Panggung dan Sajak Perlawanan W.S. Rendra

Ada orang-orang yang suaranya tak bisa dibungkam oleh teror, juga yang penanya tak tumpul meski diancam penjara. Willibrordus Surendra Broto, nama yang ia sandang sejak lahir pada 7 November 1935, adalah salah satunya. Perjalanannya terbentang dari panggung-panggung sastra di Yogyakarta, melintasi akademi drama di New York, hingga akhirnya memilih panggung rakyat sebagai medan perjuangan utamanya. Dunia mengenalnya dengan nama panggung W.S. Rendra.

Ia dijuluki “Si Burung Merak”. Sebuah julukan yang terasa begitu pas. Seperti merak, ia tak pernah ragu memamerkan keindahan dan warnanya yang paling cemerlang, bahkan di tengah zaman yang kelabu dan menuntut kepatuhan. Panggung adalah dunianya, dan di atas panggung itu, ia menari, berdeklamasi, serta menyuarakan apa yang banyak orang hanya berani bisikkan.

Jejak kariernya dimulai sejak masa kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta di mana ia lebih dikenal dengan sajak-sajak lirisnya yang romantis. Cakrawalanya meluas secara dramatis ketika ia belajar di American Academy of Dramatic Arts (AADA) di New York. Sekembalinya ke Tanah Air pada 1967, ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta, sebuah komunitas yang merevolusi panggung seni pertunjukan di Indonesia. Di masa ini pula, ia menempuh perjalanan spiritual yang mendalam, berpindah keyakinan dari Katolik ke Islam.

Rendra membacakan puisinya. Kredit: TEMPO

Namun, gejolak zaman Orde Baru memanggilnya ke sebuah panggung yang lebih besar dan berbahaya. Lirisisme dalam sajak-sajaknya mulai berganti dengan teriakan tajam. Ia tak lagi sekadar merayu, melainkan menampar. Ia menciptakan metafora-metafora perlawanan yang cerdas dan menusuk, yang membuat karya-karyanya menjadi ancaman bagi rezim.

Karya-karya inilah yang menjadi senjatanya. Ambil contoh Sajak Sebatang Lisong (1977). Dengan gaya yang santai namun sinis, ia menyingkap ketimpangan yang terhampar di dunia pendidikan, anak-anak yang putus sekolah, dan kebijakan pembangunan yang top-down. Menariknya, ia mempertanyakan sikap kaum intektual dan seniman yang seakan diam terhadap ketidakadilan itu.

Sajak ini kemudian menginspirasi sutradara Sjuman Djaja, salah seorang sineas berpendidikan Rusia di masa Orde Lama, untuk membuat film “Yang Muda Yang Bercinta” di mana Rendra menjadi pemeran utamanya.

Ketika menyaksikan parlemen tidak berfungsi sebagaimana mestinya, Rendra mulai menggalang agenda-agenda mimbar bebas di kampus-kampus sejak tahun 1970-an. Ia membacakan sajak-sajak bernuansa kritik kepada pemerintah yang kemudian dikumpulkan dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi.

Dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa (1977), ia menantang kaum terpelajar untuk tidak menjadi “robot-robot” yang patuh, melainkan mempertanyakan kebenaran absolut yang disodorkan penguasa. Lalu puisi Aku Tulis Pamplet Ini (1978) sebagai reaksi atas macetnya lembaga-lembaga demokrasi yang seharusnya menyalurkan keresahan dan aspirasi rakyat.

WS Rendra digiring tentara setelah membuat Tirakatan (Doa agar Indonesia terbebas dari korupsi) di Jalan Thamrin. Kredit: ARSIP KOMPAS

Di panggung teater, kritiknya menjadi lebih kolosal. Pementasannya yang legendaris, Mastodon dan Burung Kondor (1973), dilarang oleh rezim karena alegorinya yang terlalu telanjang. Ia menggambarkan para penguasa tua yang korup dan kolot sebagai “mastodon”—makhluk purba raksasa yang rakus dan enggan berubah—yang pada akhirnya akan punah dilibas zaman yang diwakili oleh “burung kondor” yang bebas. Pesan itu begitu kuat dan mengganggu, sehingga panggungnya pun terpaksa dibungkam.

Karya-karya inilah yang membuatnya menjadi musuh publik bagi rezim. Ia tidak mengangkat senjata, tetapi kata-katanya terbukti lebih berbahaya. Konsekuensinya, teror dan tekanan menjadi kawan akrabnya.

Pada April 1978, saat membacakan puisi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rendra dilempari enam bungkus bom amonia. Dua orang pingsang di depan panggung. Padahal, pada acara itu hadir mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Wakil Presiden Hatta, dan mantan Kapolri Jenderal Hoegeng.

Sembari menutup hidungnya dengan sapu tangan, Rendra berteriak, ”Saya tidak mundur. Saya bertanya, apakah saudara akan mundur?” Penonton menyambut, ”Tidaakkk.”

”Saya diganggu dan dijamah. Saya mempertahankan peradaban. Saya mempertahankan hukum dan akal sehat. Kekacauan yang tidak pasti tadi adalah teror. Adalah unsur antiperadaban. Adalah unsur yang memalukan bangsa,” teriak Rendra lagi.

Gara-gara keberaniannya itu, ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara militer selama lima bulan lebih tanpa pengadilan. Penjara seolah menjadi stempel pengesahan bahwa puisinya adalah kebenaran yang paling ditakuti.

Di akhir era 1980-an, panggung perlawanan Rendra semakin meluas. Ia menjadi bagian dari Kantata Takwa, sebuah supergrup musik yang diisi oleh Iwan Fals dan Setiawan Djody. Di sini, puisi-puisinya yang tajam menyatu dengan raungan gitar rock, hingga menciptakan sebuah bentuk protes baru yang bisa menjangkau ratusan ribu orang. Konser akbar mereka di Stadion Utama Senayan pada tahun 1990 adalah sebuah peristiwa legendaris.

W.S. Rendra berpulang pada 6 Agustus 2009. Namun, Burung Merak itu tak pernah benar-benar pergi. Ia meninggalkan warisan yang jauh lebih besar dari sekadar kumpulan sajak. Ia meninggalkan sebuah pertanyaan untuk kita semua: di zaman ketika ketidakadilan hadir dalam bentuk yang lebih halus, masih adakah di antara kita yang berani bersuara selantang dia?

Kepada kita, Rendra mengajarkan bahwa kesenian tertinggi adalah keberanian untuk tidak diam terhadap segala bentuk ketidakadilan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Aktivis dalam Pusaran Politik Praktis

Aktivis dalam Pusaran Politik Praktis

Di tengah krisis demokrasi dan turunnya kepercayaan publik terhadap partai

Next
Ojol, Konvensi ILO, dan Tantangan Koperasi

Ojol, Konvensi ILO, dan Tantangan Koperasi

Meski diapresiasi, namun, pendekatan ILO yang mengategorikan pengemudi sebagai

You May Also Like
Total
0
Share