Selamat Jalan, Paus Kaum Papa

Kabar duka itu datang saat dunia sedang cemas dengan aksi ugal-ugalan populis kanan di seantero dunia: mengobarkan kebencian pada imigran, menyulut perang dagang, dan mengumandangkan nasionalisme sempit yang dibalut patriotisme kosong.

Paus Fransiskus, yang pada masa kepausannya dari 2013-2025 selalu mewakili suara paling jernih untuk membela kaum miskin, imigran, dan mereka yang tertindas, berpulang pada 21 April 2025.

Bukan hanya umat Katolik yang berduka, tapi juga para pencari keadilan, pecinta lingkungan, para imigran, anak muda yang resah, dan mereka yang hidup di tepi sejarah. Mereka berduka, suara paling jernih yang selama ini menyuarakan kepedihan dunia kini telah pergi untuk selamanya.

Anak imigran dan kelas pekerja

Paus Fransiskus lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio pada 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara. Kedua orangtuanya adalah imigran dari Italia yang terpaksa meninggalkan negeri karena menghindari kekejian rezim fasis Mussolini.

Saat remaja, ia pernah menjadi petugas kebersihan. Berkat tekad dan kerja kerasnya, ia berhasil lulus dari Sekolah Teknik sebagai teknisi kimia.

Titik balik dalam hidupnya terjadi tak terduga. Suatu hari pada 1952, saat hendak bertemu temannya, ia mampir di Basilika Santo Yosef di Buenos Aires. “Aku merasa seperti ada orang yang mengajakku ke dalam. Dan sejak itu aku tahu, aku harus jadi imam,” kata Jorge muda. Ia pun masuk seminari.

Jorge Mario Bergoglio muda. Kredit: AP / Escuela El Savlador

Pada 1969, setelah 13 tahun belajar di Seminari, ia ditahbiskan menjadi imam. Ia menjadi pelayan umat di Serikat Yesus—kelompok imam Yesuit—di Argentina. Tak lama setelah menjadi imam, perang kotor meletus di Argentina. Dari 1974-1983, rezim militer Argentina mengejar, menangkap, dan menculik aktivis maupun politisi yang terafiliasi dengan organisasi kiri.

Pada 1998, ia diangkat menjadi Uskup Agung di Boenos Aires. Saat itu, sebagai uskup, ia menolak rumah mewah keuskupan dan memilih tinggal di apartemen kecil, memasak sendiri, dan naik transportasi umum. Ia sering naik Metro sendirian, dengan mengenakan pakaian hitam rohaniwan, dan tak dikenali oleh sebagian besar penumpang.

Salah satu langkah besar Uskup Jorge adalah memperkuat kehadiran gereja di kawasan kumuh atau villa miseria di Buenos Aires. Di bawah kepemimpinannya, jumlah imam yang ditempatkan di kawasan-kawasan miskin itu naik dua kali lipat. Ia pun dikenal sebagai “uskup villero”—yang sering diterjemahkan sebagai “uskup kampung” atau “uskup kawasan kumuh.”

Pada 2001, ia diangkat menjadi kardinal. Tahun-tahun itu, ia menjadi salah satu pemimpin agama yang berseru agar gereja melakukan pertobatan politik atas dosa-dosa di masa kediktatoran (dirty war).

Paus kaum papa

Pada 13 Maret 2013, Kardinal Jorge Bergoglio terpilih sebagai Paus Gereja Katolik Roma ke-266. Ia adalah paus pertama dari luar Eropa dalam 1.200 tahun terakhir. Ia juga Paus pertama dari benua Amerika Latin. Selain itu, ia juga Paus pertama dari Ordo Serikat Jesus.

Ia memilih nama “Fransiskus” sebagai penghormatan kepada Santo Fransiskus dari Asisi, santo asal Italia, tokoh religius yang lahir dari latar belakang keluarga kaya tetapi rela meninggalkan kemewahan demi melayani umat dan kemanusiaan.

