Partai Kiri di Jerman Bangkit Berkat Medsos

Pemilihan Umum Federal di Jerman, yang berlangsung pada 23 Februari lalu, tidak membawa banyak kejutan. Koalisi konservatif, Uni Kristen Demokrat (CDU) dan Uni Kristen Sosial (CSU), meraih suara terbanyak.

Koalisi yang dipimpin Friedrich Merz ini meraih 28,60 persen suara. Partai ekstrem kanan, Alternatif untuk Jerman (AfD), mengalami lonjakan suara signifikan. Dengan suara 20,8 persen, AfD menjelma menjadi kekuatan politik terbesar kedua di Jerman.

Nasib kurang beruntung justru menimpa kiri tengah dan hijau. Partai Sosial-Demokrat (SPD), yang sebelumnya berkuasa, hanya meraih 16,4 persen suara. Sementara mitra koalisinya, Die Grünen (Hijau), mendapat 11,6 persen suara.

Satu-satunya hal menakjubkan adalah kebangkitan Partai Kiri (Die Linke). Mereka berhasil meraih suara 8,8 persen. Pada pemilu sebelumnya, dukungan elektoral partai ini jeblok. Suara mereka hanya 4,9 persen dan tidak tembus ambang batas parlemen (5 persen).

Mengenal Die Linke

Kisah Die Linke bermula pada 2007. Saat itu, dua partai kiri dari Jerman Timur dan Jerman Barat, yang sama-sama “hidup segan mati tak mau”, bersepakat untuk melebur.

Partai Demokratik Sosialis (PDS), yang berbasis di Jerman Timur, punya kaitan dengan partai lama Partai Persatuan Sosialis (SED). SED adalah partai komunis yang berkuasa di Jerman Timur dari dari 1949 hingga 1989 (runtuhnya tembok Berlin).

Sedangkan Alternatif Elektoral untuk Buruh dan Keadilan Sosial (WASG) berbasis di Jerman Barat. Sebagian besar figurnya adalah bekas politisi Partai Sosial Demokrat (SPD), seperti Oskar Lafontaine, yang kecewa dengan arah politik pemerintahan di bawah SPD-Hijau yang condong ke neoliberal.

Pada 16 Juni 2007, PDS dan WASG sepakat merger. Mereka kemudian mengadopsi nama baru: Kiri (Die Linke). Awalnya, performa partai ini cukup menjanjikan. Pada 2009, mereka meraih 11,9 persen suara dan menjadi kekuatan politik keempat di Jerman.

Aksi demonstrasi Die Linke di  Leipzig, 2022. Kredit: Rosa Luxemburg Foundation 

Namun, pada pemilu-pemilu berikutnya suara mereka mulai menurun. Puncaknya, pada pemilu 2021, perolehan suara mereka hanya 4,9 persen dan gagal menembus ambang batas parlemen.

Dalam situasi kemunduran elektoral itu, faksionalisme di internal Die Linke menguat. Sejumlah kader pimpinan, seperti Sahra Wagenknecht dan Amira Mohamed Ali, menyatakan keluar dari partai. Mereka kemudian mendirikan partai sendiri dengan nama Sahra Wagenknecht Alliance (BSW).

Usai perpecahan itu, nasib Die Linke makin redup. Sampai-sampai media liberal-tengah semacam Politico menyebut Die Linke sedang menggali liang kuburnya.

Hadirnya figur baru

Awal 2024, kepemimpinan Die Linke di Bundestag dipegang oleh seorang anak muda usia 36 tahun. Namanya: Heidi Reichinnek.

Heidi, yang sedang di Kairo, Mesir, saat revolusi bertajuk “Arab Spring” menggulingkan diktator Hosni Mubarak, baru bergabung dengan Die Linke pada 2015. Tahun berikutnya, sebagai kader Die Linke, dia terpilih sebagai Dewan Kota di Osnabrück.

Heidi Reichinnek. Kredit: Die Linke

Pada 2021, dia mencalonkan diri dalam konstituensi Kota Osnabrück. Meskipun hanya menempati urutan ke-5, dia tetap terpilih sebagai anggota Bundestag (parlemen Jerman) lewat jalur daftar negara bagian (Landesliste).

Di Bundestag, Heidi menjadi juru bicara Die Linke. Perempuan yang punya tatto bergambar Rosa Luxemburg, tokoh revolusioner Jerman, di lengan kirinya ini sangat vokal menyerang politik kanan di Bundestag.

Pada Januari 2025, pidatonya di Bundestag tiba-tiba viral di media sosial. Saat itu, pidatonya menyerang pimpinan konservatif (CDU), Friedrich Merz, yang secara sengaja mau berkolaborasi dengan ekstrem kanan, AfD, untuk meloloskan UU yang memperketat imigrasi ke Jerman.

