ENPP).
Indeks ENPP menunjukkan: pemilu 1999 (4,7), pemilu 2004 (7,1), pemilu 2009 (6,2), pemilu 2014 (8,2), dan pemilu 2019 (7,5).
Yang menarik, pada pemilu 1999, dengan 48 partai peserta pemilu dan 21 partai mendapat kursi di parlemen, konsentrasi suara hanya di 5 partai. Artinya, pemilu 1999 justru berhasil mewujudkan multipartai moderat.
Sementara pemilu-pemilu berikutnya, yang mulai menerapkan rezim penyederhanaan, jumlah partainya selalu di atas 6 atau multipartai ekstrem.
Penyebabnya, kendati jumlah partai peserta pemilu berkurang, kemudian partai yang lolos ke parlemen makin sedikit, tetapi perolehan suara relatif tersebar. Tak ada partai dominan.
Keenam, rezim penyederhanaan tidak menghujam ke akar masalah: personalisasi partai, patron klien, tidak demokratis, dan tidak punya pijakan ideologis.
Persoalan-persoalan itu berkontribusi pada rendahnya identifikasi atau kedekatan massa pemilih dengan partai politik tertentu (party ID). Menurut survei LSI, party-ID masyarakat Indonesia hanya 11,6 persen.
Pada prakteknya, rendahnya party-ID menyebabkan dukungan elektoral gampang berubah sekejap. Jumlah pemilih tradisional, yang pilihan politiknya tidak gampang bergeser, jumlahnya kecil.
Selain itu, akibat rendahnya party-ID, dukungan elektoral digerakkan oleh politik uang. Sering juga dukungan itu berporos pada tokoh/figur.
Tentu saja, hal-hal tersebut punya sumbangsih pada kondisi yang menghambat multipartai sederhana: perolehan suara relatif tersebar, sehingga tak terkonsentrasi pada 2–5 partai politik.
Jalan Keluar
Anggaplah, karena kita terlanjur memilih sistem Presidensialisme, maka multipartai sederhana itu menjadi keharusan. Agar proses-proses politik bisa lebih lancar, efektif, dan stabil.
Tetapi jalannya bukanlah sebuah rezim penyederhanaan yang berusaha memperkecil jumlah partai sembari mencekik hak-hak politik dan membungkam ekspresi politik warga negara yang beragam.
Pertama, penyederhanaan tidak boleh membunuh kesempatan bagi munculnya partai-partai baru. Sebab, dalam berbagai hal, munculnya pendatang baru selalu memperbaiki mutu persaingan. Dengan begitu, partai-partai lama tertantang dan mau memperbaiki diri.
Karena itu, syarat partai mendapat badan hukum dan menjadi peserta pemilu perlu dipermudah. Tak perlu lagi persyaratan berbasis kepengurusan di seluruh Provinsi dan jumlah tertentu kabupaten/kota. Cukup persyaratan jumlah dukungan yang dibuktikan dengan KTP dan KTA.
Kedua, memperkecil alokasi kursi daerah pemilihan, dari 3–10 menjadi 3–5. Logikanya sederhana, semakin kecil alokasi kursi per dapil, maka makin besar pula jumlah suara yang diperlukan untuk satu kursi.
Lebih jauh, semakin tinggi harga kursi, semakin sengit juga persaingan dapil. Semakin tinggi nilai kursi, makin tinggi juga posisi tawar pemilih.
Ketiga, menyederhanakan fraksi di parlemen. Tidak lagi berbasis partai dan jumlah anggota, melainkan ekspresi atau sikap politik.
Kalau disepakati berdasarkan sikap politik, maka hanya dua fraksi di DPR: pendukung pemerintah dan oposisi. Atau nama lainnya: mayoritas dan minoritas.
Kalau berdasarkan ekspresi politik, kita bisa merujuk pada politik aliran yang pernah diperkenalkan Sukarno: nasionalis, agamis, dan kerakyatan. Jadi, hanya ada 3 fraksi di DPR berdasarkan tiga aliran itu.
Hanya saja, pilihan yang kedua ini agak sulit diterapkan, mengingat hampir semua partai di Indonesia tidak punya pijakan ideologis yang kuat. Azas dan program perjuangan itu hanya dokumen administratif, bukan sesuatu yang mengimani perjuangan partai.
Keempat, pembenahan partai politik untuk menggerus budaya personalisasi partai, patronase, dan klientalisme. Agar parpol bisa terbebas dari dua musuh utama demokrasi: oligarki dan feodalisme.
Untuk itu, parpol harus didorong mandiri, terutama dalam urusan keuangan. Ada dua jalannya: pertama, pembiayaan yang memadai oleh Negara/APBN; kedua, membatasi jumlah sumbangan pihak ketiga (perseorangan dan badan usaha); dan ketiga, menghidupkan iuran anggota dan sumbangan sukarela publik (crowdfunding).
Dengan pembiayaan partai oleh APBN, ada hak publik untuk menagih parpol terkait keterbukaan keuangan partai dan penggunaannya.
Sementara pembatasan dana kampanye dari pihak ketiga, baik perseorangan dan korporasi, untuk mengurangi kendali cukong terhadap partai. Agar Parpol tak melulu bergantung pada pemilik modal besar dan kepentingan-kepentingan yang menyertainya.
Yang terakhir, iuran partai itu penting untuk menunjukkan, menyitir Bung Hatta, “rasa memiliki partai oleh setiap anggota.” Iuran anggota adalah selemah-lemahnya kontribusi seorang anggota pada partainya.
Sedangkan crowdfunding bermanfaat untuk menciptakan ikatan antara partai dan massa yang bersimpati dengan perjuangannya.