Uskup Jorge Bergoglio di atas angkutan umum di Buenos Aires, Argentina. Kredit: AP Foto/Pablo Leguizamon, File

“Dia membawa ke dalam agama Kristen sebuah gagasan tentang kemiskinan melawan kemewahan, kesombongan, kesombongan kekuatan sipil dan gerejawi saat itu. Dia mengubah sejarah,” kata Paus Fransiskus.

Hari pelantikannya, ketika pertama kali muncul di balkon Basilika Santo Petrus, Vatikan, ia tidak mengangkat tangannya untuk memberkati. Ia berkata “buonasera” (selamat malam) sembari membungkuk dan meminta orang-orang memberkatinya. Gestur sederhana itu menunjukkan kesederhanaan.

Dia menginginkan gereja berpihak pada kaum miskin. Menurutnya, orang miskin adalah “jantung Injil.” Dan, sepanjang masa kepemimpinannya, ia menegaskan hal itu lewat kata dan perbuatan. Salah satu langkah simbolis yang penting: ia mengubah Kantor Pemberi Amal Paus—yang sebelumnya hampir tak terdengar gaungnya—menjadi alat nyata atas kepeduliannya terhadap kaum papa.

Pada 2017, ia menetapkan Hari Orang Miskin Sedunia. Ia berharap agar umat Katolik di seluruh dunia dapat menjadi tanda yang makin jelas bagi belas kasih Kristus kepada kaum kecil dan membutuhkan.

Ketika Eropa disesaki kebencian terhadap pengungsi dan imigran, yang dibakar apinya oleh partai dan politisi populis kanan, Paus Fransiskus justru membuka tangan lebar-lebar untuk merangkul para pengungsi dan imigran.

Ia mendorong sikap yang lebih ramah terhadap umat Katolik gay dan lesbian, dan bahkan mengundang orang-orang transgender untuk bertemu langsung dengannya di Vatikan.

Kritik terhadap kapitalisme

Paus Fransiskus banyak bersuara lantang mengkritik sistem kapitalisme. Hanya sebulan usai terpilih sebagai Paus, ia menerbitkan seruan apostolik berjudul “Evangelii Gaudium” atau “Suka Cita Injil” yang menyebut ketimpangan ekonomi hasil dari pendewaan pasar bebas sebagai akar dari masalah-masalah sosial.

“Sementara pendapatan segelintir orang makin meningkat pesat, pendapatan mayoritas justru merosot. Ketidakseimbangan semacam ini lahir dari ideologi yang mendewakan pasar dan spekulasi keuangan, sehingga negara tidak bisa mengatur demi kepentingan bersama,” katanya.

Ia juga mengkritik keyakinan buta pengikut jalan kapitalisme, yang percaya pada efek menetes (trickle down effect). Menurutnya, tak cukup hanya menunggu kekayaan itu menetes, tetapi si miskin harus menggoyang gelas.

Presiden Bolivia, Evo Morales, memberi Paus Fransiskus hadiah unik: salib yang diukir di atas palu arit dari kayu.
Kredit foto: AP

“Saya kira, liberalisme ekonomi yang tidak terkendali hanya membuat yang kaya semakin kaya, sementara yang lemah semakin lemah, dan semakin menyisihkan mereka yang sudah tersisih,” katanya.

Peduli isu krisis iklim

Paus Fransiskus juga punya perhatian besar pada isu-isu ekologi, terutama perubahan iklim. Ia menautkan isu perubahan iklim dengan jeritan si miskin.

Pada 2015, ia menerbitkan ensiklik ”Laudato Si”, yang membahas isu-isu lingkungan dan pertobatan ekologis. Paus menawarkan konsep “ekologi integral”, yaitu pandangan bahwa krisis iklim terhubung erat dengan masalah sosial, politik, dan ekonomi kita saat ini, dan tidak bisa diatasi secara terpisah.

“Kita tidak dihadapkan pada dua krisis terpisah, satu lingkungan dan satu sosial, melainkan pada satu krisis kompleks yang bersifat sosial dan lingkungan,” ujarnya.

Karena itu, ia mengajukan pendekatan yang menekankan penyelesaian soal krisis iklim harus bergandengan tangan dengan penyelesaian soal kemiskinan.

