Sidang pembaca yang budiman,
Indonesia kini berada di babak baru sejarah politiknya. Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming sudah terbentuk dan baru saja berjalan. Harapan baru bermekaran, tapi tak sedikit juga yang menatap masa depan dengan nuansa pesimis.
Kami menghadirkan analisa Situasi Nasional di bawah pemerintahan baru ini yang akan dimuat berseri. Melalui artikel berseri ini, kami menyuguhkan pandangan kami tentang kondisi ekonomi yang berkembang, dinamika politik yang terus bergerak, hingga potensi perubahan arah kebijakan ke depan. Dengan pendekatan kritis dan informatif, kami berusaha menghadirkan wawasan yang relevan dan tajam, agar Anda lebih memahami konteks besar di balik berbagai kebijakan dan peristiwa yang terjadi.
Jadikan artikel ini sebagai ruang diskusi untuk Indonesia yang lebih baik. Bukan untuk menjatuhkan, apalagi sekedar untuk menebar pesimisme. Dalam lubuk hati yang paling dalam, kami ingin berkontribusi bagi bangsa ini lewat kritik. Sebab, di tangan kita bersama, masa depan bangsa ini ditentukan. Selamat membaca!
Salam hangat,
Redaksi
Begitu dilantik pada 20 Oktober lalu, pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming disambut dengan harapan yang sangat tinggi.
Setidaknya, menurut survei Litbang Kompas pada pertengahan Oktober lalu, dukungan publik terhadap pemerintahan baru sangat tinggi: Prabowo 84,1 persen dan Gibran 71,1 persen. Itu berarti dukungan publik terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran meningkat pesat melebihi dukungan elektoralnya.
Harapan itu makin bermekaran sesuai Prabowo menyampaikan pidato perdananya di hadapan Sidang Paripurna MPR. Dengan pekik dan nuansa pidato yang berapi-api, Prabowo menjanjikan kekuasaan yang melayani rakyat, menghapus kemiskinan, memerangi korupsi, dan mewujudkan kedaulatan pangan dan energi.
Layar harapan sudah terkembang, nahkoda baru sudah mengambil alih kemudi, tetapi perjalanan yang akan diarungi oleh bahtera pemerintahan baru ini tidaklah tenang. Cuaca ekonomi global dan geopolitik kawasan sedang tidak baik-baik saja. Di dalam negeri, pemerintahan ini masih harus berjibaku dengan persoalan korupsi, ketimpangan ekonomi, kualitas demokrasi yang merosot, dan ancaman krisis ekologi.
Memang, perjalanan baru saja dimulai, sehingga terlalu dini untuk menilai berhasil dan tidaknya pemerintahan baru ini. Namun, mari mengingat pesan bijak filsuf Tiongkok, Lao Tzu: “Perjalanan seribu mil dimulai dengan langkah pertama.”
Komposisi Kabinet: Mesin Lama dan Tua
Pemerintahan baru citarasa lama. Begitulah kira-kira gambaran komposisi Kabinet yang baru dibentuk oleh Prabowo-Gibran.
Dalam kabinet baru itu, terselip 17 orang Menteri yang merupakan orang-orang Jokowi atau pernah menjabat di Kabinet Jokowi. Mereka menempati bidang-bidang strategis, seperti keuangan, industri, ESDM, pertanian, BUMN, penanaman modal, pangan, dan lain-lain.
Orang-orang Jokowi mengoperasikan Kementerian yang mengurusi bidang ekonomi. Selain itu, Dewan Ekonomi Nasional (DEN), yang bertugas memberi nasehat urusan ekonomi kepada Presiden, dipimpin oleh orang kepercayaan nomor wahid Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Dengan orang-orang Jokowi memegang kendali terhadap tim ekonomi dan DEN, maka haluan ekonomi Prabowo-Gibran tidak akan banyak berbeda dengan pendahulunya.
Pertama, komposisi tim ekonomi kurang menyakinkan untuk merespon situasi ekonomi global maupun kerentanan ekonomi dalam negeri. Meminjam pesan bijak ahli perang Tiongkok, Sun Tzu, ”jangan pernah menggunakan jurus yang sama untuk situasi dan kondisi yang berbeda.”
