Presiden Prabowo Subianto punya rencana mengevakuasi warga Gaza di Palestina ke Indonesia. Dalam tahap pertama rencana itu, ada 1.000 warga Gaza yang akan dijemput dengan pesawat untuk dibawa ke Indonesia.
“Mereka di sini hanya sementara sampai pulih kembali. Dan pada saat pulih dan sehat kembali, kondisi Gaza sudah memungkinkan, mereka harus kembali ke daerah asal mereka. Saya kira itu sikap pemerintah Indonesia,” kata Prabowo, seperti dikutip Kompas.com, 10 April 2025.
Sepintas, jika malas membaca, rencana itu tampak mulia dan sejalan dengan prinsip kemanusiaan. Namun, jika kita rajin membaca dan membuka peta geopolitik dunia lebar-lebar, maka tampak ada misi busuk di balik rencana itu: kolonialisasi Palestina.
Dan, jika rajin membaca warta dunia sekilas saja, kita akan mendengar proposal serupa yang pernah dilontarkan Presiden AS, Donald Trump. Ironisnya, proposal busuk Trump itu sejalan dengan keinginan Israel.
Proposal Trump
Pada 4 Februari 2025, Trump melemparkan mimpi jahat: AS akan mengambilalih Gaza setelah warganya direlokasi ke tempat lain, terutama ke Mesir dan Yordania.
“AS akan mengambil alih Jalur Gaza, dan kami juga akan melakukan sesuatu terhadap wilayah itu,” kata Trump saat konferensi pers bersama Benyamin Netanyahu di Washington, Selasa, 4 Februari 2025.
Dalam rencana busuk itu, setelah merelokasi warga Gaza dan membersihkan dari bom, Trump akan menciptakan lebih banyak pekerjaan di Kota Gaza. Ia menyebut akan mengubah Gaza menjadi “Riviera di Timur Tengah”.
Tak lama setelah pernyataan itu, Trump mengunggah video buatan AI di media sosialnya: Gaza yang berubah dari kota penuh reruntuhan menjadi kota mewah di pinggir pantai. Video ini menuai kecaman dan tak lebih dari propaganda recehan.
Dalam skema proposal Trump, warga Gaza akan dipindahkan ke negara tetangga dan negara muslim yang siap menampung. Selain menyebut Mesir dan Yordania, nama Indonesia juga pernah tersebut.
Jangan anggap enteng, rencana Trump ini sangat serius. Dalam pertemuan dengan Netanyahu, Selasa, 8 April 2025, ia kembali menegaskan ulang rencana itu.
Kolonialisasi dan pembersihan etnis
Dalam artikel bertajuk “Trump’s Gaza Project is One of Ethnic Cleansing”, yang ditulis Louis Imbert di Le Monde, disebutkan bahwa proyek ini adalah “pembersihan etnis” dengan wajah baru.
Tujuannya jelas: menghapus populasi Palestina dari Gaza, bukan dengan genosida langsung, melainkan lewat pemaksaan eksodus besar-besaran, pemblokiran bantuan, dan relokasi massal yang dibungkus narasi kemanusiaan.
Amnesty International menyebut proyek ini sebagai bentuk kolonialisme abad ke-21. Organisasi itu mengingatkan bahwa pemindahan penduduk dari wilayah konflik bukan hanya ilegal menurut hukum internasional, tetapi juga mengukuhkan dominasi penjajah atas tanah jajahan (L’Orient Le Jour, 2025).
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyebut rencana Trump itu sebagai bentuk “pembersihan etnis” dan melanggar prinsip-prinsip hukum internasional.
“Dipaksa untuk dipindahkan adalah sesuatu yang melanggar hukum internasional. Warga Palestina harus dapat hidup di negara Palestina berdampingan dengan negara Israel. Itulah satu-satunya solusi yang dapat membawa perdamaian ke Timur Tengah,” kata Guterres.
Trump memasarkan proyeknya dengan gaya familiar: janji pembangunan, investasi, dan modernisasi. Tapi di balik itu, seperti ditulis Robert Fantina di Common Dreams, Gaza ditargetkan untuk dijadikan kawasan real estate mewah yang dikelola investor Israel dan AS, setelah penduduk aslinya diusir. Dengan kata lain, proyek ini ingin menjadikan Gaza seperti Riviera yang mewah dan damai—tanpa rakyat Palestina di dalamnya.