Pada 2023, sebagai bentuk perhatian serius pada isu krisis iklim, Paus Fransiskus menerbitkan ensiklik ”Laudate Deum”, yang menyerukan tindakan cepat terhadap krisis iklim dan mengutuk penyangkalan perubahan iklim.

Suara untuk perdamaian

Saat dunia diusik oleh konflik, Paus Fransiskus menjari suara paling jernih untuk mendorong perdamaian. Ia berupaya maksimal menggunakan suaranya untuk mendorong perdamaian di Suriah, Sudan Selatan, Kongo, Myanmar, Ukraina, dan Palestina.

Ia tak henti-hentinya berseru-seru dan berdoa untuk perdamaian di Palestina. Pada 2019, ia mempertemukan pemimpin Sudan Selatan dan oposisi di Vatikan. Bahkan, secara simbolis, Paus mencium kaki para pemimpin Sudan Selatan agar mau meletakkan senjata dan memulai perdamaian.

Ia juga berseru kepada pemimpin junta militer di Myanmar untuk segera membebaskan tokoh oposisi, Aung San Suu Kyi. Ia bahkan menawarkan perlindungan bagi Aung San Suu Kyi di Vatikan.

Paus Fransiskus juga aktif dalam mencegah invasi Rusia ke Ukraina. Dia berharap agar Kain (Rusia) tak menganiaya Habel (Ukraina), mengingat kedua negara itu masih bersaudara. Pada pesan Paskah, 9 Maret 2023, di lapangan Santo Petrus Vatikan, Paus secara khusus meminta Rusia merenungkan invasinya di Ukraina.

”Bantu orang-orang Ukraina tercinta dalam perjalanan mereka menuju perdamaian dan berikan cahaya Paskah kepada orang-orang Rusia,” kata Paus dalam pesan Urbi et Orbi.

Sudah tak terhitung berapa kali Paus Fransiskus mengeluarkan pernyataan mengenai situasi di Gaza yang terus memburuk dari hari ke hari. Paus Fransiskus kerap kali menyuarakan gencatan senjata dan negosiasi antara para pihak bertikai.

Ia juga tak segan-segan mengingatkan Israel dan kekejaman mereka terhadap Palestina. Misalnya, pada November 2024, dia menyebut tindakan pemerintah dan militer Israel terhadap warga Palestina di Gaza memiliki karakteristik genosida.

”Menurut beberapa ahli, apa yang terjadi di Gaza memiliki karakteristik genosida,” kata Paus dalam kutipan yang diterbitkan oleh harian Italia, La Stampa.

Paus Fransiskus pernah menjadi tuan rumah pertemuan antara Dubes Palestina dan Israel. Pada 2024, ia mengundang Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan mantan Perdana Menteri Israel Shimon Peres. ”Setiap hari saya berdoa perang ini akan berakhir,” kata Paus.

Paus Fransiskus adalah pembela warga Palestina yang gigih. Ia mengecam serangan-serangan Israel. Pada momen-momen terakhirnya, ia menginginkan gencatan senjata di Gaza.

Kepergian Paus Fransiskus meninggalkan duka mendalam, tetapi juga legasi yang kuat. Ia telah mengubah wajah Gereja Katolik, menjadikannya lebih inklusif, penuh kasih, dan peduli terhadap sesama.

Di tengah dunia yang sering kali penuh ketidakpastian, Paus Fransiskus telah memberi kita arah dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Kepergiannya bukanlah akhir, melainkan sebuah panggilan bagi kita untuk melanjutkan perjuangan yang telah ia mulai.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Perempuan, Kebangkitan, dan Perlawanan yang Tak Pernah Padam

Perempuan, Kebangkitan, dan Perlawanan yang Tak Pernah Padam

Pernyataan ini bukan sekadar pujian kosong, tapi bersumber dari kisah Injil yang

Next
Soeharto Tak Pantas Jadi Pahlawan Nasional

Soeharto Tak Pantas Jadi Pahlawan Nasional

Di tengah krisis sejarah dan memori kolektif yang makin keruh, Kementerian

You May Also Like
Total
0
Share