Kedua, komposisi tim ekonomi itu tidak sejalan dengan pernyataan Prabowo sebelumnya soal menteri berfaham neoliberal di pemerintahan Jokowi. Kita mafhum, Prabowo kerap melontarkan gagasan anti-neoliberal. Dalam bukunya, Paradoks Indonesia dan Solusinya (2022), Prabowo mengusung politik reorientasi haluan ekonomi dari neoliberal menjadi ekonomi kerakyatan berbasis pasal 33 UUD 1945.
Tidak banyak berbeda dengan pendahulunya, Kabinet Prabowo juga mengakomodir banyak pengusaha. Tidak sedikit yang terkait dan terafiliasi dengan bisnis ekstraktif. Bahkan, ada 4 Menteri dan Wakil Menteri yang dekat oligarki ekstraktif dari Kalimantan, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Haji Isam adalah salah satu bohir yang membiayai kampanye Prabowo-Gibran.
Tentu saja, kendali oligarki ekstraktif terhadap pemerintahan ini akan menyulitkan fondasi ekonomi Indonesia bergeser dari ekstraktivisme menjadi industrialisasi. Ini juga berpotensi menjegal agenda hilirisasi sumber daya alam berjalan di rel yang benar dan konsisten.
Terakhir, Kabinet Prabowo juga memberi tempat kepada orang-orang yang bermasalah. Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum, pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada akhir 2023 lalu. Menteri Pemuda dan Olahraga, Ario Bimo Nandito Ariotedjo, pernah terseret kasus korupsi pengadaan menara BTS 4G Kominfo. Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Airlangga Hartarto, pernah dipanggil Kejaksaan Agung terkait korupsi ekspor sawit mentah (CPO).
Nama bermasalah lainnya adalah Zulkifli Hasan. Politisi yang pernah dimarahi Harrison Ford ini pernah disebut-sebut terkait dengan suap alih-fungsi hutan menjadi lahan sawit di Riau dan kasus impor gula.
Jadi agak menggelikan, ketika Prabowo berseru-seru mau memerangi korupsi, tetapi kabinetnya menampung orang-orang bermasalah. Itu seperti kata pepatah: “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.”
Memang ada sedikit hal positif dengan penunjukan sejumlah mantan aktivis untuk menduduki Jabatan di Kementerian dan Kepala Badan, terutama yang berkaitan dengan penghapusan kemiskinan. Namun, tanpa reorientasi kebijakan ekonomi, kebijakan anti-kemiskinan akan seperti menjaring ikan dengan lubang jala yang lebar.
Namun, dalam konteks memajukan gerakan rakyat, keterlibatan para aktivis itu bisa memperkuat dan memperluas pengorganisasian rakyat jika pendekatan program pengurangan kemiskinan dilakukan berbasis posko, partisipatif dan disertai pengorganisasian warga.
Tantangan Ekonomi
Dunia sedang memasuki suasana yang agak muram. Ekonomi melambat di mana-mana. Inflasi merangkak naik, sementara perdagangan seolah kehilangan darah. Di AS, kandidat partai berkuasa terjungkal di Pemilu karena isu inflasi.
Di sisi lain, di beberapa titik meletup konflik. Perang Rusia-Ukraina belum selesai, sementara di Timur Tengah konflik bersenjata makin merembet luas. Di beberapa titik, seperti Taiwan-Tiongkok dan Korut-Korsel, bara konflik kembali memanas.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global 2024, Bank Dunia menyebut saat ini sebagai era pertumbuhan ekonomi terendah dalam 30 tahun terakhir. Situasi mungkin akan lebih memburuk jika konflik perang makin meluas dan Trump mulai menabuh kembali genderang perang dagang dengan Tiongkok.
Situasi Tiongkok tak lebih baik. Sejak menginjak tahun 2013, ekonomi salah satu raksasa dunia ini mulai melambat. Pada 2023, PDB Tiongkok hanya tumbuh 5,2 persen dan diprediksi hanya 4,8 persen pada tahun ini. Dan diprediksi akan terus melorot hingga beberapa tahun ke depan.
Padahal, dengan daya tumbuh ekonominya, Tiongkok selama ini menjadi mesin pertumbuhan kawasan yang mengerek negeri-negeri sekitarnya, termasuk Indonesia. Untuk diketahui, Tiongkok adalah tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan kontribusi sekitar 24-25 persen. Selain itu, Tiongkok juga investor asing terbesar kedua untuk Indonesia.
