Merdika.Id

Menyajikan analisis dan liputan mendalam terhadap berbagai isu sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun internasional. Kami menggunakan sudut pandang yang kritis, jernih, dan berbasis data.

Ingin ikut berkontribusi memperkaya gagasan-gagasan kami, silahkan kirim artikel ke:

Redaksi Merdika.Id

Blueprint

A perfect balance of exhilarating flexiblity and the effortless simplicity of the Code Supply Co. WordPress themes.

The ultimate publishing experience is here.

Nyanyian Protes Joan Baez

Suatu hari di tahun 1951, di kota Baghdad, Irak, seorang gadis kecil sedang membaca catatan harian Anne Frank, The Diary of a Young Girl.

“Buku itu sangat penting. Itu membuka mataku untuk melihat ketidakadilan,” kata Joan Baez, nama gadis kecil itu, seperti dikutip The Independent, 19 Januari 2004.

Saat itu, Baez sedang menyertai bapaknya, yang bekerja di UNESCO, bertugas di kota Baghdad. Hari-hari itu kota yang terletak di tepi barat Tigris itu tak hanya berkutak dengan kemiskinan, tetapi juga meringkuk dalam serangkaian serangan bom.

Sejak itu Baez terusik oleh ketidakadilan yang tampak di depan matanya. Hatinya selalu bergetar marah bila melihat penindasan dan ketidakadilan. Tak hanya menggerutu, dia bersuara keras dan bertindak.

Baez lahir di Staten Island, New York, pada 9 Januari 1941. Ia punya darah Meksiko dari bapaknya, Albert Baez. Sedangkan ibunya, Joan Chandos Baez, berasal dari Skotlandia. Dia anak kedua dari tiga bersaudara.

Berkenalan dengan Musik

Keluarga Baez sangat terdidik. Bapaknya mendapat gelar PhD dari Stanford University. Albert merupakan salah satu pelopor penemuan mikroskop sinar-X.

Namun, terlahir dari keluarga kelas menengah terdidik tak membuat Baez terhindar dari diskriminasi. Dengan warna kulit agak gelap dan nama Meksiko, ia sulit diterima oleh sebagian anak-anak kulit putih. Sebaliknya, pada anak-anak Meksiko dan latino, dia juga tak begitu diterima karena tak bisa berbicara dalam bahasa Spanyol.

Suatu hari, Baez kecil menerima hadiah ukulele. Siapa sangka, ukulele itulah yang mulai menggiring jalan hidupnya ke jalan bermusik. Dengan alat musik petik berukuran kecil itu, dia bisa bernyanyi dan menyuarakan isi hatinya.

Pada suatu hari di musim semi 1954, Baez diajak pamannya untuk menonton konser musik folk yang menghadirkan musisi folk yang sedang naik daun, Pete Seeger. Saat itu usia Baez baru menginjak 13 tahun. Konser itulah yang menarik minat Baez untuk mencintai musik folk.

Saat itu Baez bersekolah di Palo Alto High School. Suatu hari, sekolahnya membuat simulasi menghadapi serangan nuklir. Murid-murid di suruh pulang ke rumah dan berlindung di ruang bawah tanah.

Namun, Baez menolak. Ia menganggap itu sia-sia. Sebelum sampai ke ruang bawah tanah, misil-misil dari Moskow sudah sampai ke Palo Alto, katanya. Harusnya, menurut dia, ada cara lain untuk mencegah serangan misil itu. Itulah pertama kalinya Baez melakukan aksi pembangkangan.

Pada 1958, setelah Baez tamat dari SMU Palo Alto, keluarganya pindah ke Boston, Massachusetts. Kota Boston merupakan jantungnya musik folk kala itu. Di kota inilah semangat bermusik Baez makin tumbuh bermekaran.

Selain belajar, dia mulai bernyanyi di klub-klub. Tetapi lama-kelamaan, dia makin larut dengan musik folk. Hingga, pada 1959, Baez bersama Bill Wood dan Ted Alevizos mulai merekam album pertamanya, Folksingers ‘Round Harvard Square.

Tahun itu juga Baez bertemu duo penyanyi folk yang sedang naik daun, Bob Gibson dan Odetta. Gibson juga yang mengundang Baez untuk tampil di konser musik folk Newport. Konser itulah yang melambungkan nama Baez.