“Semua ini terjadi hanya dua hari setelah kita mengenang pembebasan Auschwitz, dua hari setelah mengenang mereka yang dibunuh dan disiksa. Sekarang kalian malah bekerja sama dengan orang-orang yang membawa ideologi yang sama,” katanya dengan nada berapi-api.

Video itu viral di medsos. Di Twitter, video pidato Heidi ditonton oleh lebih 7 juta orang. Tidak sedikit media arus utama yang menjuluki Heidi sebagai “Ratu Tiktok”. Efek viral itu ternyata juga membawa efek elektoral.

Dukungan terhadap Die Linke langsung meroket, terutama dari kalangan anak muda. Tak sampai sebulan, partai ini mendapat tambahan anggota baru sekitar 30 ribu orang. Acara dan pertemuan partai langsung disesaki oleh anak-anak muda yang muak dengan rasisme dan pasang fasisme berjubah AfD.

Posisi politik dan fokus isu

Kebangkitan neo-Nazi, yang terwakili oleh AfD, sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya bagi warga imigran maupun mereka yang dicap non-pribumi, tetapi juga bagi warga Jerman yang tak ingin masa lalu yang kelam di bawah Nazi terulang kembali.

Boleh dikatakan, Die Linke menjadi partai paling keras dan lantang menentang AfD. Mereka menyebut diri sebagai “benteng terakhir” perlawanan terhadap neo-Nazi. Posisi politik yang terang-benderang ini menempatkan Die Linke sebagai partai alternatif.

Selain perlawanan terhadap neo-Nazi, Die Linke juga menyusun program perjuangan yang konkret untuk menjawab persoalan yang dihadapi rakyat Jerman.

Fokus isu Die Linke memang menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah yang terimpit oleh kenaikan biaya sewa, upah rendah, dan inflasi. Demi mengencangkan daya beli warga, Die Linke menuntut penghapusan PPN pada bahan makanan pokok, produk-produk kebersihan dan kesehatan, dan tiket angkutan umum.

Sementara, demi mengatasi ketimpangan sekaligus menaikkan penerimaan negara, Die Linke mengusulkan pajak kekayaan secara progresif: 1 persen untuk orang yang memiliki 1 juta euro, 5 persen untuk kekayaan di atas 50 juta euro, dan 12 persen untuk kekayaan di atas 1 miliar euro.

“Orang-orang menyadari bahwa Die Linke yang paling kredibel memperjuangkan isu-isu sosial. Tidak ada partai lain yang melakukannya. Kami adalah satu-satunya partai yang menentang oligarki,” kata salah satu pemimpin partai, Ines Schwerdtner, kepada DW.

Selain kampanye medsos dan positioning issue yang tepat, faktor lain yang mendongkrak perolehan suara Die Linke adalah aksi turun ke bawah. Selama kampanye, kader-kader partai rajin melakukan kampanye dari pintu ke pintu.

“Kami mengetuk sedikitnya 300 ribu pintu rumah. Kami berbicara dengan warga, kami berusaha mendengar, dan berusaha membantu keseharian mereka,” ujar Heidi Reichinnek, seperti dikutip Politico, 20 Februari 2025.

Partai Kiri “comeback”

Dalam sepak bola ada istilah comeback, manakala sebuah tim bisa unggul kembali setelah sebelumnya tertinggal atau kebobolan. Die Linke juga melakukannya dalam politik elektoral.

Hanya dalam sebulan alias last minute, Die Linke berhasil melakukan comeback. Pada Desember 2024, elektabilitas partai ini hanya 3 persen. Namun, hanya dalam rentang sebulan lebih, elektabilitas mereka meroket.

“Partai kiri hidup lagi,” kata sang ketua Die Linke, Jan van Aken, di tengah kerumunan massa yang menunggu hasil pemilu, Minggu (23/2) lalu.

Namun, kebangkitan politik ini punya tantangan di depan mata. Kemenangan konservatif dan keberhasilan AfD menjadi kekuatan politik kedua terbesar jelas merupakan ancaman bagi eksistensi politik progresif dan agendanya.

Die Linke, yang dicap sebagai underdog, harus bekerja lebih keras lagi untuk menghimpun sebanyak-banyaknya warga Jerman dalam barisan politiknya. Sebuah aliansi politik yang lebih lebar, yang menyatukan semua yang menentang bangkitnya neo-Nazi, juga sangat diperlukan.

Total
0
Shares
Comments 1
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Intimidasi Sukatani dan Masa Depan Kebebasan Berekspresi

Intimidasi Sukatani dan Masa Depan Kebebasan Berekspresi

Salah satu contohnya adalah Sukatani, duo punk asal Purbalingga, Jawa Tengah,

Next
Seni, Sensor, dan Kembalinya Bayang-bayang Orde Baru

Seni, Sensor, dan Kembalinya Bayang-bayang Orde Baru

Pelarangan pameran seni di Galeri Nasional dan intimidasi terhadap lagu Bayar

You May Also Like
Total
0
Share