Di dalam negeri, situasi ekonomi juga tak lebih baik. Dalam satu dekade terakhir, ekonomi juga stagnan: tidak pernah lagi menyentuh angka 6 persen. Kalaupun ada pertumbuhan, itu karena faktor musiman. Dalam ekonomi, situasi ini disebut stagnasi sekuler.
Memang, pada pidato perdananya sebagai Presiden, Prabowo mengutip pepatah lama, to bury your head in the sand, like an ostrich. Jangan seperti burung unta yang memasukkan kepalanya ke dalam tanah ketika berhadapan dengan rintangan dan persoalan.
Untuk mewujudkan mimpinya menghapus kemiskinan dan membawa pendapatan per kapita manusia setara negara maju, Prabowo bertekad membuat ekonomi Indonesia melaju kencang minimal 8 persen per tahun dan menaikkan rasio penerimaan negara sebesar 23 persen.
Akan tetapi, jalan untuk mewujudkan mimpi itu tidaklah mulus, ada berlapis-lapis rintangan yang membentang.
Pertama, pemerintahan baru ini mewarisi tumpukan utang dari pemerintahan Jokowi. Pada akhir Agustus 2024, utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp 8.461,93 triliun. Jumlah itu melonjak sebesar 224 persen dari periode terakhir pemerintahan SBY.
Di atas kertas, rasio utang terhadap PDB masih 38,68 persen, sangat jauh dari batas aman yang dipatok oleh UU sebesar 60 persen. Masalahnya, PDB bukan alat ukur yang tepat. Pemerintah tak membayar utang dengan PDB, melainkan dari pendapatan (pajak, PNBP, dan hibah) atau pembiayaan (utang baru).
Apa artinya PDB yang tinggi jika tidak terkonversi menjadi pendapatan negara. Nah, kemampuan pemerintah mengonversi PDB, antara lain, dapat kita lihat rasio pajak (tax ratio). Faktanya, rasio pajak kita salah satu yang terendah di Asia Pasifik dan OECD.
Agar akurat, rasio utang harus dihubungkan dengan pendapatan negara. Jika merujuk pada pendapatan negara pada 2023, maka rasio utang pemerintah sudah di angka 300 persen. Artinya, butuh tiga kali pendapatan negara per tahun (base pendapatan negara 2023) untuk melunasi seluruh utang pemerintah.
Masalahnya lagi, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara per 2023 sudah ada di angka 15,8 persen. Artinya, sekitar 15-16 persen penerimaan negara habis hanya untuk membayar cicilan dan bunga utang. Ingat ya, itu baru pembayaran cicilan dan bunga utang.
Pada 2024 ini, beban utang pemerintah hampir mencapai Rp 500 triliun. Besaran itu mencakup 20,3 persen dari total belanja pemerintah pusat senilai Rp 2.446,5 triliun. Tahun ini, porsi pembayaran bunga utang menggelembung dua kali lipat di atas alokasi belanja modal yang bersifat produktif. Ingat pesan bijak: kalau pembayaran utang sudah melebihi kapasitas belanja produktif, itu pertanda tidak sehat.
Kedua, rasio pajak Indonesia masih sangat rendah, bahkan terendah di Asia Pasifik dan OECD. Selama satu dekade pemerintahan Jokowi, rasio pajak Indonesia tidak pernah menembus 11 persen.
Meskipun PDB Indonesia termasuk 20 terbesar di dunia, tetapi sebagian besar porsi kue ekonomi dinikmati oleh orang kaya. Peningkatan jumlah orang kaya Indonesia termasuk yang paling signifikan di dunia.
Sepanjang 2017-2022, jumlah Ultra High Net Worth Individual (UHNWI) Indonesia bertambah 58,7 persen. Dan jumlah ini diprediksi meningkat 17,1 persen pada 2017. Pada 2022, jumlah UHNWI Indonesia mencapai 556 orang. Pada 2027, jumlahnya diperkirakan 651 orang.