Tahun 1960, Baez merekam album solo pertamanya berjudul “Joan Baez”. Di album inilah terselip lagu “Donna, Donna” yang masyhur itu. Ini sebetulnya lagu lama yang ditulis oleh Sholom Secunda dan Aaron Zeitlin pada 1941, tetapi baru populer setelah dinyanyikan oleh Baez.

Setahun kemudian, Baez kembali mengeluarkan album kedua, Joan Baez, Vol. 2. Disusul dengan album yang berisi lagu-lagu konser Baez, Joan Baez in Concert, Part 1 (1962) dan Joan Baez in Concert, Part 2 (1963).

Sejak itulah nama Baez makin berkibar. Wajah Baez muncul jadi sampul majalah TIME pada 1962. Saat itu dia sudah dijuluki “Ratunya musik folk”. Suatu hari, dia sedang manggung di Greenwich Village. Di sanalah ia bertemu Bob Dylan, penyanyi folk yang juga lagi naik daun.

Lagu Protes

Baez dan Dylan langsung cocok. Keduanya menjadi sepasang kekasih. Tak hanya kerap berbagi panggung dan menyanyi bersama, mereka juga bergandengan tangan dalam melawan ketidakadilan.

Tahun 1960-an adalah zaman bergerak di Amerika serikat. Ada dua momentum yang menyeret jutaan orang untuk turun ke jalan, yaitu gerakan hak sipil menentang rasisme dan gerakan anti perang Vietnam.

Baez dan Dylan terseret dalam arus zaman bergerak itu. Mereka langsung menceburkan diri dalam barisan massa yang bergerak.

Tahun 1963, saat usianya baru 22 tahun, Baez sudah tampil di tengah mega-protes. Hari itu, 28 Agustus 1963, gerakan hak-hak sipil yang dimotori oleh Dr. Martin Luther King Jr menggelar pawai besar di Washington. Pawai itu mengumpulkan 200–300 ribu orang.

Di aksi itu, Baez tak sekedar jadi peserta aksi. Dia tampil di atas panggung dan menyanyikan “We Shall Overcome” dan “Oh Freedom”. Dia juga menyanyi bersama Dylan untuk lagu “When the Ship Comes In”. Tak lama setelah pawai Washington, lagu “We Shall Overcome” sangat populer dan menjadi lagu wajib saat aksi protes.

Usai pawai Washington, Baez makin sering hadir dan bernyanyi di aksi-aksi protes. Dia hadir dalam aksi protes Free Speech Movement di University of California, Berkeley, yang memperjuangkan hak-hak mahasiswa untuk berbicara isu-isu sosial di luar kampus.

Tahun 1964, sebagai bentuk protes atas kejahatan AS dalam perang Vietnam, dia memprotes penggunaan pajak penghasilan sebesar 60 persen untuk membiayai perang Vietnam.

Tahun itu juga dia bersama Ira Sandperl mendirikan sebuah institut untuk mempelajari perjuangan anti-kekerasan, yaitu Institute for the Study of Non-Violence, di Carmel Valley, California. Di institut itu diajarkan pemikiran Henry David Thoreau, Mahatma Gandhi, dan Jiddu Krishnamurti.

Sepanjang 1960-an, Baez banyak menceburkan diri dalam aksi menentang perang Vietnam maupun gerakan hak-hak sipil yang menentang rasisme. Pada 7–25 Maret 1965, Baez bersama Martin Luther King Jr bersama aktivis gerakan hak sipil menggelar aksi long march sejauh 87 kilometer dari Selma menuju Montgomery.

Gelora aktivisme Baez makin membubung. Pada Agustus 1965, dia bergabung dalam aksi protes di depan gedung putih untuk menghentikan perang Vietnam.

Tahun 1966, selain terus berkarya dalam musik, Baez juga tetap aktif dalam gerakan protes. Dia terlibat dalam aksi menentang perang Vietnam di Berlin, yang ketika itu masih bernaung di bawah Jerman timur. Tahun itu juga, di Grenada, Mississippi, Baez bergabung bersama King untuk memprotes diskriminasi terhadap anak-anak kulit hitam.