Misi Trump: rekolonisasi Palestina
Tulisan Mitchell Plitnick di Middle East Eye menyebut proyek Trump sebagai kelanjutan dari “misi kolonial gagal Amerika abad ke-19”. Ia merujuk pada upaya serupa di masa lalu, saat AS mendukung pemukiman orang kulit putih di tanah penduduk asli sebagai bentuk “peradaban”.
Gaza sekarang dijadikan proyek baru. Warga Palestina dianggap “masalah” yang harus disingkirkan, sementara tanah mereka disulap menjadi “kesempatan ekonomi”. Trump bahkan menyebut Gaza sebagai “wilayah yang tak diinginkan siapa pun,” untuk membenarkan pengusiran dan pendudukan ulang. Narasi ini mencerminkan retorika kolonial klasik: melegitimasi penjarahan dengan dalih kemajuan.
Dan, seperti disebut C.J. Polychroniou di ZNetwork, proyek ini akan didanai oleh gabungan kekuatan kapitalis Amerika, investor Teluk, dan pemukim ekstremis Yahudi, dengan target utama: mengambil alih tanah Palestina tanpa peluru—cukup dengan diplomasi, evakuasi, dan konstruksi hotel.
Indonesia di persimpangan
Dalam sejarahnya, sejak era Sukarno hingga Joko Widodo, sikap Indonesia selalu tegas: berdiri di sisi Palestina dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Sikap Indonesia ini sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Dalam sikap itu, posisi Indonesia bukan hanya menghadirkan perdamaian di tanah Palestina, tetapi juga mendukung hak warga Palestina untuk memiliki pemerintahan sendiri yang merdeka dan berdaulat.
Sejak 18 Maret lalu, Israel secara sepihak telah melanggar kesepakatan gencatan senjata dengan membombardir Gaza. Setidaknya, sejak serangan terbaru itu, ribuan warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, menjadi korban.
Selain itu, di tengah serangan militer tanpa pandang bulu itu, Israel juga memblokade Gaza dari semua bantuan kemanusiaan. Sekjen PBB menyebut Gaza menjadi “ladang pembantaian rakyat”.
”Lebih dari sebulan penuh berlalu tanpa setetes pun bantuan ke Gaza. Tidak ada makanan, tidak ada bahan bakar. Tidak ada obat-obatan. Tidak ada pasokan komersial. Ketika bantuan mengering, pintu air kengerian terbuka kembali,” kata Guterres.
Dalam konteks itu, Indonesia harusnya mengambil langkah keras untuk memaksa Israel menghentikan serangan militer dan mengakhiri blokade bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Agak lucu, negara yang menggiring Israel untuk diadili dengan tuduhan genosida ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah Afrika Selatan, bukan Indonesia. Ironisnya, di saat ICC mengeluarkan perintah penangkapan Netanyahu dan Yoav Galant, Indonesia tak bisa berbuat apa-apa, karena Indonesia bukan bagian dari ICC. Penyebabnya, Indonesia sampai sekarang takut meratifikasi statuta Roma. Mengapa? Karena Indonesia masih berjibaku dengan kejahatan HAM di masa lalu yang tidak tuntas.
Indonesia seharusnya meratifikasi statuta Roma sehingga bisa mengambil peran maksimal di ICC untuk menyeret penjahat-penjahat kemanusiaan di Israel ke pengadilan.
Selain itu, Indonesia seharusnya mengambil langkah konkret untuk mendukung Palestina. Indonesia juga bisa menggalang dukungan global untuk mendukung kemerdekaan Palestina lewat panggung-panggung internasional, seperti PBB, ASEAN, GNB, Asia-Afrika, dan lain-lain.
Dalam konteks itu, Indonesia harusnya konsisten menghentikan total segala bentuk kerjasama maupun kegiatan ekonomi dengan Israel maupun entitas bisnis yang terafiliasi dengannya. Jangan ada lagi kerjasama diam-diam, baik militer maupun ekonomi, antara Indonesia dengan Israel.
Oiya, ada kabar tak sedap yang beredar, bahwa kesediaan Indonesia mengevakuasi 1.000 warga Gaza, yang sejalan dengan agenda Trump, bagian dari upaya menawarkan konsesi terkait negosiasi kebijakan tarif. Kalau ini benar, betapa memalukannya kita sebagai sebuah negara yang dicap oleh Trump sebagai “these countries are calling us up, kissing my ass.”