Untuk diketahui, UHNWI adalah mereka yang memiliki kekayaan bersih sebesar setara atau lebih dari 30 juta dollar AS atau ekuivalen Rp 447,1 miliar. Pada 2021-2022, pertumbuhan UHNWI Indonesia merupakan peringkat ke-7.
Berdasarkan data CELIOS, pada 2024, kekayaan dari 50 triliuner Indonesia mencapai Rp5,243.07, hampir dua kali lipat dari APBN 2024 dan hampir tiga kali lipat dari total pendapatan negara pada 2023.
Sayang sekali, kontribusi pajak orang kaya Indonesia terhadap pendapatan negara masih sangat minim. Berdasarkan catatan Kemenkeu, dari total penerimaan pajak sebesar Rp1.196,54 triliun sepanjang Januari-Agustus 2024, total kontribusi PPh OP hanya sebesar Rp11,44 triliun (0,96 persen). Khusus untuk UHNWI, pada 2023, kontribusinya hanya 0,00011 persen.
Di Indonesia, orang kaya mendapat banyak perlakuan khusus, mulai dari pengampunan pajak hingga beragam insentif pajak lainnya. Selain itu, orang kaya juga punya power untuk menemukan begitu banyak celah untuk penghindaran pajak.
Data dari Tax Justice Network 2023 mengungkapkan, Indonesia kehilangan setidaknya Rp41,8 triliun per tahun dari penghindaran pajak atau 0,3 persen dari GDP.
Di sisi lain, kelas menengah dan bawah ditimpuki beban pajak yang tinggi lewat kenaikan PPN 12 persen pada 2025. Selain itu, kelas menengah yang sudah terhimpit situasi ekonomi ini kerap dikejar dengan “denda pajak”.
Upaya menaikkan rasio pajak dengan pendekatan regresif (lebih mengejar kelas menengah dan bawah) tidak akan berhasil. Sebab, sebagian besar kelas menengah-bawah Indonesia berpendapatan di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Di Indonesia, sebanyak 59,17 persen tenaga kerja adalah pekerja informal, yang tidak tercakup dalam ketentuan upah minimum dan jaminan sosial. Sementara, berdasarkan data BPS 2023, rata-rata upah pekerja di Indonesia hanya Rp 2,9 juta per bulan.
Ketiga, Indonesia juga berhadapan deindustrialisasi dini. Pada pertengahan 1990-an, jelang kejatuhan Orde Baru, kontribusi manufaktur pada PDB mencapai 25,6 persen. Seharusnya, peranan manufaktur terhadap PDB tetap bertahan tinggi hingga Indonesia mendekati status negara pendapatan tinggi.
Sayang sekali, sebelum Indonesia mendekati status pendapatan tinggi, kontribusi manufaktur terhadap PDB malah melandai. Sejak 2002, kontribusi manufaktur cenderung menurun. Puncaknya, dari 2009 hingga 2022, dari 25,3 persen menjadi tinggal 18,3 persen.
Begitu pula dengan nilai tambah manufaktur Indonesia terhadap PDB. Pada 2022, angkanya tinggal 18,34 persen. Dibanding 20 tahun sebelumnya, angka tersebut menurun sekitar 10 persen.
Menurut kami, ada tiga faktor penting yang menyebabkan deindustrialisasi. Pertama, ketergantungan terhadap ekonomi ekstraktif. Salah satu dampaknya adalah penyakit Belanda (Dutch disease). Ekspor non-komoditas, seperti manufaktur, menjadi mahal dan tidak kompetitif. Ekstraktivisme juga membuat industri dalam negeri ketergantungan bahan baku dan penolong dari luar negeri.
Penyakit korupsi dan ekonomi biaya tinggi juga jadi masalah. Ketika industri berorientasi ekspor, mereka masuk medan yang sangat kompetitif. Mereka tak bisa menentukan harga pasar global (price taker). Masalahnya, mereka dibebani biaya tinggi di luar komponen produksi lantaran korupsi, korupsi, pungli, proses izin yang lambat dan mahal, dan lain-lain. Tentu saja, beban ekonomi biaya tinggi ini tidak bisa dibebankan ke konsumen.
Jika dibebankan kepada konsumen, maka konsumen akan memilih produk dari negara lain yang lebih murah. Implikasinya, margin keuntungan mengecil. Tak ada insentif untuk melakukan inovasi atau menambah investasi. Mereka menjadi tidak kompetitif dan kalah bersaing.