Tahun 1967, Baez menggelar konser anti-perang Vietnam di monumen Washington. Lebih dari 30 ribu orang menghadiri konsernya itu. Tahun itu juga, tepatnya pada 16 Oktober 1965, Baez bersama 100-an orang lainnya ditangkap karena aksi memblokade pintu masuk pusat penerimaan prajurit baru Angkatan Darat AS di Oakland, California.

Bulan Desember 1967, dia ditangkap lagi bersama 49 aktivis lainnya karena melakukan aksi yang sama di tempat yang sama. Dia dijatuhi hukuman penjara 2 bulan. Namun, pemenjaraan hanya berjalan satu bulan.

Saat dipenjara di Santa Rita, Baez bertemu David Harris, seorang aktivis anti-perang. Pasca kejadian itu, keduanya menjadi dekat. Baez dan Harris menikah di New York, pada 1968.

Tahun 1968, album Baptism: A Journey Through Our Time diluncurkan. Tahun itu juga Baez manggung kembali di Newport Folk Festival. Daybreak, sebuah memoar yang ditulis sendiri oleh Baez, diterbitkan.

Tahun 1969, ketika Baez hamil muda, suaminya ditangkap dan dipenjara selama tiga tahun. Dalam situasi yang tidak baik, Baez tetap terlibat dalam gerakan anti-perang. Ia berpartisipasi dalam aksi Moratorium to End the War in Vietnam yang berlangsung serentak di seantero AS pada Oktober dan November 1969.

Tahun 1972, gelora aktivisme Baez membubung lagi. Dia menggalang aksi anti-perang yang disebut “Melingkari Kongres” (Ring Around The Congress) dengan melibatkan perempuan dan anak-anak. Meski coba disabotase, aksi itu berhasil mengumpulkan 2500 perempuan dan anak-anak untuk mengepung gedung Kongres.

Di pengujung tahun itu juga Baez diundang ke Hanoi, Vietnam, untuk membagikan surat dan hadian natal kepada tawanan perang AS. Saat kunjungan itu, AS menjatuhkan bom di kota Hanoi, yang dikenang dengan sebutan “bom natal” (The Christmas Bombings).

Sepanjang 1970-an, Baez terus bersuara menentang ketidakadilan di berbagai tempat, mulai dari mengutuk kudeta di Chile hingga rezim fasis Franco di Spanyol. Tahun 1974, dia meluncurkan album “Gracias a la Vida”. Di dalam album itu ada dua lagi dari penyanyi kerakyatan Chile, Gracias a la Vida (Violeta Parra) dan Te Recuerdo Amanda (Victor Jara).

Tahun 1980-an hingga 1990-an, suara Baez tak meredup. Dia banyak bicara tentang hak asasi manusia. Tahun 1989, dia bernyanyi di Republik Cekoslowakia dan mendukung perjuangan Václav Havel, seorang seniman yang menjadi otak dari revolusi Beludru (Velvet revolution).

Tahun 1993, dia bernyanyi di Sarajevo, yang kala itu sedang dikoyak perang saudara. Dia menjadi penyanyi pertama yang tampil di kota itu sejak meledaknya perang saudara Bosnia-Herzegovina.

Tahun 2003, ketika AS ingin menginvasi Irak, Baez menjadi salah satu penentang kerasnya. Sepanjang 2003–2005, Baez aktif menghadiri kampanye maupun aksi menentang perang AS di Irak.

Di tahun 2011, ketika gerakan “Occupy Wall Street” mewabah di AS untuk mengeritik keserakahan kapitalisme, Joan Baez juga beberapa kali tampil di tengah-tengah aksi massa. Padahal, usianya sudah kepala tujuh. “Aku ke sini untuk berbicara dengan rakyat,” katanya.

Dalam kerja sosialnya, Baez merupakan salah satu penyokong penting Amnesty International. Dia juga pendukung penting dari Bread & Roses, sebuah organisasi yang berusaha menghadirkan musik bagi mereka yang kesepian atau terisolasi secara sosial.

Begitulah, hingga masa tuanya, Baez terus bersuara lantang untuk menyuarakan mereka yang terpinggirkan, tertindas, atau terabaikan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
“Tidak ada Revolusi tanpa Lagu-Lagu”
Next
Pilpres 2024 Tanpa Kandidat Perempuan

Pilpres 2024 Tanpa Kandidat Perempuan

Tahapan pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden sudah dimulai

You May Also Like
Total
0
Share