Faktor ketiga adalah liberalisasi impor yang berlangsung sejak pasca reformasi 1998. Industri dalam negeri, yang berbiaya tinggi, dukungan SDM rendah, kurang didukung teknologi, kalah bersaing dengan barang impor yang lebih murah dan berkualitas.
Selain itu, lebih dari 90 persen unit usaha di Indonesia adalah mikro dengan karyawan 1-4 orang dan kontribusinya pada perekonomian sekitar 5 persen. Mereka sangat rentan tergilas oleh kebijakan liberalisasi impor.
Keempat, Jokowi juga mewariskan ketimpangan ekonomi yang ekstrim. Laporan terbaru Laporan terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan, kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia. Dalam kurun waktu enam tahun ke depan, Indonesia akan memiliki kuadriliuner pertama dalam sejarah. Ingat, 1 kuadriliun berarti 1.000 triliun.
Jadi, sebentar lagi Indonesia akan punya orang kaya dengan nilai kekayaan ribuan triliun, sementara pada Maret 2024 masih ada 25,2 juta orang Indonesia hidup dengan pengeluaran Rp 582.932 per bulan.
Sejak bulan lalu hingga hari-hari ini, kita mendapat cerita tentang menyusutnya kelas menengah di tengah himpitan ekonomi. Pada 2019, jumlah kelas menengah masih 21,45 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, tahun ini jumlahnya tinggal 17,44 persen atau 47,85 juta jiwa.
Sebagian besar mereka jatuh menjadi calon kelas menengah atau aspiring middle class. Pada 2019, jumlah calon kelas menengah ini mencapai 128,85 juta. Sekarang jumlahnya bertambah menjadi 137,5 juta jiwa.
Jumlah kelompok rentan (vulnerable), yang sedang bergantung di ranting kayu dan sangat rapuh untuk jatuh ke lubang kemiskinan, justru ikut meningkat. Pada 2019, jumlahnya mencapai 54,97 juta. Namun, pada 2024, jumlahnya meningkat menjadi 67,69 juta jiwa.
Empat persoalan itu merintangi jalan Prabowo untuk mempercepat penghapusan kemiskinan. Namun, itu bukan mustahil, asalkan ditopang oleh institusi dan pendekatan yang tepat.
Di sinilah letak masalahnya. Kabinet Prabowo didominasi oleh triumvirat politisi, pengusaha, dan militer. Pada tiga kelompok itu, nuansanya lebih ke “politik balas budi” ketimbang kapasitas. Sementara profesional dan akademisi hanya 21 persen.
Hampir semua pejabat yang memegang urusan ekonomi di pemerintahan baru adalah bekas pasukan Jokowi. Bahkan kepala DEN pun orang Jokowi. Dengan komposisi itu, agak sulit berhadap ada banting setir haluan ekonomi.
Meskipun Prabowo sudah membubarkan Satgas UU Cipta Kerja, tetapi UU-nya sendiri belum dicabut. Padahal, semangat utama UU Cipta Kerja adalah deregulasi neoliberal, yang bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD 1945.
Selain itu, untuk menambah kas sekaligus menambal defisit APBN, maka pendekatannya adalah menaikkan pajak untuk kelas menengah bawah (PPN 12 persen), menambah utang, dan memangkas subsidi sosial. Ketiga pendekatan itu hanya menambah beban penderitaan di pundak rakyat.
Dalam politik perpajakan, pemerintahan Prabowo yang mewarisi arsitek-arsitek ekonomi Jokowi masih melanjutkan politik pajak tidak berkeadilan, yang memberi beban pajak lebih besar kepada menengah dan bawah. Alih-alih mempertimbangkan pajak kekayaan untuk mendorong redistribusi kekayaan, pemerintahan Prabowo justru menaikkan PPN 12 persen.
Kenaikan PPN 12 persen akan semakin memukul daya beli kelas menengah bawah, yang memang sudah rontok sejak pandemi hingga sekarang. Tentu saja, kenaikan PPN 12 persen akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi. Sebab, hampir 60 persen porsi pertumbuhan PDB disumbang oleh konsumsi rumah tangga.